Bupati Ngelunjak Harusnya Ditindak

Harus ada sanksi dan pembelajaran untuk kepala daerah yang arogan ini. Harus ditindak - supaya yang lain tidak ikut ngelunjak.

Kamis, 22 Desember 2022 | 07:54 WIB
0
157
Bupati Ngelunjak Harusnya Ditindak
Muhammad Adil (Foto:riauterkini.com)

Dampak pemilihan langsung dan otonomi daerah bukan hanya melahirkan raja-raja kecil, melainkan juga preman politik dan bibit pemberontak, yang mengancam keutuhan NKRI dan memperlakukan pemerintah pusat sesuka hati.  

Merasa paling mewakili rakyat dan daerahnya, mereka berteriak seenak udelnya. 

Salah satunya Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil. Dia layak dikenai pasal makar atas atas luapan emosinya terhadap pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait polemik dana bagi hasil (DBH) minyak daerah. 

Bupati Muhammad Adil menuding, Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah Kepulauan Meranti. Ia kesal tidak mendapat kejelasan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) yang mestinya diterima daerahnya.   

Dalam rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah se-Indonesia di Pekanbaru, dia menyatakan kecewa kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Lucky Alfirman. Pada sesi tanya jawab, Adil menyampaikan kecaman pedas dan tak beretika.

"Ini orang keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Gak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Daripada uang kami dihisap oleh pusat," ujar M. Adil sebagaimana terekam dalam video berdurasi 1 menit 55 detik yang beredar di media sosial.

Menurut Adil, wilayah yang dia pimpin adalah daerah miskin yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah pusat. Ia juga mengeluhkan pemerintah daerah yang tak bisa leluasa bergerak membangun di daerah dan memperbaiki hajat hidup orang banyak karena sumber daya alamnya disedot oleh pemerintah pusat.  

“Bagaimana kami mau membangun rumah, bagaimana kami mengangkat orang miskin, nelayannya, petaninya, buruhnya” kata Adil.

"Apa perlu Meranti mengangkat senjata? Kan, tak mungkin ‘kan? Ini menyangkut masalah Meranti yang miskin ekstrem," ucap Muhammad Adil dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah di Pekanbaru, Riau, Kamis (9/12/2022).

Pernyataan Bupati Meranti - yang bergelar haji, SH dan MM - sudah kelewat batas. Sudah tak bisa ditoleransi. Harus ditindak tegas.

Indonesia adalah negara berdaulat dan para Bapak Pendiri Bangsa (‘Faunding Fathers’) berdarah darah dan menebus dengan penjara serta pembuangan untuk bisa melahirkan NKRI – dari Sabang sampai Merauke.

Pada awal pendirian republik, pemerintahan Bung Karno melewati masa ketika sejumlah daerah mencoba membrontak, dan ditumpas secara militer. DI/TII, Permesta, PRRI – semua ditindak. 

Kini ada seorang Bupati di provinsi Sumatera mengancam mau angkat senjata? 

Tak bisa ditolelir ! Harus ditumpas. 

Pengamat pertahanan keamanan dan intelijen Susaningtyas Kertopati menyatakan, apa yang diucapkan Bupati Meranti masuk ranah kedaulatan RI, masuk dalam ranah makar. 

Ancaman mengangkat senjata dan membelot ke negara tetangga bisa terancam Pasal 107 KUHP.

"Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun." bunyi Ayat (1).

Selain itu, pada Ayat (2) "Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun," bunyi Pasal 107 KUHP ayat (2). 

KUHP yang baru yang disahkan juga mengatur pidana makar: "“Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan dan/atau mengambil alih pemerintah yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Akademisi sekaligus pengamat ekonomi, Didik J Rachbini, menilai bahwa kekecewaan Muhammad Adil merupakan hal yang wajar. Namun ancaman makar perlu ditindak tegas. 

"Keluhan, kekecewaan, dan ketidakpuasan seperti ini wajar terjadi. Aspirasi pemerintah daerah harus tetap diperhatikan karena daerah merupakan bagian dari satu kesatuan NKRI," ucapnya, dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Selasa (13/12).

Namun, Didik juga menilai bahwa sikap yang ditunjukkan Bupati Meranti itu “barbar”, apalagi turut menyebut “Kemenkeu diisi iblis dan setan” serta mengancam Meranti akan angkat senjata dan bergabung dengan Malaysia. 

Menurut Didik, hal itu membuat persoalan menjadi lebih berat lagi, sebab terkait dengan masalah NKRI dan makar.  

"Jika dibiarkan berjalan wajar dan biasa-biasa saja, bukan tidak mungkin banyak lagi pejabat negara yang mulai mengoyak NKRI dan kesatuan bangsa akan menjadi rapuh," jelasnya.

Menurut Didik, DPR bisa memanggil bupati terkait, dan pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, untuk bisa mengambil tindakan atas dasar hukum yang berlaku.

Ahmad Sahroni, Anggota DPR RI, juga menyebut senada Ia menganjurkan agar DPR turut menindak perilaku Adil. "Ketidaksetujuan DPR ini tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga memanggil yang bersangkutan," katanya. 

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Lucky Alfirman menyatakan transfer ke daerah (TKD) bukan hanya berasal dari dana bagi hasil atau DBH. Sebab di dalamnya, banyak sekali instrumennya, mulai DBH, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) yang terdiri atas fisik dan nonfisik.

“Tahun 2022 ini kita alokasikan Rp804 triliun dalam bentuk TKD. Itu enggak main-mian jumlahnya. Tahun depan kita alokasikan lagi menjadi Rp814 triliun TKD, akan kita salurkan kepada daerah,” ujar dia dalam konferensi pers di Kemenkeu, Jakarta Pusat, pada Jumat, 16 Desember 2022.

Banyak kebijakan Kemenkeu untuk daerah, di antaranya menggunakan sebagian pendapatan negara dari penerimaan di berbagai sektor untuk ditransfer ke daerah, sebagaimana sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang dirumuskan pemerintah pusat. Aturan itu sudah berjalan. 

Selain itu, ada pembangunan infrastruktur yang dilakukan Kementerian PUPR, ada perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan prgram keluarga harapan (PKH).

Hingga Juli 2022 - Indonesia memiliki 34 Provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa. Belakangan dari Papua dan IKN di Kalimantan bertambah sehingga menjadi 38 provinsi. Yang diurus pemerintah pusat bukan hanya satu kabupaten dan satu provinsi

Otonomi daerah dan pemilihan langsung memiliki sisi buruk, yang harus dipecahkan. Mentang mentang dipilih langsung, Bupati, Walikota dan Gubernur cenderung angkat dagu dan pasang dada kepada pemerintah pusat.

Harus ada sanksi dan pembelajaran untuk kepala daerah yang arogan ini. Harus ditindak - supaya yang lain tidak ikut ngelunjak.

.***