Suarakan Aspirasi Tanpa Turun ke Jalan

Menyalurkan aspirasi rakyat di DPR, jumlah aksi turun ke jalan dapat dikurangi. Menghilangkan sama sekali aksi turun ke jalan, pasti tidak mungkin, karena ada yang orang yang berpikiran beda.

Kamis, 26 September 2019 | 07:15 WIB
0
579
Suarakan Aspirasi Tanpa Turun ke Jalan
Demo di depan Gedung DPR (Foto: Tempo.co)

Sudah 74 tahun merdeka, tetapi masih sulit bagi Indonesia untuk melakukan proses demokrasi (termasuk menyalurkan aspirasi) di Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagian orang lebih suka melakukan proses demokrasi dengan melakukan aksi turun ke jalan, dengan mengadakan aksi unjuk rasa. Padahal, di dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi seharusnya aspirasi rakyat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat di DPR.

Namun, sayangnya dalam sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, hal itu tidak pernah terwujud. Indonesia memiliki partai politik, dan melangsungkan pemilihan umum setiap lima tahun. Namun, setelah pemilihan umum dilangsungkan dan partai-partai politik yang terpilih duduk di DPR, rakyat merasa kepentingan politik mereka tidak diwakili.

Partai-partai politik di DPR mempunyai agenda sendiri-sendiri yang dianggap rakyat tidak mewakili kepentingan mereka. Akibatnya, rakyat memilih menyalurkan aspirasinya dengan turun ke jalan dan mengadakan aksi unjuk rasa, atau populer dengan sebutan parlemen jalanan.

Seiring dengan perjalanan waktu, tampak bahwa tidak semua aksi turun ke jalan itu mewakili aspirasi rakyat. Sering kali, aksi unjuk rasa itu direkayasa oleh satu dua orang, atau sekelompok orang, yang “mengatasnamakan” rakyat demi kepentingan mereka. Mereka mengupah orang-orang guna mengadakan aksi unjuk rasa, untuk menyuarakan kepentingan mereka. Bahkan, tidak jarang orang-orang yang berunjuk rasa itu tidak tahu-menahu untuk apa mereka turun ke jalan.

Berbeda dengan proses demokrasi di DPR yang terukur, aksi turun ke jalan itu berpotensi berkembang menjadi kerusuhan.

Banyaknya orang yang secara serentak berkumpul di suatu tempat cenderung berkembang menjadi crowd—kerumunan orang yang berperilaku kolektif karena kewarasan masing-masing individu munurun— akibatnya perilaku mereka menjadi tidak terkendali dan merusak segala sesuatu di dekat mereka. Pada saat inilah, benturan dengan aparat keamanan terjadi. Keadaan menjadi lebih runyam jika aparat keamanan juga berubah jadi crowd. Bisa dibayangkan apa yang terjadi apabila dua crowd berbenturan. Itu belum semua, aksi turun ke jalan juga rentan disusupi, atau ditunggangi oleh petualang-petualang politik.

Dan, kemajuan teknologi informasi akhir-akhir ini semakin memperumit keadaan itu. Oleh karena media sosial digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan orang banyak di suatu tempat, menghasut atau mengadu domba unsur-unsur masyarakat dengan menyebar hoax, dan memaki lawan politik dengan kata-kata kasar yang membuat keadaan makin panas.

Pertanyaannya adalah apakah mungkin Indonesia memindahkan proses demokrasi dari jalan ke Gedung DPR? Jawabannya untuk DPR periode ini yang masa tugasnya akan berakhir dalam waktu dekat, pasti tidak. Untuk DPR periode mendatang, tergantung pada kinerja wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR. Jika mereka benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat di DPR, mungkin jumlah aksi turun ke jalan dapat dikurangi. Menghilangkan sama sekali aksi turun ke jalan, pasti tidak mungkin, karena selalu saja ada yang orang, atau orang-orang yang berpikiran berbeda.

Baca Juga: Demokrasi dan Demonstrasi

Bisakah dicari cara lain, di luar aksi turun ke jalan, untuk menyalurkan aspirasi? Terutama bagi Universitas, termasuk mahasiswa, dan juga para cendikiawan. Sebagai kalangan terpelajar, tentunya ada cara lain untuk menyampaikan aspirasi di luar aksi turun ke jalan. Beberapa aksi turun ke jalan yang terakhir dengan kerusuhan.

Seperti dibahas di atas, aksi turun ke jalan rentan berkembang menjadi kerusuhan, baik ditunggangi (disusupi) maupun tidak. Selain menimbulkan kerusakan, aksi turun ke jalan menimbulkan kemacetan di mana-mana yang mengakibatkan perekonomian terganggu, dan menimbulkan citra buruk yang bias mengganggu investasi.

Khusus mengenai aksi unjuk rasa yang terakhir ini, yang berakhir dengan kerusuhan, yang sangat disayangkan adalah mengapa tidak ada aturan yang melarang anggota DPR yang sebentar lagi masa tugasnya berakhir mengambil keputusan strategis, pada saat anggota DPR periode mendatang sudah terpilih. Demikian juga dengan menteri terkait yang menjadi mitra DPR.

Kita mengenal istilah lame duck dalam politik (yang secara harafiah berarti, bebek lumpuh). Yang artinya, seorang presiden, atau pejabat politik, tidak diperkenankan lagi mengambil keputusan strategis, ketika penggantinya telah terpilih dan tengah menunggu untuk dilantik.

Seharusnya DPR pun musti diperlakukan sama. DPR mempunyai masa tugas selama 5 tahun, mengapa harus memaksa menyelesaikan 3 RUU menjelang akhir masa tugasnya?

***