Saya bertanya dengan kawan yang berprofesi sebagai pengacara.
"Bro, karena ngetwit hoax surat suara, Andi Arief bisa di pidana gak sih?" Tanya saya.
"Bisa" Jawabnya.
"Atas dasar apa? DI twitnya, dia kan justru minta agar kasus itu diselidiki" Kejar saya.
"Justru itu, lha ngapain dia hapus twit nya kalo tidak khawatir itu pidana?"
"Selain itu, apa lagi? Saya masih bingung dimana pidananya?"
"Gini bro, Andi Arief memang terlihat gak secara langsung menyebarkan hoax, karena sumber hoax bukan dari dirinya. Tapiii..Pertama, Andi Arief pasti tahu kalo surat suara belum dicetak, dan dia bisa langsung kroscek kesana kemari untuk tahu kalo itu adalah hoax.
Kedua, Andi Arief bukan orang bodoh, dia pasti tahu itu hoax, untuk itu yang dia lakukan bukan menyebar hoax tapi memprovokasi pendukungnya untuk kemudian berpikir bahwa hoax itu benar. Teknik begini dilakukan berulang kali oleh Jonru dan yang lain, jadi seakan-akan mereka itu sedang bertanya atau klarifikasi, padahal itu mengandung maksud tersembunyi, yaitu provokasi" Jawab rekan saya panjang lebar.
Tercenung saya, sampai dirumah, saya kemudian googling, dan menemukan artikel yang sering menjadi dasar pertanyaan masyarakat tentang persoalan hukum. Yaitu hukumonline.com. Disana tertulis:
"R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 136-137) menerangkan bahwa:
1. "Menghasut" artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata "menghasut" tersimpul sifat "dengan sengaja". Menghasut itu lebih keras daripada "memikat" atau "membujuk", akan tetapi bukan "memaksa".
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, menurut Soesilo, bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung: "Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!" ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan: "Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?"
2. Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik."
Yang dilakukan Andi Arief sangat mungkin mengandung ujaran provokasi tidak langsung. Meskipun MK telah merubah Pasal 160 KUHP dari dari delik formil menjadi delik materil, yang artinya si provokator baru bisa dipidana jika tindakannya menghasilkan akibat materil (kerusuhan atau vandalisme lain), namun twit Andi sangat mungkin sudah dipercaya oleh para pendukungnya. Dan pendukungnya pun telah menyebarkan aksi vandalisme dunia maya, penyebaran hoax yang masif.
Disitulah letak kesalahan Andi Arief, meskipun twitnya sudah dihapus namun dunia maya sangatlah kejam. Bukti masih ada sehingga apa yang dilakukan Relawan Jokowi untuk melaporkan Andi cukup wajar. Terbukti atau tidak, itu urusan hukum.
Terkait permainan kalimat tanya, klarifikasi atau apapun, saya jadi teringat kisah hoax di jaman Rasulullah SAW. Yaitu ketika istri Rasulullah SAW, Aisyah RA tertinggal dari rombongan ketika pulang dari perang Muraisi' karena mencari kalungnya yang jatuh di jalan. Ketika ada sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu'attal melihat Aisyah dan menawarinya Unta untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Shafwan menuntun unta Aisyah hinga memasuki Madinah.
Ketika memasuki Madinah, Shafwan dan Aisyah dikenali oleh segerombolan orang munafik, salah satunya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia menyebarkan berita bohong yang konon dimulai dengan kalimat tanya, karena Abdullah Bib Ubay orang yang licik, maka kurang lebih: "Eh, Aisyah cuma berdua tuh, selingkuh gak tuh? Coba deh di cek, udah nyebar tauk"
Kalimat tanya tadi membuat kaum munafik disekitarnya menjadi bertanya-tanya, tanya yang mengarah kepada jawaban negatif, karena narasi yang dibangun Abdullah bin Ubay di awal dengan begitu baik. Apakah disitu Abdullah menyebarkan hoax?
Tidak. Abdullah melempar pertanyaan dengan narasi negatif yang mengarah pada hoax, ditambahi bumbu seolah-olah fakta sehingga tampak meyakinkan.
Narasi tadi disambut oleh kaum munafik sebagai hoax: Aisyah berselingkuh. Menyebar dengan masif hingga ke telinga Rasul, Aisyah pun didiamkan oleh Rasul selama seminggu. Nah, pola Abdullah bin Ubay nyaris sama dengan pola Andi Arief.
Harus ada penegasan dalam UU ITE tentang provokasi media sosial, termasuk narasi yang membawa dampak ke arah "membangun opini negatif", sehingga tak perlu lagi berputar-putar dalam menyikapi sebuah kasus model Andi Arief atau Jonru ini.
Otak manusia itu unik, otak kita lebih mudah menangkap hal negatif ketimbang positif. Coba saja test lempar pertanyaan ke emak-emak kompleks:
"Eh jeung, saya dengar Ibu Parmin yang di gang A itu suka bawa laki-laki muda lho, bener gak sih? Coba di cek deh, udah nyebar tauk"
Hampir dipastikan isu berkembang di lingkungan kompleks bahwa ibu Parmin selingkuh tak lama setelah pertanyaan anda.
Disitu ada dua kalimat kunci:
Pertama adalah: "Saya dengar, saya mendapat informasi dll" dan kedua adalah kalimat tanya. Kalimat tanya yang bernada minta klarifikasi, padahal bernarasi negatif. Paham kan siapa yang sering pakai teknik ini?
Di situlah saya merasa nganu ~mylov
***
artikel di publish pertama kali di Kompasiana
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews