Ketika Amien Rais Menjelma Harrison Ford

Kamis, 17 Januari 2019 | 07:49 WIB
0
1311
Ketika Amien Rais Menjelma Harrison Ford
Amien Rais. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Ada suatu masa Amien Rais terlihat sangat heroik seperti Harrison Ford (dilarang ketawa) ketika memerankan karakter presiden AS dalam film Air Force One

Film aksi Hollywood tahun 1997 itu begitu membekas dalam ingatan. Harrison Ford begitu tenang menghadapi situasi yang sangat genting, pesawatnya dikuasai komplotan teroris. Ia dengan ketenangannya dan kecerdasannya akhirnya bisa mengendalikan keadaan. Menyelamatkan istri dan anaknya, juga anak buahnya. 

Setahun kemudian chaos terjadi di Jakarta. Pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Orang-orang menjarah apa saja. Mahasiswa turun ke jalan. Ada satu sosok yang sangat menonjol, begitu memukau. Yaitu Amien Rais. 

Ia terlihat cerdas dan lugas saat berbicara. Terlihat moderat. Cendekiawan muslim moderat. Sempurna. 

Ia tampak begitu penting pada zaman peralihan orde baru ke orde reformasi. Hingga media memberikan predikat king maker padanya.

Ketika Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional pada Agustus 1998, saya bertekad akan menggunakan hak pilih pertama kali untuk mencoblos lambang matahari berlatar warna biru itu di bilik suara.

Ketika ia berperan besar mengangkat Gus Dur ke kursi RI 1, bertambah kekaguman saya. Terlahir di tengah kultur nahdliyin, naiknya Gus Dur sebagai Presiden Indonesia itu membuat saya bangga. Saya pengagum Gus Dur sekaligus pengagum Amien Rais. 

Namun ketika dengan caranya Amien Rais kemudian melengserkan Gus Dur di tengah jalan, seketika bangunan imajinasi heroik Harrison Ford dalam benak itu runtuh. Mulai timbul pikiran apa sebenarnya maunya Amien Rais. Apa ia yang sebenarnya mau jadi presiden?

Walaupun demikian, saya masih menaruh harapan besar padanya. 

Ketika Indonesia pertama kali menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004, Amien Rais maju sebagai calon presiden, saya kembali menggunakan hak pilih untuk mencoblos fotonya di bilik suara. 

Pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat itu terjadi pada masa pemerintahan Indonesia dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri.

Amien Rais kalah dalam putaran pertama. Berikutnya saya mengikuti euforia, menjatuhkan pilihan pada Susilo Bambang Yudhoyono pada putaran kedua. 

Setelah itu saya tidak tertarik mengikuti perkembangan politik Tanah Air sampai kemudian muncul sosok Jokowi menjelang pemilihan presiden 2014. Di bilik suara, saya menjatuhkan pilihan pada Jokowi, dan mencoblos lambang PDI Perjuangan dengan perasaan hambar hanya karena ingin Jokowi menang.

Di kemudian hari sekian tahun kemudian saya mulai melihat PDI Perjuangan lebih dalam. Ternyata, ini partai politik dengan orang-orang yang memiliki komitmen kuat pada keselamatan NKRI dan sungguh-sungguh berusaha mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. 

Sementara, Amien Rais sang pujaan hati menjelma sosok asing yang saya sulit mengenalinya. 

Amien Rais dulu dan sekarang ibarat langit dan bumi. Ke mana Amien Rais yang moderat? Kenapa ia justru berada di tengah lautan muslim bergejolak? Kenapa ia justru menjadi bagian dari provokator? Kenapa ia justru menganjurkan orang-orang untuk kampanye politik di masjid? Kenapa ia membuat kategori partai setan versus partai Allah?

Kenapa ia menuduh Jokowi melakukan kebohongan terkait bagi-bagi sertifikat tanah pada rakyat? Kenapa Amien Rais tidak mampu melihat ketulusan Jokowi dalam membangun negara ini? Kenapa Amien Rais melakukan hal-hal yang dulu ditentangnya habis-habisan? Dan seribu satu kenapa-kenapa lainnya. 

Amien Rais kini tak lebih sebagai tukang jegal presiden. Memendam rasa sakit hati sepanjang masa karena hasrat menjadi presiden tak pernah kesampaian. 

***