Kemunduran Demokrasi Indonesia Terjadi Setelah Pilkada DKI Jakarta

Jumat, 15 Februari 2019 | 10:57 WIB
0
911
Kemunduran Demokrasi Indonesia Terjadi Setelah Pilkada DKI Jakarta
Indeks Demokrasi Indonesia (Foto: Kompas.com)

BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat ada empat provinsi yang memiliki nilai tertinggi dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2017. Keempat provinsi tersebut tergolong baik lantaran nilainya di atas 80.

Tidak ada provinsi yang memperoleh nilai IDI dengan kategori buruk. Sebaliknya, dari 34 provinsi ada empat provinsi yang berkategori baik.

Posisi pertama ditempati DKI Jakarta dengan nilai IDI sebesar 84,73. Selanjutnya, ada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memperoleh nilai sebesar 83,61, disusul dengan Kalimantan Utara dan Kepulauan Bangka Beliteung yang masing-masing mendapatkan nilai sebesar 81,06 dan 80,11.

Sementara itu, angka IDI di tingkat nasional pada 2017 rata-rata berada di level 72,11 dalam skala 0 sampai dengan 100. Capaian tersebut menunjukkan peningkatan secara year-on-year karena IDI tingkat nasional pada tahun 2016 tercatat sebesar 70,09.

Dengan capaian angka tersebut, secara sederhana bisa diartikan bahwa angka demokrasi di Indonesia berada di level sedang.

Tingkat capaian IDI mencakup ukuran pada pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak demokrasi, dan lembaga demokrasi. Demokrasi di tingkat nasional bisa dibilang baik apabila indeksnya berada di atas 80.

Sementara itu, sejumlah perubahan yang disebut memengaruhi angka IDI dari 2016 ke 2017 antara lain, kebebasan sipil yang naik 2,30 poin (dari 76,45 menjadi 78,75), hak-hak politik yang turun 3,48 poin (dari 70,11 menjadi 66,63), serta lembaga demokrasi yang naik 10,44 poin (dari 62,05 menjadi 72,49). Indeks Demokrasi Indonesia 2017 (BADAN PUSAT STATISTIK).

Namun tak dinyana, data IDI dari BPS tersebut kurang mendapat afirmasi dari data Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 yang dirilis oleh Setara Institute.

Memang, ada yang menilai hasil studi Setara Institute bersifat sepihak dan malah mempertanyakan keabsahannya, misalnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies ketika itu menantang Setara untuk meninjau lebih dalam hasil riset tersebut. Bahkan Anies mencium ada pengaruh luar terhadap studi tersebut.

Kegundahan Anies tentu sangat bisa dipahami mengingat dari data tersebut, Jakarta dikategorikan sebagai salah satu kota dengan indeks terbawah.

Sepuluh kota yang masuk dalam daftar papan bawah indeks tersebut secara berurutan adalah Sabang (3.757), Medan (3.710), Makassar (3.637), Bogor (3.533), Depok (3.490), Padang (3.450), Cilegon (3.420), Jakarta (2.880), Banda Aceh (2.830), dan Tanjung Balai (2.817) yang menempati posisi terbawah.

Sementara itu, 10 kota teratas IKT 2018 adalah Singkawang (6.513) yang menempati posisi pertama, disusul Salatiga (6.477), Pematang Siantar (6.477), Manado (6.030), Ambon (5.960), Bekasi (5.890), Kupang (5.857), Tomohon (5.833), Binjai (5.830) dan Surabaya (5.823).

Jika dilihat dari hasil kajian Setara, tampaknya tak berbeda dengan data yang ditunjukkan oleh Social Progress Imperative, yang juga merilis laporan tahunan Social Progress Index, tetapi secara global.

Indeks tersebut dimaksudkan untuk melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara. Penilaian dilakukan atas tiga faktor utama, yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity. Ketiga faktor tersebut dijumlahkan dengan angka 100 sebagai nilai tertinggi.

Untuk melihat tingkat toleransi di Indonesia, komponen yang disorot adalah toleransi dan inklusi yang terdapat dalam faktor opportunity. Skor yang tercatat dari 2014 hingga 2017 menunjukkan tren yang cenderung meningkat.

