Peringatan Keras “Referendum” Serambi Mekkah

Menurut mereka Indonesia hari ini sudah menuju arah yang liberal dan jauh dari nilai-nilai yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa di dalam UUD 1945.

Minggu, 2 Juni 2019 | 22:35 WIB
0
538
Peringatan Keras “Referendum” Serambi Mekkah
Mantan Panglima GAM Muzakir Manaf saat Haul Kesembilan Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro. (Foto: Acehportal.com).

Dampak pencurangan Pilpres 2019 membuat Provinsi Nangroe Aceh Darussalam “bergolak”. Lama tidak berbicara tajam dan keras, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf akhirnya mengeluarkan pendapat mengejutkan.

“Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja, itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh, kita minta referendum saja,” tegasnya.

Pernyataan mantan Panglima GAM yang akrab disapa Mualem itu disambut tepuk tangan dan yel yel hidup Mualem. Pendapat dan keinginan itu disampaikan Mualem dalam sambutannya pada peringatan Kesembilan Tahun (3 Juni 2010-3 Juni 2019), wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5/2019) malam.

Menurut Mualem, pihaknya sudah mengkaji dan melakukan instropeksi diri atas berbagai kelemahan dan kemajuan yang perlu diperbaiki pada masa mendatang. Nah, berdasarkan pengalaman itulah menurut Mualem, Aceh harus melihat dan meretas jalannya sendiri di masa depan.

“Karena, sesuai dengan Indonesia, tercatat ada bahasa, rakyat dan daerah (wilayah). Karena itu dengan kerendahan hati, dan supaya tercium juga ke Jakarta. Hasrat rakyat dan bangsa Aceh untuk berdiri di atas kaki sendiri,” ungkap Mualem yang kembali mendapat tepuk tangan dari kader PA dan mantan kombatan GAM yang hadir.

Mualem menilai, Indonesia tidak lama lagi akan dijajah asing. “Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing, itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur, kenapa Aceh tidak,” ujar Mualem.

Hadir saat itu, Plt Gubernur Aceh, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, Kajati Aceh, Rektor Unsyiah Banda Aceh, Ketua Pengadilan Tinggi (masing-masing diwakili) serta para Bupati dan Walikota dari Partai Aceh, anggota DPRA Partai Aceh serta partai nasional.

Mualem menegaskan, beberapa tokoh dan pengamat luar negeri seperti Australia, Jepang, Malaysia, dan negara Eropa lainnya, Indonesia tak bisa diselamatkan lagi.

Jika Presiden RI dipaksakan untuk tidak diganti (dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto), maka NKRI sudah terpastikan ke depannya akan menjadi negara jajahan RRC seperti Srilangka, Pakistan, dan enam negara lain. Yang akan disusul oleh Malaysia.

“Dari pada kita dijajah orang lain, lebih baik kita (Aceh) berdiri di atas kaki sendiri. Mudah-mudahan, ini adalah satu usaha dan pemikiran bangsa Aceh saat ini. Mudah-mudahan dengan niat kita semua, lebih baik kita mengikuti Timor-Timur, Insya Allah,” tegas Mualem kembali yang disambut yel,,yel hidup Mualem dan “merdeka”.

Mualem menilai, kita tidak dapat bayangkan lagi, persoalan bangsa Indonesia, semakin hari semakin menumpuk. Indonesia terjerat pada berbagai persoalan. “Ini seperti nasib beberapa negara di Afrika. Ini perlu kita camkan, kita berharap Indonesia ini dipimpin oleh sosok yang baik. Mudah-mudahan aman dan damai semuanya,” tutup Mualem, mengakhiri sambutannya.

Usai acara buka puasa bersama tersebut, sejumlah petinggi GAM, mantan kombatan, dan kader Partai Aceh, membicarakan kembali pernyataan Mualem itu. Mayoritas mereka menyatakan mendukung.

Pane keumah lon ngon Indonesia, sabe-sabe tanyo dipeunget. Dipelueh ule, dimat iku (ndak mungkin lagi bersama Indonesia, karena selalu kita ditipu. Kalau dilepas kepala, ekor tetap dipegang),” ujar Ismal, salah seorang mantan kombatan GAM Wilayah Aceh Besar.

Tak sampai  satu kali 24 jam, Mualem menyatakan referendum untuk Aceh, respon datang dari senator asal Aceh, Fachrul Razi. Dia menilai, referendum adalah mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik rakyat untuk menentukan masa depannya.

Menurut dia, referendum adalah solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara. “Mengapa saya berbicara referendum? Karena saya wakil Aceh di pusat,” lanjutnya, seperti dilansir Gelora.co.

Jika rakyat Aceh menginginkan referendum, sambungnya, “Sebagai wakil Aceh sangat wajar saya memperjuangkan itu,” tegas Fachrul Razi melalui pesan singkat yang dikirimkannya ke Gelora.co, Selasa (28/5/2019) dini hari.

