Menakar Status Umat dan Rakyat dari Sudut Pandang Katolik

Pemerintah mengurus kesejahteraan jasmaniah, Gereja mengurus kesejahteraan rohani. Di dalam diri manusia, termakhtub kedua-duanya yakni yang jasmani dan yang rohani, menyatu dalam aku,

Selasa, 10 Maret 2020 | 21:45 WIB
0
661
Menakar Status Umat dan Rakyat dari Sudut Pandang Katolik
Ilustrasi umat Katolik (Foto: beritagar.id)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefenisikan kata umat dan rakyat sebagai berikut, yang pertama; umat adalah para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama, penganut nabi, yang kedua; rakyat adalah penduduk suatu negara. Itu berarti, entah umat maupun rakyat, menunjuk tegas pada pribadi-pribadi yakni manusia.

Dari defenisi di atas, jelah bahwa umat adalah sebutan khas untuk Gereja dan rakyat adalah sebutan khas untuk negara atau pemerintah. Gereja memiliki umat, negara memiliki rakyat. Dari pribadi manusia yang sama, ada secara serentak umat dan rakyat. Maka sebetulnya antara Gereja dan negara atau pemerintah dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.

Lantas, apakah Gereja dan negara atau pemerintah itu sama?

Paus Benediktus XVI dalam YOUCAT Indonesia, Katekismus Populer artikel 140 menguraikan bahwa Gereja bukanlah Institusi Demokratis. Sebagaimana dalam negara demokrasi, segala kekuasaan berasal dari rakyat sementara dalam Gereja, segala kekuasaan berasal dan berpangkal pada Kristus.

Gereja adalah institusi religius sedangkan negara adalah institusi politik. Sebagai institusi religius, sumber kekuasaan Gereja berasal dan berpangkal langsung pada Kristus, yang diberikan atas kekuatan iman. Sebagai institusi politik, sumber kekuasaan negara (demokrasi) adalah rakyat. Tidak ada negara tanpa rakyat dan tidak ada Gereja tanpa umat.

Negara atau pemerintah menempuh jalur politik sebagai upaya untuk menata dan mengambil kebijakan demi kesejahteraan rakyat. Gereja sebagai persekutuan umat beriman, menempuh jalur iman yang diasah dan dihayatinya melalui Sakramen-Sakramen yang telah dikaruniakan Allah bagi umat manusia sebagai sarana perjumpaan antara Allah dan umat manusia.

Meskipun demikian, Gereja atas dasar iman akan Kristus dan sebagai pakar perihal moral, perlu memandang negara sebagai rekan seperjuangan dalam memperjuangkan keluhuran martabat manusia dan kesejahteraan umum. Gereja dan Negara disatukan karena perjuangan yang sama akan martabat manusia sebagai karunia Allah sejak penciptaan.

Karena itu, sebagai orang Katolik, sikap atau perlakuan terhadap Gereja dan negara perlu seturut apa yang telah disabdakan oleh Yesus sendiri, yang dipedomani sebagai prinsip dasar etika politik kristiani yakni berikanlah kepada kaisar, apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Allah, apa yang menjadi hak Alah (Matius, 22:21).

Orang Katolik tidak boleh dengan cepat menolak wewenang negara hanya dengan alasan taat demi Allah. Tetapi juga bahwa orang Katolik terlibat dalam politik, ia harus mengakui bahwa semuanya ini tetap hak Allah. Maka ketaatan orang Katolik pada negara tidak tanpa batas atau tidak mutlak. Ketaatan terhadap negara tetap dipertahankan sejauh lembaga-lembaga tidak melanggar etika.

Di sini berlaku prinsip bahwa “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintahan…. (Roma, 13:1)” tetapi apabila negara, atau atasan lain memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan hak Allah, atau yang bertentangan dengan moralitas, maka berlaku pula prinsip bahwa “lebih baik berlindung pada Tuhan daripada kepada manusia, lebih baik berlindung kepada Tuhan daripada kepada bangsawan (Mazmur, 118:8-9), kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29).

 Uraian di atas menandaskan kerja sama yang tak terpisahkan bahwa manusia yang sama, ketika bertindak sebagai umat dan rakyat, ia perlu selektif menempatkan dirinya; yang satunya sebagai orang beriman dan yang satunya sebagai warga negara.

Tetapi kalaupun ada perlakuan yang sama terhadap Gereja dan pemerintah, itu tidak berarti Gereja dan pemerintah sama saja atau disamakan begitu saja. Secara lebih gamblang, boleh dikatakan bahwa pemerintah berurusan dengan ekonomi dan politik rakyat, sementara Gereja berurusan dengan iman dan moral.

Apabila pemerintah, dalam menjalankan tugas ekonomis dan politisnya, terjadi praktek ketidakadilan, maka Gereja, atas dasar iman dan moral, perlu bersuara bukan karena membenci pemerintah dan juga bukan karena tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah melainkan karena panggilannya untuk mengabdi pada kebenaran dan kebaikan bersama.

Titik simpulnya ialah Gereja dan pemerintah mengurus manusia yang sama tetapi bertolak dari sumber yang berbeda, sama-sama mengacu pada martabat manusia tetapi bermuara pada kesejahteraan yang berbeda.

Pemerintah mengurus kesejahteraan jasmaniah (ekonomis dan politis) dan Gereja mengurus kesejahteraan rohani (imaniah dan batiniah). Dan di dalam diri manusia, termakhtub kedua-duanya yakni yang jasmani dan yang rohani, menyatu dalam aku, yang disebut sebagai persona atau aku yang utuh. Aku yang utuh berarti aku yang berkerohanian dan aku yang berjasmaniah.

***

 Rm. Yudel Neno, Pr., Pastor Pembantu Paroki Santa Maria Fatima Betun, Keuskupan Atambua, Kabupaten Malaka, Propinsi Nusa Tenggara Timur.