Pada 2014, skor toleransi dan inklusi Indonesia adalah 27,90 dan naik pada 2015 menjadi 32,30. Namun, skor ini turun pada 2016 menjadi 29,57. Skor kembali naik menjadi 35,47 di tahun berikutnya, menempatkan Indonesia pada posisi 117 dari 128 negara di kategori tersebut.

Bila dirinci, komponen toleransi dan inklusi memiliki subkomponen, yaitu toleransi terhadap imigran, toleransi terhadap homoseksual, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, toleransi beragama, dan jaringan keamanan masyarakat.

Dari lima subkomponen tersebut, skor terendah ada pada toleransi beragama dengan nilai sebesar 2,0. Namun, unsur toleran dan tidak toleran termasuk dalam penilaian tentang bagaimana situasi politik dan demokrasi di suatu negara dilihat.

Karena masuk ke dalam ranah situasi politik dan demokrasi, maka kita juga bisa membandingkannya dengan laporan Democracy Index dari The Economist Intelligence Unit yang saya kira bisa sedikit membuka tabir mengapa kemunduran toleransi bisa terjadi.

Selidik demi selidik, kemunduran demokrasi di Indonesia, menurut The Economist Intelegence Unit, terjadi setelah Pilkada DKI Jakarta. Pilkada ini, sebagaimana kita pahami, sangat terkait dengan momen Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dari kelompok minoritas yang dipidana dalam kasus penodaan agama.

Dari laporan tersebut, indeks demokrasi di Indonesia memperlihatkan tren menurun dari 2014 hingga 2017. Pada 2014, tercatat nilai indeks sebesar 6,95 dan naik menjadi 7,03 pada 2015. Angka terus turun menjadi 6,97 pada 2016 dan turun sangat signifikan di 2017 dengan skor 6,39.

Tren tersebut tak pelak membuat Indonesia menjadi negara dengan performa terburuk pada 2017, turun 20 peringkat dari ranking ke-48 menjadi 68 di tingkat global.

Jadi saya cukup yakin, pertama, sebagaimana diyakini oleh banyak pihak selama ini bahwa masyarakat Indonesia, apa pun latar belakangnya, memiliki kecendrungan toleransi yang cukup tinggi.

Toh, berdiri kokohnya Indonesia sebagai rumah yang sangat beragam menjadi salah satu bukti otentik dari kecenderungan tersebut. Pun lancarnya proses transisi demokrasi yang berlangsung sejak awal reformasi juga membuktikan itu.

Nah, kedua, terkait data dari Setara, Social Progress Index, atau The Economist Intelegence Unit, ada pelemahan karakter toleransi pada momen politik, seperti pilkada, dan mungkin juga pilpres.

Indeks demokrasi, baik dari The Economist maupun dari BPS, cukup konsisten memperlihatkan penurunan indeks demokrasi jelang dan pada tahun momen politik.

Dengan kata lain, ada usaha-usaha politik yang boleh jadi terencana dan terorganisasi dalam menuntun berkembangnya sifat intoleran di dalam masyarakat pada momen politik.

Artinya, ada manfaat, baik politik elektoral maupun ekonomi, yang bisa didapat oleh kalangan tertentu saat merekayasa pembesaran sentimen intoleran.

Pendeknya, demokrasi di dalam bangsa dan negara yang beragam seperti Indonesia harus ditopang oleh semangat toleransi yang tinggi.

Jika tidak, bangunan prosedural demokrasi yang telah dirancang secara konsitusional dan institusional akan sangat rapuh fondasinya pada tataran realitas objektif.

Akan lebih memilukan, bahkan membahayakan lagi, jika bangunan psikologi atas tolerasi yang telah bersemanyam lama dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia, digiring terus-menerus oleh para elite ke arah intoleransi.

Kondisi semacam ini sejatinya akan menjadi fondasi kuat untuk terjadinya perpecahan, keterbelahan politik, kebencian, permusuhan, dan sebagainnya.

Jika itu sampai terjadi, maka dosa terbesar akan disematkan kepada elite-elite di negeri ini, bukan kepada rakyat banyak

***

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Komoditifikasi Intoleransi"