Korupsi Hanya Memangkas PKS Hingga Separuh, Bukan Menihilkannya

Selasa, 13 November 2018 | 08:13 WIB
0
433
Korupsi Hanya Memangkas PKS Hingga Separuh, Bukan Menihilkannya
PKS [Kompasiana.comtilariapadika]

Perseteruan dua saudara beda ibu-bapak politik, PKS dan Gerindra dalam memperebutkan kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta rupanya menjadi iklan gratis bagi PKS. Parpol ini jadi sering diperbincangkan lagi.

Sayangnya, iklan ini tampaknya tidak menjauhkan PKS dari keniscayaan senja kala. Begitu banyak orang percaya pada lebih dari setengah lusin survei yang menyebutkan parpol ini tidak lolos ambang batas yang disyaratkan agar memiliki kursi di DPR RI pada Pemilu 2019. Hasil survei ini dikonfirmasi pemberitaan tentang maraknya pengurus dan kader PKS mengundurkan diri.

Mengingat PKS sangat mungkin segera tiada, saya merasa perlu untuk menyumbang sejumlah catatan lagi tentang parpol ini. Setidaknya sumbangan kecil bahan pembelajaran bagi generasi di kemudian hari.

Mengapa PKS sebegitu menarik untuk dibahas? Ya karena di era multi-partai berideologi seragam ini, alias tanpa idelogi, PKS sebagai partai ideologis tentu fenomena menarik untuk diperhatikan pun dibahas, baik kelahirannya, sepak terjangnya, hingga kemunduran dan musnahnya.

Tentu saja apa yang saya ulas tidak perlu serius dijadikan referensi sebab tidak didasarkan pada studi yang saksama, pun bukan testimoni pelaku yang mengalami dan paham betul seluk-beluk ruang dalam PKS. Tempatkan ini sebagai pandangan khalayak, layaknya pengunjung toko buku yang ala kadarnya belanjakan waktu membuang jenuh, menyapukan pandangan pada sampul-sampul buku kilap kemilau berjajar rapih pada etalase, tak hendak membeli untuk membacanya hingga penghabisan.

Dalam percakapan di kongkow-kongkow luring, banyak kawan saya yang katakan korupsi adalah faktor yang menghancurkan PKS.

Tingkat kebenaran pernyataan ini bersandar pada bagaimana kita memahami kehancuran itu. Jika maksudnya suara PKS tergerus signifikan, tepatlah itu. Namun jika itu bermakna PKS lenyap dari peta politik parlementer, saya menyanggahnya.

Saya sepakat, kasus korupsi berdampak lebih buruk bagi kesehatan elektoral  PKS dibandingkan parpol lainnya. Sebabnya bukan karena PKS lebih korup. Tak. PKS bukan juara korupsi, baik dari segi jumlah kasus, pelaku, pun bersarnya kerugian negara.

Namun tidak seperti parpol lain, citra bersih menjadi pilar PKS. Ketika ada kasus korupsi yang signifikan melibatkan parpol ini, runtuhlah pilarnya, menjadi tertatih-tatih dirinya melangkah.

Hanya Partai Demokrat yang setara PKS dampak kerusakannya oleh kasus korupsi. Penyebabnya rada-rada mirip. Jika PKS menjadikan citra bersih sebagai topangan utama merangkak sejak bayi, berdiri, dan kemudian berlari; Partai Demokrat mulai membangun citra bersih secara besar-besaran setelah dewasa, saat sudah jadi parpol penguasa.

Ketika dua parpol yang berdagang citra bersih ini tersandung kasus korupsi yang signifikan, melibatkan pucuk pimpinan parpolnya, dampaknya jauh lebih merusaki diri dibandingkan misalnya ketika Golkar yang alami itu.

Sederhana. Orang mencoblos Golkar bukan karena menyangka ia parpol yang bersih. Sebaliknya massa mengambang mencoblos PKS karena melihat pada mulanya parpol ini memang jauh dari pemberitaan tentang kasus korupsi.

Orang-orang yang terpukau kepada citra bersih PKS yang dahulu inilah yang menggemukkan PKS di parlemen pada pemilu 2009 sehingga menjadi parpol 4 besar di parlemen.

Ketika kemudian Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq terbukti terlibat kasus suap impor daging sapi dan dihukum 16 tahun penjara, sebagian besar massa mengambang ini terbang pergi, meninggalkan PKS teronggok di papan tengah perolehan kursi parlemen hasil Pemilu 2014.

Orang-orang seperti ini akan kembali lari pada pemilu 2019 karena sejumlah kasus korupsi yang melibatkan petinggi PSK. Sejumlah contoh misalnya kasus korupsi berjamaah yang dipimpin elit PKS bekas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho; kasus korupsi bersandi istilah kitab suci yang melibatkan anggota DPR RI asal PKS Yudi Widiana; dan kasus korupsi yang menyeret Presiden pertama PKS--saat masih bernama PK--Nur Mahmudi Ismail.

Namun jumlah orang-orang yang lari itu tidak akan sangat besar sehingga perolehan suara PKS terjun dari 6,79 persen pada pemilu 2014 menjadi--diprediksi sejumlah survei--kurang dari 4 persen pada pemilu 2019.

Para pemilih yang lari karena PKS kehilangan citra bersih dalam pandangan saya hanya simpatisan. Bagi PKS, para simpatisan sejatinya cuma daging pembentuk otot tubuh partai.

Sebagaimana daging, kepergian mereka hanya membuat PKS kurus, tak lebih dari itu.

Sebagai parpol yang berkembang dari satu dekade gerakan tarbiyah, penyusun utama tubuh PKS adalah kader-kadernya. Merekalah pembuluh darah PKS. Selama kader-kader ini hidup, nutrisi akan kembali diantarkan untuk membentuk otot-otot baru.

Selama kader-kader ini masih sehat, PKS hanya akan kurus beberapa periode pemilu, namun kembali segar-sehat setelah otot baru terbentuk.

Sayangnya, krisis PKS pada 2018 ini bukan lagi di tingkatan daging. PKS  sedang menderita leukimia. Banyak kader berakhir dilahap sel darah putih petinggi yang berkuasa di puncak kepengurusan. Inilah yang menjadi penyebab utama PKS hilang dari parlemen pasca pemilu 2019 nanti.

Bagaimana sampai leukimia ini PKS alami, kita bahas nanti.


Sumber:

  1. Kompas.com (25/07/2018) "Survei LSI: 6 Parpol Tak Lolos ke DPR, 4 Parpol Terancam"
  2. Kompas.com (26/09/2018) "Hasil Survei Indikator, Banyak Parpol Masih Terancam Gagal Lolos ke Senayan"
  3. Voaindonesia.com (10/12/2013) "Mantan Presiden PKS Divonis 16 Tahun Penjara."
  4. Antaranews.com (10/05/2009) "Hasil Perolehan Suara Parpol Pemilu 2009."
  5. Kompas.com (09/05/2014) "Disahkan KPU, Ini Perolehan Suara Pemilu Legislatif 2014

Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika