Demokrasi dan Demonstrasi

Petakan persoalan dengan akurat lalu pahami. Bagian mana yang tidak setuju, itulah yang ditolak, minta dibatalkan. Sehingga artikulasi dari pemikiran dan sikap anda jelas, konstruktif.

Rabu, 25 September 2019 | 10:14 WIB
0
361
Demokrasi dan Demonstrasi
Demonstrasi menentang RUU KUHP (Foto: Genpi.co)

Platform besar diskursus kita adalah demokrasi, yang diperjuangkan sejak awal tahun 1970an oleh para mahasiswa. Apapun topik yang dibahas, argumennya, Indonesia harus tetap berada di ruang demokrasi. Saat ini kelompok manapun bisa mengemukakan aspirasi dan pemikirannya dengan bebas karena kita hidup di alam demokrasi. Karena demokrasi menyediakan kebebasan, ruang, dan saluran untuk itu.

Dalam beberapa pekan terakhir, di mana RUU KPK yang kemudian menjadi UU KPK, dan RKUHP menjadi dua isu sentral dari kontroversi di antara beberapa pihak. Dua produk hukum itu memang sangat kontroversi karena menyangkut isu paling inheren dengan kehidupan masyarakat Indonesia: pemberantasan korupsi dan UU Pidana.

Tidak sedikit orang yang menyimpulkan, dengan disahkannya RUU KPK menjadi UU KPK, seolah membawa Indonesia kembali ke jaman Orde Baru. Menurut saya itu tesis yang sangat sesat dan ahistory. Kenapa? Di jaman Orde Baru, kalau orang yang menentang pengesahan satu RUU menjadi UU, niscaya orang itu akan ditangkap. Boro-boro bisa demo, tampil di televisi memaparkan deskripsi penentangannya.

Sekarang, orang yang tidak setuju dengan satu UU, bisa mengajukan gugatan ke MK agar UU itu, baik sebagian atau keseluruhan, dibatalkan karena bertentangan dengan perangkat peraturan yang lebih tinggi. Kemukakan argumentasinya. Di jaman Orde Baru tidak ada mekanisme untuk membatalkan UU. MK-nya aja gak ada.

Ingat, jika sistem yang berlaku dan dan diterapkan di Indonesia saat ini bukan demokrasi, maka kemungkinannya adalah Indonesia kembali di bawah pemerintahan yang otoriter seperti di jaman Orde Baru, atau sistem lain yang tidak memberi kebebasan bagi rakyat untuk bisa ikut berpartisipasi dalam proses politik, selain sebagai pemilih dalam pemilu. Saya yakin semua sepakat, itu tidak diinginkan.

Demokrasi adalah kesepakatan final kita dalam berbangsa dan bernegara Indonesia. Konsekuensinya, kita harus menerima produk-produk demokrasi: institusi, undang-undang, mekanisme, dan orang-orang yang terpilih secara demokratis. Jadi, jika sekarang anda menempuh cara-cara yang menentang demokrasi dan produk-produknya, pantas dicurigai bahwa anda anti demokrasi.

Jangan-jangan anda adalah proxy atau tentakel dari kelompok-kelompok anti demokrasi, seperti sisa-sisa Orde Baru, kelompok pendukung khilafah.

Tapi kan tidak semua produk-produk demokrasi itu bagus, misalnya RUU KPK dan RKUHP yang ditentang banyak pihak? Lah ... anda menghabiskan waktu bertahun-tahun sejak jaman Orde Baru mengencangkan urat leher menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, meneriakan demokrasi. Apa tidak lupa bahwa dalam buku besar demokrasi itu ada catatan: tentang konsekuensi dan ‘cost’?

Dalam demokrasi, preman terminal, penyanyi, model majalah seronok, pelawak, pengusaha, mantan narapidana, sampai profesor di perguruan tinggi bisa menduduki jabatan-jabatan publik: kepala daerah, ketua lembaga negara, atau anggota parlemen. Kepada merekalah rakyat, termasuk kelompok bajingan, menyalurkan aspirasi, pemikiran, keluhan, dan kepentingan politiknya.

Anda tidak suka? Saya juga. Tapi itulah konsekuensi dan cost demokrasi. Suara seorang idiot jalanan nilainya sama dengan suara anda yang genius: satu. Sebagai penganut demokrasi, adalah konsekuensi kita harus menerima dan mengakui fakta pahit seperti itu. Sehingga jika dalam produknya berupa rancangan undang-undang banyak yang aneh-aneh, ya bisa dipahami. Anda menolak dan marah? Saya juga.

Tapi apakah harus menyalahkan rakyat yang memilih mereka (anggota parlemen)? Itu anda tidak demokratis. Atau anda marah sama pemerintah, lalu teriak-teriak ‘Turunkan Presiden’? Anda bukan penganut demokrasi. Presiden (in charge) saat ini adalah Presiden yang dipilih dalam Pilpres 2014 dan sah menurut konstitusi. Anda mau mengingkari itu?

Benar, banyak konten aneh dalam banyak RUU yang dibuat oleh parlemen bersama pemerintah. Satu hal yang harus dipahami, penyusunan sebuah RUU merupakan medan pertempuran dari berbagai kelompok kepentingan yang menguras banyak sumber daya, termasuk duit. Di DPR sendiri ada sekian fraksi yang kepentingannya berbeda-beda. Jadi, setiap pasal dalam sebuah RUU adalah kesepakatan politik. Apakah itu kesepakatan final dan akan diberlakukan? Tidak.

Contoh produk RUU yang sebagian kontennya aneh-aneh dan menurut saya harus ditolak adalah RUU KPK (yang sudah jadi UU) dan RKUHP. Tapi, haruskah membubarkan DPR dan menurunkan Presiden? Tidak. Demokrasi menyediakan ruang dan mekanisme untuk penolakan terhadap undang-undang, sebagian atau keseluruhannya: ajukan judicial review ke MK.

Jadi, coba petakan persoalan dengan akurat, lalu pahami. Bagian mana yang anda tidak setuju, itulah yang anda tolak, anda minta batalkan. Sehingga artikulasi dari pemikiran dan sikap anda jelas, konstruktif. Kecuali jika pemikiran dan sikap yang anda tunjukkan didasarkan pada keberpihakan pada kelompok kepentingan tertentu. Jika memang begitu, anda hanya menggunakan isu RUU KPK dan RKUHP sebagai wahana pencapaian tujuan kelompok anti demokrasi itu, dan anda adalah budak mereka.

***