Media Sensasional dan Narasi Pesanan

Muara dari semburan dusta tersebut tetap sama, yakni delegitimasi kekuasaan yang sah. Memang sulit dibuktikan, tapi bisa dirasakan, dan siapa bos besar dari skenario besar ini?

Senin, 18 Mei 2020 | 21:23 WIB
0
383
Media Sensasional dan Narasi Pesanan
Foto:Pixabay.com

“Ukuran seorang manusia ditentukan dengan apa yang dia lakukan dengan kekuasaan.” – Plato

Inilah era Post Truth dimana fakta tidak lagi terlalu penting, tapi perkataan orang penting sangat mudah dipercaya, meskipun tidak mengandung kebenaran. Media pun tidak lagi perlu mengungkapkan fakta, cukup beropini secara meyakinkan, maka apa yang disampaikan media akan mudah dipercaya.

Jaman wartawan bodrex memang sudah tidak ada, meskipun wartawan seperti itu tetap ada. Begitu juga jurnalis preman, yang dulu bisa hidup dengan mudah cukup dengan arogansinya. Namun ada juga jurnalis "terhormat", yang terpaksa menjual kehormatan dan profesinya, tidak ingin disebut buzzer, tapi bekerja membela yang bayar.

Bisa dibayangkan kalau saja beberapa media mengusung satu narasi yang sama, menyerang kearah titik yang sama, atas dasar pesanan kelompok yang berkepentingan untuk mendelegitimasi sebuah kekuasaan, di tengah masyarakat yang menganggap fakta tidak lagi penting.

Koor narasi media dengan tekhnik propaganda Firehose of The Falsehood (semburan dusta), dinarasikan secara berulang-ulang, dan di berbagai media, tanpa memikirkan kebenaran dan kepastian fakta, maka yang tidak benar pun dipercaya sebagai sebuah kebenaran.

Inilah situasi yang sedang terskenario saat ini, sinyalemen adanya kelompok besar, yang merupakan kelompok yang hajat hidupnya terganggu, karena kekuasaan yang ada dianggap tidak bisa diajak untuk berkompromi, sehingga perlu mengorbitkan seorang kandidat baru yang bisa dijadikan boneka.

Media dan kelompok ini sangat mendapat dukungan dari golongan masyarakat yang kandidatnya kalah di kontestasi Pilpres 2019, dan sedang mencari idola baru sebagai bentuk konsistensi sikap, untuk tetap tidak mendukung presiden terpilih.

Golongan masyarakat inilah yang menjadi target media penerima pesanan narasi, juga termasuk golongan masyarakat yang berada pada zona abu-abu, yakni golongan yang belum menentukan pilihan. 

Sebagai penerima narasi pesanan, media berkewajiban melakukan "semburan dusta", demi efektivitas tekhnik propaganda selama empat tahun kedepan. Apa lagi dimasa pandemi corona menjadi momentum yang tepat untuk membangun serangan.

Dimasa pandemi corona banyak celah kesalahan tokoh yang akan diusung bisa dijadikan pembenaran, dan celah kesalahan lawan untuk dibombardir dengan semburan dusta, sebagai sebuah proses delegitimasi, menggerus kepercayaan publik.

Banyak media yang hampir menemui ajalnya, terlebih lagi dimasa Pandemi corona. Tidak ada lagi media yang bisa bertahan atas dasar idealisme, tidak idealis saja sulit untuk bertahan.

Tidak aneh kalau pada akhirnya bermunculan media-media buzzer, yang berada dalam barisan koor satu suara. Bahkan bukan rahasia umum lagi kalau ada jurnalis terperangkap dalam transaksi menerima pesanan narasi, demi kelangsungan periuk nasi dimasa pandemi.

Ciri media seperti ini, menjual judul berita yang sensasional, misleading, meskipun isinya seperti jakasembung bawa golok, yang gak nyambung dan terkesan ditulis secara goblok, yang memang imformasinya tidak untuk dicerna. 

Bukan cuma media-media di Indonesia, media asing pun tidak semuanya masih memegang teguh idealisme jurnalistik. Bisa dilihat seperti apa narasi yang disemburkan media asing, yang menyoroti situasi politik dalam negeri Indonesia akhir-akhir ini.

Bisa saja media asing tersebut pun menjadi bagian penyebaran propaganda firehose of The Falsehood. Sebetulnya sangat mudah dibaca pesanan narasi yang rerata sangat seragam.

Muara dari semburan dusta tersebut tetap sama, yakni delegitimasi kekuasaan yang sah.
Memang sulit dibuktikan, tapi bisa dirasakan, dan siapa bos besar dari skenario besar ini?

Itu pun tidak mudah untuk diketahui, tapi setidaknya bisa diraba siapa-siapa saja yang hajat hidup, bisnis, dan kepentingan politiknya yang terganggu oleh speak terjang rezim berkuasa saat ini.

“Tujuan kita dalam pembangunan negara adalah kebahagiaan bagi keseluruhan, dan bukan kebahagiaan satu kelas saja.” – Plato

***