Peranan media memang sangat penting. Ia mampu meyuarakan kepentingan Dunia Ketiga, tetapi tidak cukup, karena media juga dikuasai negara-negara yang menang dalam Perang Dunia II. Lihatlah berbagai negara seperti, Amerika Serikat (AS), Inggris dan Prancis. Tetapi media di Republik Rakyat China (RRC) dan Rusia, sama-sama negara komunis, maka akan lebih sulit memperoleh informasi yang akurat.
Sejauh ini, tidak tahu apa yang terjadi sebetulnya di RRC. Misalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja dengan bangga dan gembiranya berangkat ke RRC untuk mengetahui asal usul penyakit Covid-19. Apa yang terjadi setelah tiba di RRC?
Tidak satu pun informasi yang bisa WHO peroleh, selain melakukan berbagai wawancara di rumah sakit. Tetapi tetap data yang perlu sekali untuk mengetahui apakah asal usul Covid-19 itu memang awalnya berasal dari RRC ? Ternyata mereka tidak mampu memperoleh datanya.
Di Rusia, pun demikian. Saya bersyukur pada bulan Desember 1992 singgah di ibu kota Rusia, Moskow dalam perjalanan menuju Baghdad, ibu kota Irak. Dulu tahun 1992, masih disebut Uni Soviet, terapi setelah Vladimir Putin muncul sebagai orang nomor satu di negara tersebut, terjadi berbagai perubahan. Yang tidak berubah adalah negara itu tetap meyakini komunisme sebagai dasar berpijaknya.
Selanjutnya, bagaimana dengan negara Barat, seperti AS ? Berbeda dengan sumber berita di negara-negara komunis, negara Barat memiliki ciri khasnya pula. Bagaimana pun ada pengecualiannya, karena tidak semua informasi itu terbuka seluas-luasnya agar diketahui oleh masyarakat. Mengapa pemilik Grup Merdeka (Harian Merdeka, Minggu Merdeka, Harian berbahasa Inggris Indonesia Observer, Majalah Berita Topik dan Majalah ibu dan anak Keluarga) Burhanudin Mohamad (B.M) Diah pada tahun 1992 mengutus saya ke Irak ? Itu dikarenakan, meski sudah ada berbagai kantor berita asing, terapi mungkinkah informasi itu berimbang?
Ia (B.M.Diah) ingin sekali mengetahui informasi langsung, apa yang saya lihat sendiri di Irak. Bayangkan seorang tokoh pers yang juga telah makan asam garamnya di dunia jurnalistik, juga setelah usianya 75 tahun, masih ingin mendengar informasi langsung dari Irak. Sebuah negara yang kaya minyak (Irak), tetapi masih bisa dipermainkan negara Barat demi keinginan sumber daya minyak Irak.
Cerita tentang Irak akhir-akhir ini muncul kembali, tetapi tentang tangkapan layar yang menampilkan putri tertua mantan pemimpin Irak Saddam Hussein, yaitu Raghad Saddam Hussein, yang muncul di stasiun televisi Al Arabiya TV, milik Arab Saudi pada Senin, tanggal 15 Februari 2021.
Kemunculannya lantas memicu krisis diplomatik antara Irak dengan Arab Saudi dan Yordania sebagaimana dilansir dairi Middle East Monitor, Selasa, 16 Februari 2021.
Raghad muncul bersama Sohaib Charair dalam sebuah program acara yang disiarkan oleh Al Arabiya TV, saluran televisi yang bertaut dengan Arab Saudi.
Dalam acara tersebut, Raghdad mengatakan bahwa dia bisa berperan dalam perpolitikan Irak.
Charair bertanya pada Raghad dalam acara itu, apakah dia berniat untuk memainkan peran yang lebih langsung dalam perpolitikan di Irak segera.
Raghdad lantas menjawab pertanyaan tersebut, "Segalanya mungkin."
Selain itu, Raghdad juga mengecam campur tangan Iran di kawasan itu. Dia menggarisbawahi bahwa Iran melanggar Irak setelah tidak adanya kekuatan nyata.
Setelah acara tersebut, Kementerian Luar Negeri Irak memanggil Duta Besar Yordania dan Arab Saudi di Baghdad.
Kementerian Luar Negeri Irak memprotes kenapa Raghad diperbolehkan muncul di televisi.
Raghad telah tinggal di Ibu Kota Yordania, Amman, sejak 2003. Ketika itu Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak dan menggulingkan ayahnya.
Kembali, bahwa masalah ini berkaitan dengan informasi. Raghad berhasil memainkan media yang berpengaruh, tetapi apakah ia ( Islam Sunni) berhasil mengambil alih kekuasaan di Irak? Masih menjadi tanda tanya.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews