People Power, Selebrasi atau Delegitimasi Kedaulatan Rakyat?

Upaya demo mereka di depan Bawaslu pun saya pertanyakan, apakah mereka menegakkan demokrasi atau justru mendelegitimasi demokrasi itu sendiri atas nama ego mereka.

Rabu, 22 Mei 2019 | 07:14 WIB
0
510
People Power, Selebrasi atau Delegitimasi Kedaulatan Rakyat?
Aparat dan pengunjuk rasa di depan Bawaslu (Foto: Akurat.co)

Pemilu 2019 ini sungguh fenomenal. Sepanjang tahapan pemilu yang merupakan gabungan antara pemilihan calon presiden dan calon legislatif ini rakyat dipaksa berpikir kaki di kepala dan kepala di kaki. Fakta dan hoaks bercampur dan tersebar melalui media sosial hingga ke ruang-ruang komunitas.

Lembaga-lembaga yang secara konstitusional memiliki wewenang seperti dipatahkan taringnya. Mereka yang masih bekerja atas nama profesionalisme tetiba masuk dalam pusara isu negatif. Dan yang paling dihantam kali ini adalah lembaga KPU.

 Sejak awal 2018 isu-isu yang mencurigai adanya kecurangan petahana mulai berhembus. Mulai dari kasus-kasus tercecernya blanko EKTP, petahana yang diminta untuk cuti atau mengundurkan diri di masa kampanye hingga petahana menggunakan fasilitas negara untuk berbagai keperluan. Sekuat apapun isu ini dihembuskan, sayangnya tak satupun yang terbukti adalah perbuatan curang dalam pemilu.

Delegitimasi KPU dan pemerintah? Semua indikasi mengarah pada hal itu tentunya. Tujuannya? Saat itu kita belum membayangkan situasinya hingga apa yang terjadi hari ini. Polanya memang menyerupai sebuah alur yang terskenario dengan baik.

Sejak saat itu, satu persatu pelaku penyebar hoaks dan ucapan kebencian mulai terciduk dan menjalani proses hukum. Dan tudingan pemerintah otoriter serta membelenggu hak demokrasi rakyat pun viral di media massa. Pendukung Prabowo-Sandi kerapkali mengaitkan tindakan tegas pemerintah kali ini layaknya tindakan pemerintah orde baru terhadap aktifis yang menyuarakan aspirasi oposisi dulu. Lagi-lagi tudingan mereka tidak terbukti. Justru menjamurnya media massa online saat ini adalah bagian keran kebebasan pers yang terbuka lebar.

 Deklarasi pasangan calon untuk pilpres 2019 memulai masa dimana polarisasi rakyat terbentuk dengan tajam. Di masa dimana tim sukses menyusun peta kekuatan, di sini pula sikap hormat terhadap asas demokrasi dan supremasi hukum diuji. Kasus ujaran kebencian dan penghinaan pun bertambah. Pemerintah maupun rakyat diuji apakah keran demokrasi dibuka secara bablas atau dikekang secara beringas.

Rupanya supremasi hukum yang ditegakkan pemerintah justru jadi cikal bakal upaya delegitimasi institusi pemerintahan itu sendiri. Polri, KPU dan Kabinet acapkali tak luput jadi sasaran yang disebut institusi pemenang petahana. Semua tindakan yang dilakukan semua institusi ini mulai jadi bulan-bulanan pendukung sang mantan jendral kopassus tersebut. 

Baca Juga: Upaya Delegitimasi KPU dan Cara Curang untuk Gagalkan Hasil Pemilu

Sebelum pemungutan suara dilakukan, Prabowo Subianto dan Badan Pemenangan Nasionalnya telah beberapa kali menyinggung bahwa KPU tidak netral . Prabowo pernah berkata di hadapan para pendukungnya bahwa dirinya harus meraih suara minimal 25 persen di atas perolehan suara petahana karena ia khawatir suaranya akan dicuri jika hanya terpaut belasan persen.

Ucapan Prabowo tersebut bahkan sempat ditanggapi oleh ketua KPU, Arief Budiman, yang menegaskan bahwa ada mekanisme khusus yang membuat suara tidak bisa sembarang dicuri. Selain itu menurut Arief, ada Bawaslu yang mengawasi sekaligus menerima pengaduan pelanggaran dalam pemilu. Tapi sepertinya tanggapan ketua KPU ini juga tidak digubris oleh kubu Prabowo.

Pasca pemungutan suara ternyata tensi politik tidaklah menurun. Sebaliknya, setelah beberapa lembaga survey mengumumkan hasil hitung cepat perolehan suara Pilpres, tak sampai  12 jam pasta pemungutan suara di TPS, Prabowo bersama BPN melakukan deklarasi kemenangan dan sujud syukur.

Mereka juga dengan lantang menuding lembaga-lembaga survey tersebut sebagai lembaga bayaran yang bertugas memenangkan salah satu paslon yang merilis hasil hitung cepat yang tidak akurat.

Prabowo mengklaim dirinya menang hasil hitung c1 asli dari sumber data BPN. Beberapa deklarasi susulan pun dilakukan oleh Prabowo yang cukup menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat akan gambaran hasil pemilu sebenarnya. Siapakah paslon yang menang dan apakah hasil hitung cepat lembaga survey itu valid untuk mewakili hasil? pertanyaan itu seolah berputar di benak masyarakat.

Prabowo yang sempat mengklaim menang dengan jumlah perolehan suara 62 persen dari total suara nasional terbantahkan lagi oleh beberapa hasil yang dirilis BPN yang menyatakan Prabowo menang dengan hasil 80 persen. Anehnya, pada masa menjelang rampungnya pleno rekapitulasi nasional versi KPU perolehan suara yang diklaim Prabowo berubah menjadi 54 persen kemenangan.

Dalam sebuah diskusi nasional yang diberi tajuk "Membongkar kecurangan pemilu", Prabowo mengatakan bahwa BPN memiliki formulir C1 asli dari 444ribu TPS yang menunjukkan bahwa perolehan suara dirinya menang di angka 54 persen tersebut. Padahal, jumlah TPS secara keseluruhan ada lebih dari 810ribu TPS. Menurut saya, aksi klaim ini cukup nekad karena tidak ilmiah secara keterwakilan suara. Prabowo telah memberi harapan pada para pendukungnya dan membakar semangat mereka untuk melakukan aksi perlawanan terhadap lembaga KPU.

Seruan people power pun membahana yang dilakukan oleh barisan Prabowo diwakili orasi Eggi Sudjana dan Amien Rais. Mereka mengklaim bahwa mereka sudah mengalami ketidakadilan karena adanya kecurangan yang mereka tuduhkan ke arah KPU. Mereka mengatakan tidak lagi mempercayai sepenuhnya lembaga MK untuk peradilan gugatan pemilu.

Akibat ajakan people power yang mengarah kepada aksi makar ini beberapa orang dari kubu Prabowo pun diciduk polisi. Tapi apa lacur, seruan telah lebih dulu membakar emosi para pendukungnya di banyak daerah. Menjelang penetapan hasil pemilu oleh KPU, para pendukung Prabowo dari luar daerah pun mempersiapkan diri untuk berbondong-bondong menggeruduk KPU lewat aksi massa yang mereka klaim sebagai aksi damai.

Padahal, di mata saya 'people power' sebenarnya telah terjadi pada tanggal 17 April 2019 lalu dimana 80% dari daftar pemilih tetap berbondong-bondong menuju TPS menyalurkan hak pilih mereka. 

Berkali-kali mereka meneriakkan bahwa Prabowo dan Sandiaga telah terpilih sebagai presiden dan wakil presiden dan suaranya telah dicurangi oleh kubu lawan. Pada tanggal 20 Mei 2019 di malam hari akhirnya KPU merampungkan pleno rekapitulasi propinsi terakhir yaitu propinsi Papua dan melanjutkannya dengan pleno rekapitulasi nasional serta penetapan hasil pemilu di waktu dinihari. Ini jadi kejutan karena diprediksi KPU akan melakukan penetapan hasil di tanggal 22 Mei 2019. 

Penetapan hasil pemilu di tanggal 21 Mei 2019 bertepatan dengan 21 tahun reformasi pasca lengsernya Soeharto di tanggal 21 Mei 1998 lalu. Momen ini seolah ingin diulang oleh massa pendukung Prabowo. Menjatuhkan Jokowi sebagai seseorang yang dianggap pelaku kecurangan pemilu dan perenggut hak demokrasi rakyat menjadi impian sekian banyak pendemo yang akhirnya berkumpul di depan kantor Bawaslu.

Aksi massa ini kabarnya sempat akan ditunggangi oleh kelompok teroris JAD (Jamaah Ansharud Tauhid) yang digagalkan oleh tim Densus 88 antiteror dengan menangkap 60 pelaku teroris dan menyita ratusan bob rakitan yang awalnya akan diledakkan di beberapa titik lokasi di tanggal 22 Mei 2019.  Sungguh sebuah aksi bunuh diri jika hal ini terjadi. Seruan jihad melawan ketidakadilan pun dipakai sebagai jargon pemantik semangat para demonstran. 

Baca Juga: Tentang "Nggege Mangsa"

Padahal, dari 154 juta suara sah nasional ada nyaris 85,6 juta suara pemilih Jokowi-Maruf dan 68,6 juta suara pemilih Prabowo-Sandi. Nyaris 86 juta suara pemilih Jokowi-Ma'ruf adalah merupakan produk demokrasi yang mereka ragukan dan abaikan.

Upaya demo mereka di depan Bawaslu pun saya pertanyakan, apakah mereka menegakkan demokrasi atau justru mendelegitimasi demokrasi itu sendiri atas nama ego mereka? apakah 86 juta pemilih Jokowi ini bukan warganegara yang mereka anggap? Sungguh momen pemilu yang sangat sulit dilupakan karena semua teori tata negara dan pemerintahan saya rasa tak bisa mengupas perilaku ini.

Semoga pemilu 2019 bisa benar-benar ditutup dengan cara baik meski sulit melewati proses yang cukup ajaib ini. Setidaknya, momen ini membantu aparat bersih-bersih negeri dari para pelaku terorisme. Tak muluk-muluk, Saya hanya berharap damai terjadi selepas ini. 

***