Jokowi di Persimpangan Jalan, Maju Kena Mundur Kena

Melihat kantung mata Jokowi, dan tidak semakin gemuk tubuhnya, ia tengah berada dalam situasi dilema, seperti makan buah simalakama, serba tidak nyaman, penuh resiko.

Jumat, 1 April 2022 | 07:34 WIB
0
225
Jokowi di Persimpangan Jalan, Maju Kena Mundur Kena
Jalan simpang Jokowi menghadapi tekanan publik (oposisicerdas.com)

Menjadi Jokowi di kala Covid 19 merebak, negara dihantam isu langkanya minyak goreng, dan ambisi orang-orang terdekatnya menggulirkan wacana  3 periode rasanya serba tidak enak. Apapun dari segala sisi akan dihujat.

Perekonomian yang luluh lantak di hampir semua negara di dunia sebenarnya permakluman bahwa sungguh susah menapaki kekuasaan di tengah hantaman wabah Covid,diam tidak bertindak dianggap lamban, terlalu mengekang rakyatnya untuk tidak keluar rumah dan membatasi ruang gerak untuk mencegah penyebaran covid, dianggap menghambat rakyat untuk mencari rejeki, terkena penyakit dan harus terkapar masyarakat butuh pelayanan cepat dan gratis. Anggaran membengkak untuk membiayai pasien covid dinilai pemerintah tidak serius menangani wabah.

Dalam fenomena politik, sebagai presiden ia taat konstitusi dan ketentuan perundang-undangan digiring bahwa Jokowi plin-plan, ambisi pada kekuasaan dan, tidak konsisten. Padahal keinginan tiga periode bukan suara Jokowi, ia hanya ingin memperlihatkan ia ingin taat pada aturan yang berlaku pada undang-undang dasar. Perundangan membuat ketentuan bahwa jabatan hanya dua periode, namun banyak orang menginginkan perpanjangan masa jabatan, politisi bikin manuver yang membuat kheki Jokowi di mata masyarakat.

Kalau ia menanggapi dengan bahasa halus, terkesan kurang tegas segera netizen melontarkan serangan bertubi-tubi seakan akan Jokowi adalah Presiden ambisius yang ingin melanggengkan kekuasaan. Memang berkuasa itu mudah? Memang tidak pernah punya dilema atas kebijakan tidak populis yang hanya mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sementara kenyataannya banyak pejabat di bawahnya tetap saja berpesta, mengemplang APBN untuk kepentingan dirinya, terjerat dalam tindak pidana korupsi, memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, jarang berbaur dengan masyarakat dan masa bodoh terhadap penderitaan masyarakatnya.

Jokowi, terjebak dalam dilema, ia seperti berada di persimpangan. Sementara semakin banyak orang yang kecewa oleh terobosannya dan kebijakan pembangunannya yang cenderung tidak memberi solusi terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat. Langkanya minyak misalnya semua dikembalikan ke Jokowi, Mengapa saat CPO berjaya masyarakat sendiri menjerit kekurangan minyak. Saat subsidi minyak diberlakukan malah disembunyikan para spekulan, pedagang besar, dan dikeluarkan sedikit-sedikit demi kepentingan usaha mereka agar tidak bangkrut. Lagi lagi telunjuk ditujukan ke muka Jokowi, bagaimana katanya presiden yang merakyat tetapi membuat masyarakat merana.

Politisi oposan semakin tersenyum akan semakin banyak ruang tembak tertuju pada pemerintah dan Jokowi, Masalah rumit datang silih berganti, Jokowi akan semakin tantrum dan bingung. Nah itu yang ditunggu. Mereka para oposan menawarkan solusi, menggelar pasar murah, menyediakan minyak melimpah, demi mendongkrak nama mereka populis di mata rakyat.

Ah, trik yang akan selalu berulang setiap menjelang pemilu. Pejabat yang berasal dari partai pun tidak mau kalah, tidak peduli apa kata Presiden, tidak peduli apakah ia sebagai pelayan masyarakat mereka hanya berpikir untuk memanfaatkan momentum merebut suara rakyat.Mereka hanya mendengar suara partainya suara ketuanya. Kalau perlu menjilat ludah sendiri. Dari belakang mendorong dan menggelontorkan wacana 3 periode padahal bukan Jokowi yang ambisi, merekalah yang dilingkar kekuasaan yang ingin tetap berkuasa.

Jokowi pasti tengah galau, ia selalu menjadi sasaran tembak, apapun keluhan selalu ditujukan ke dia, apapun bahkan masalah minyak curah, minyak goreng harus langsung mendapat jawaban dari presiden. Bahkan jalan rusak di desanya yang seharusnya tanggungjawab kepala desa dan bupati dikeluhkan langsung ke presiden.

Kalau anda sebagai presiden republik Indonesia di masa medsos merebak dan mengerikan kata-kata yang terucap dari para komentatornya yang canggih pikirannya dan banyak idenya, tentu tidak mudah. Seperti tengah berdiri di perapian, bara api yang menyala-nyala. Salah langkah akan terbakar salah menentukan kebijakan akan”habis” di mata netizen.

Apapun kata netizen semua harus sempurna, maunya minyak murah, meskipun di mana-mana di belahan dunia manapun minyak goreng sedang mahal. Lalu ada yang menginginkan presiden harus tegas melenyapkan mafia yang membuat langkanya minyak goreng tersebut. Bagaimana bisa mengatasi persoalan tentang mafia ketika hampir semua politisi sebenarnya tengah melakukan permainan catur, mengatur dibalik layar kekacauan-kekacauan negara hingga mereka mendapat simpati dan jalan lempang menuju kekuasaan. Saya yakin para politisi kritis itu akan bungkam jika mereka berada dalam lingkaran kekuasaan.

Bukan ingin membela Jokowi, tetapi berusaha merasakan jika seandainya saya berada dalam posisi Jokowi, Saya bisa merasakan tekanan baik dari lingkar rekan-rekan terdekatnya dan banyaknya pejabat dibawahnya yang tidak lagi konsentrasi penuh mengabdi dan melayani masyarakat. Mereka sedang bersolek, mendandani diri agar terlihat menarik di mata rakyat.

Tentu saja berjalan bersama Presiden menapaki jalan dengan kebijakan tidak populis itu akan beresiko. Maka ketika Jokowi marah-marah melihat para pembantunya sibuk dengan urusan sendiri itulah yang terjadi kalau mereka diambil berdasarkan kompromi politik. Politik hanya berhitung saat menguntungkan dan akan cenderung meninggalkan saat merugikan diri sendiri. Tidak ada teman yang abadi mendampingi yang ada adalah kepentinganlah yang abadi.

Orang benar dan tuluspun akan terjebak dalam arus penurunan kepercayaan, apalagi ditambah hantaman perekonomian dunia yang merosot dan berdampak pula pada situasi kondisi dalam negeri yang seperti”luluh lantak”akibat bencana itu.

Tetapi saya heran ketika banyak orang teriak akan mahalnya Pertamak, kenaikan tariff tol, langkanya minyak goreng namun melihat jalanan di Jakarta dan sekitarnya tidak pernah lengang, kendaraan tetap lalu lalang, hampir tiap pagi selalu terjebak macet, mobil mengular dari arah luar kota ke pusat kota, di Jalanan kecil masuk perkampungan selalu sesak dengan kendaraan bermotor, HP sudah seperti barang mainan yang dipegang hampir semua orang, jarang yang jadul, hampir semuanya bertipe smartphone yang bisa mengakses instagram, foto selfie, facebook, tiktok dan sejenisnya.

Semakin banyak yang bisa komentar, teriak mahal-mahal tapi bisa membeli mobil meskipun harus menyewa lahan parkir, sementara rumahnya hanya sepetak di gang. Wow luar biasa.

Setiap sore meskipun minyak goreng mahal tetap masih banyak pedagang kaki lima berjualan dan warung-warung dijejali pembeli.Sementara banyak aktivis pada demo memprotes pemerintah mereka tidak sadar dari luar kota dengan lancarnya mereka menyusuri jalan tol, infrastruktur yang dibangun padahal disisi lain mereka teriak “makan tuh infrastruktur.”

Duh, begitulah saya, begitulah negeriku, sementara sebetulnya mereka banyak merasakan kemudahan tetapi demi politik mereka rela diupah dibayar untuk turun ke jalan untuk berusaha menurunkan pemerintah yang giat melancarkan jalan dengan membangun tol di mana-mana.

Untungnya Jokowi masih kuat, ia bisa menahan diri dari gempuran kritik dan nyinyir yang tidak habis-habisnya di medsos. Bahkan banyak profil cantik, berkarakter santun melihat dari penampilan wajahnya ternyata kata-katanya luar biasa kasar dan tidak beraititude.

Hari hari yang melelahkan bagi Jokowi, tidak mudah merangkul masyarakat yang sudah terluka, akibat bakaran berita media-media yang sangat gencar dalam mengurai benang kusut kekuasaan. Padahal kalau para aktivis, oposan dan para pegiat media merasakan apa yang dirasakan Jokowi saat ini, merekapun akan lebih bingung apa yang akan saya lakukan.

Melihat kantung mata Jokowi, dan tidak semakin gemuk tubuhnya, ia tengah berada dalam situasi dilema, seperti makan buah simalakama, serba tidak nyaman, penuh resiko. Apapun kebijakannya akan mendapat penolakan meskipun tujuannya benar. Ibaratnya seperti judul film komedi Dono Kasino Indro Maju Kena Mundur Kena.

Lebih baik maju terus, mau wacana tiga periode empat periode, ya tunggu saja sampai masa jabatan selesai, masalah ambisius tidaknya, silahlah kemerdekaan masyarakatlah untuk beropini, tetapi kalau saya akan berpikir dulu sebelum melontarkan kritik. Apakah saya bisa setangguh Jokowi saat ini jika di mana-mana suara nyinyir dan kritik terus menghunjam.Lebih baik menjadi guru biasa dan penulis, lebih merdeka berpikir. Tidak sampai kena serangan komentar, yang kalau dirasakan dan ditanggapi hanya menjadi biang stres.

Pak Jokowi, tetap semangat ya…kami akan tetap kritis, dan semoga bapak selalu bisa mencari solusi terbaik untuk kemajuan bangsa.

mirroring Kompasiana.