Terbukti, Faktanya Vaksin Sinovac “Tidak Aman”!

Covid mampu menyerang saluran pencernaan dan saraf. Jangan bisanya mengatakan, pasca divaksin: “jika meninggal atau cacat memperoleh santunan sekian juta rupiah”.

Minggu, 21 Februari 2021 | 12:29 WIB
0
274
Terbukti, Faktanya Vaksin Sinovac “Tidak Aman”!
Vaksin Sinovac (Foto: CGTN)

VaksinVirus Corona COVID-19 kembali “makan korban”. Kali ini yang menjadi korban: DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat (Persakmi) Sulawesi Selatan.

Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, Makassar. Setelah shalat subuh. Kabar beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel.

Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu.

Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntik vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut.

“Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus covid-19,” ujarnya.

“Tentunya dengan tetap mematuhi 3M. Memakai masker, menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan,” lanjutnya. Eha Soemantri adalah pengurus Persakmi Sulsel. Ibu tiga anak itu meraih gelar Doktor di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS pada 2016.

Ia dinyatakan lulus setelah mempertahankan disertasi yang berjudul Determinan Kejadian Stunting pada Anak Usia di Bawah Lima Tahun di Sulsel. Ia meneliti manusia “kate” atau manusia pendek.

Mereka yang kehilangan daya tumbuh karena beberapa faktor. Termasuk kekurangan gizi. Sebelum meninggal, Eha memilih mengabdikan dirinya menjadi tenaga pengajar sekaligus menjabat sebagai Direktur Pascasarjana STIK Tamalatea Makassar.

Melansir Porostimur.com, Eha menjadikan pendidikan sebagai wadah untuk memperbaiki mutu kehidupan umat manusia. Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo.

Peristiwa yang menimpa Doktor Eha Soemantri itu sudah sepatutnya mendapatkan perhatian serius dari Kementrian Kesehatan. Pasalnya, yang dialami Eha ini termasuk Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

Sesuai petunjuk WHP, salah satu bagian tugas dari setiap petugas kesehatan dan NRA/BPOM dalam program imunisasi adalah:

- Mengantisipasi dan/atau mengevaluasi kemungkinan terjadinya KIPI yang terjadi pada vaksin tertentu.
- Membandingkan angka KIPI sebenarnya yang dilaporkan dengan angka KIPI yang diperkirakan terjadi pada   kelompok yang divaksinasi dan kelompok yang tidak di vaksinasi.
- Melakukan investigasi segera apabila ada laporan KIPI serius.

Tantangan yang penting adalah bagaimana sistem surveilans KIPI bisa membedakan dengan baik antara KIPI karena peristiwa koinsidens dengan KIPI yang disebabkan reaksi terhadap vaksin dan komponen-komponennya.

Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa tersebut termasuk dalam kategori KIPI Serius. Pasalnya, Eha telah divaksinasi dua kali: Kamis, 14 Januari, dan Kamis, 28 Januari 2021.

Kabarnya, Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Jangan sampai muncul anggapan, Vaksin Sinovac yang disuntikkan pada Eha ternyata “tidak aman”, meski “halal”, seperti yang telah dinyatakan oleh BPOM.

Sebelumnya, beredar video 6 petugas nakes dari 5 Puskesmas di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) mengalami pusing, mual, dan muntah-muntah setelah divaksin Sinovac pada Senin, 15 Februari 2021.

Dikabarkan oleh SerambiOn TV, hingga kini mereka masih mendapatkan perawatan di RSU Cut Meutia, Aceh Utara, dan RS Arun, Kota Lhokseumawe. Mereka dilarikan ke RS karena mengalami muntah, mual dan pusing mendapat vaksinasi di tempat mereka bekerja.

Untuk diketahui, Aceh Utara mulai melaksanakan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mulai Rabu (12/2/2021) yang diadakan secara serentak di 36 titik, termasuk di RSU Cut Meutia.   

Melansir Serambinews.com, Selasa (16/2/2021), vaksinasi tahap pertama itu ditargetkan bisa tuntas diadakan pada Senin (15/2/2021) atau selama 5 hari kerja dengan jumlah nakes 6.115 orang.  

Lalu, pada sorenya, Darlina (35) nakes asal Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, tiba-tiba mengalami mual dan kemudian muntah setelah divaksin. Ia dibawa ke RSU Arun Lhokseumawe untuk mendapat penanganan medis sekitar pukul 14.30 WIB. 

Tak lama kemudian empat nakes empat nakes lainnya, dari tiga Puskesmas juga mengalami hal yang sama. Mereka kemudian dibawa ke RSU Cut Meutia Aceh Utara sekitar pukul 17.00 WIB.   

Masing-masing, Melisa Anggraini (34) asal Kecamatan Samudera bertugas di Puskesmas Meurah Mulia, Murniati (40) asal Meunasah Alue Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Bayu.   

Widiya Riyani (36) asal Peureumpok Kecamatan Syamtalira Aron yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Aron dan Mutmainnah (45) asal Desa Alue Awe Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Aron.  

Lalu, pada Selasa (16/2) sekira pukul 00.30 WIB, bertambah satu nakes yang dirawat di RSU Cut Meutia. Pria tersebut adalah Maulana (27) asal Desa Ulee Blang Mane Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe bertugas di Puskesmas Geureudong Pase, Aceh Utara. 

Sebelumnya, peristiwa serupa menimpa dua nakes di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Dua nakes Puskesmas Selangit dan Puskesmas Beliti langsung mengalami kejang-kejang dan muntah usai diivaksin Sinovac. Keduanya langsung menjalani perawatan untuk diobsevasi di RSU Sobirin Musi Rawas pada Selasa (2/2/2021).

Tidak Aman

Perlu diketahui bahwa vaksin Sinovac itu terbuat dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”. Jika vaksinasi yang kini sedang berjalan itu tidak dihentikan sementara, hal itu sama saja dengan menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal.  

Sebab, seperti yang sering saya sampaikan, diantara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi!

Ingat, virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, faktanya saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian.

Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus penyanyi yang meninggal beberapa bulan lalu).

Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit.

Fakta klinis tersebut ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Covid-19 juga sudah mulai menginfeksi saluran pencernaan, sistem saraf, hingga mata.   

Perlu diingat, Covid-19 itu terjadi dan meledak lebih dari setahun lalu. Padahal, kalau tidak salah, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh?

Kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun yang lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Kematian dr. JF di Palembang, sehari setelah divaksin, dan Doktor Eha di Makassar, janganlah dianggap remeh.

Bagaimana pula kalau sekarang ini varian baru yang telah ditemukan di Malaysia, Thailand, Philipina, yang kemampuannya 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Termasuk, di Inggris dan Afrika sekarang ini?

Covid mampu menyerang saluran pencernaan dan saraf. Jangan bisanya mengatakan, pasca divaksin: “jika meninggal atau cacat memperoleh santunan sekian juta rupiah”.

***