Benar-benar Balik ke "Zaman Jahiliyah" Jika Pilkada Dilakukan oleh DPRD

Masyarakat pasti akan banyak yang menolak kalau pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD karena dianggap sebagai kemunduran demokrasi.

Rabu, 13 November 2019 | 23:32 WIB
0
348
Benar-benar Balik ke "Zaman Jahiliyah" Jika Pilkada Dilakukan oleh DPRD
Tito Karnavian (Foto: tempo.co)

Menteri Dalam Negeri atau Mendri Tito Karnavian ingin mengkaji pilkada yang dilakukan pemilihan secara langsung. Alasannya, karena pilkada secara langsung yang sduah berlangsung 20 tahun memiliki sisi negatifnya. Yaitu politik biaya tinggi dan banyak mudharatnya. Tetapi juga ada sisi positifnya juga yaitu melibatkan partisipasi masyarakat.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2019.

Mendagri Tito Karnavian juga mempertanyakan para kepala daearah yang jargonya mengabdi kepada nusa dan bangsa tetapi mengeluarkan biaya tinggi atau perlu modal besar untuk bisa menjadi calon kepala daerah.

"Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa trus rugi? Saya enggak percaya," kata Mendagri Tito.

Nah, terkait pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang ingin mengkaji pilkada secara langsung, ada artikel atau tulisan di PepNews  dengan judul: Kembali ke "Zaman Jahiliyah" Jika Pilkada Dilakukan oleh DPRD yang diunggah pada tanggal 19 April 2018 yang membahas plus-minus pilkada langsung atau lewat DPRD.

Ketua DPR Bambang Soesatyo "mewacanakan" pemilihan kepala daerah atau pilkada dikembalikan seperti dulu, yaitu dipilih oleh DPRD. Alasannya karena pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini diwarnai dengan politik uang dan transaksional.

"Pilkada secara langsung diwarnai praktik politik uang dan politik transaksional, menimbulkan kekhawatiran pada masa depan demokrasi di Indonesia dapat menjadi liberal," kata Bambang Soesatyo di ruang kerjanya Gedung MPR/DPR, Kamis 8 Maret 2018.

Bahkan ketua DPR Bambang Soesatyo juga menambahkan, "Banyak kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan walikota yang ditangkap KPK atas dugaan korupsi,ini sangat menyedihkan."

Bambang juga menambahkan usulan wacana pengembalihan pemilihan kepala daerah lewat DPRD juga mendapat dukungan dari KPK.

Tetapi klaim Bambang Soesatyo ini langsung dibantah oleh juru bicara KPK,Febry Diansyah.

"Kami tegaskan hal tersebut tidak benar.KPK tidak pernah menyimpulkan apalagi mengusulkan agas kepala daerah dipilih oleh DPRD,"kata Febry Diansyah, Selasa 8 April 2018.

Sepertinya setelah UU MD3 lolos dan disahkan oleh anggota dewan, sekarang para anggota DPR juga ingin mengembalikan tata cara pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Dengan alasan biaya pilkada secara langsung sangat mahal dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk pemilihan bupati dan walikota saja calon kepala daerah membutuhkan dana Rp50 milyar lebih dan untuk calon gubernur membutuhkan dana di atas Rp100 milyar.

Baca Juga: Kemunduran Demokrasi Indonesia Terjadi Setelah Pilkada DKI Jakarta

Sebenarnya hasil kepala daerah yang dipilih oleh masyarakat (langsung) atau yang dipilih oleh DPRD tidak jauh berbeda hasilnya. Pilkada langsung juga tidak menjamin akan menghasilkan kepala daerah yang amanah dan jauh dari korupsi. Karena baik yang dipilih secara langsung atau lewat DPRD sama-sama mempunyai potensi untuk korupsi atau menyalah gunakan jabatan atau wewenang.

Kalau pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD memang lebih murah dari segi biaya dan kerawanan sosial, tetapi bukan berarti tidak ada politik uang atau transaksional antara anggota DPRD dengan calon-calon kepala daerah.

Justru tim sukses atau sponsor (pemilik modal) dari para calon kepala daerah bisa melakukan lobi-lobi yang sifatnya tertutup dengan para anggota DPRD.

Biasanya jumlah anggota DPRD baik tingkat kabupaten/kota dan provinsi kurang lebih 50 orang anggota DPRD. Sebagai contoh, kalau dalam pilkada ada dua calon, maka seorang calon kepala daerah hanya membutuhkan 26 atau 30 suara anggota DPRD untuk memenangkan pemilihan pilkada. Dan kalau setiap anggota DPRD di suap dengan Rp500 juta, seorang calon kepala daerah hanya membutuhkan atau menyediakan dana sebesar Rp13 milyar sampai dengan Rp15 milyar.

Kalau calon kepala lebih dari dua, akan terjadi yang sifatnya politik transaksional, misal calon A berani Rp500 juta per-anggota DPRD, calon B berani Rp750 juta dan calon C berani Rp 1 milyar.

Inilah salah satu kelemahan pemilihan kepala daerah lewat DPRD, selain itu kelemahan pemilihan lewat DPRD, yaitu tidak ada peran atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, peran dan partisipasi masyarakat diambil alih oleh anggota DPRD.

Masyarakat pasti akan banyak yang menolak kalau pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD karena dianggap sebagai kemunduran demokrasi.

***