Pimpinan Komite I DPD RI ini memberikan perhatian serius jika Aceh nantinya melakukan referendum secara resmi. “Mungkin jika pendapat ini saya sampaikan sebelum Pileg, 17 April 2019 lalu, bisa saja dituding mencari start dan membuat pencitraan,” katanya.

“Tapi Pileg sudah selesai dan rakyat Aceh masih memberi amanah kepada saya. Karena itu, sepatutnya saya menampung aspirasi tersebut,” tegas anggota DPD RI putra Aceh Utara ini. Tuntutan referendum juga bisa menjalar ke daerah lainnya.

Analis politik DR. Rahman Sabon Nama meminta agar pemerintah dan elit bangsa, baik yang ada di pemerintahan maupun di partai politik agar mencermati tuntutan referendum dari Raja Jogjakarta serta Kesultanan dan Kerajaan Nusantara.

Seperti dikutip Gelora.co, Kamis (30/5/2019), Rahman mengingatkan agar jangan hanya bisa teriak “NKRI harga mati, Indonesia adalah kita dan Aku Pancasila” jawab ancaman tersebut jangan jadi pecundang dan pengecut.

Menurut Rahman munculnya tuntutan referendum akibat dari kekecewaan mereka atas carut marutnya penyelenggaraan Pemilu 2019 hingga penetapan pemenang pilpres oleh KPU hanya dari Real Count Situng KPU yang dianggap tidak lazim dan penuh misteri pada 21 Mei 2019.

“Kecewa rakyat tergambar dari unjuk rasa di berbagai daerah mendatangi KPU, Bawaslu, bahkan DPRD menuntut agar mendiskualifikasi paslon 01 (Joko Widodo – Ma’ruf Amin),” lanjut Rahman.

“Oleh karenanya para Sultan dan Raja Nusantara semakin tidak percaya bahwa cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945 akan tercapai. Malahan semakin jauh dari harapan di bawah mandat pemimpin Republik Indonesia,” ungkap Rahman.

Padahal menurut sejarah, lanjut Rahman, bahwa sebelum 17 Agustus 1945 seluruh tanah dan air nusantara adalah hak milik 140 lebih Raja dan Sultan di seluruh Nusantara.

“Sekarang saat nusantara menjadi Republik NKRI, siapa pemegang saham Indonesia secara konstitusional pemilik tanah, air, lautan dan daratan beserta isinya? Karena haknya sebagai pemilik awal dan memberikan mandat kepada Soekarno,” ungkap Rahman.

Tetapi malahan kini, oleh pemimpin Republik NKRI dengan mudahnya melepas SDA untuk dikuasai aseng dan asing,” ujarnya. Untuk menyikapi hal itu para Sultan dan Raja bertemu di Gedung Proklamasi Jakarta, Kamis, 30 Mei 2019.

Menurut Rahman, mereka para Sultan dan Raja Nusantara telah berangsur menyadari, akan menarik kembali mandat atas kekuasaan di masing-masing wilayah kedaulataannya. Karena mandat itu dahulu diserahkan para Kesultanan dan Kerajaan itu kepada Soekarno sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

“Itulah sikap kekecewaan dan penyesalan paling dalam dari para Kesultanan dan Kerajaan Nusantara terhadap moralitas dan perilaku pemerintahan Jokowi yang dianggap benar-benar telah mengangkangi tegaknya demokrasi, memperkosa nilai universal kebenaran, kejujuran, dan keadilan mendasar dalam Pancasila atas penyelenggaraan pemilu 2019 yang bisa berdampak pada perang saudara,” tegasnya.

“Maka para Sultan dan Raja akan menarik mandat pemimpin Republik NKRI melalui referendum dalam menyikapi situasi politik nasional saat ini. Para Sultan dan Raja pun tidak mau bangsa ini dibebani dengan semakin menumpuknya hutang yang dibuat oleh pemimpin Republik NKRI hingga mencapai angka hampir 5000 triliun Rupiah. Maka dari itu Kesultanan dan Kerajaan Nusantara menarik mandatnya,” Rahman menambahkan.

Terkait tuntutan Referendum Sultan Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubowono X, Rahman menghimbau Presiden agar sebaiknya cepat direspon dengan memerintahkan Mendagri segera menyelesaikan status Keistimewaan Jogjakarta sebelum Oktober 2019.

“Dengan mengembalikan statusnya sesuai UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Keistimewaan Jogjakarta dan penetapan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Jogjakarta,” ungkap Rahman.

“Agar ke depan syarat mutlak yang dimiliki seorang Presiden Indonesia tidak cukup pintar saja. Tetapi yang terpenting disamping punya kapabalitas kepemimpinan juga harus punya wawasan kebangsaan dan harus tahu akan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, ini sangat penting,” tegasnya.

Bukan Makar

Referendum dalam sejarah Reformasi sejatinya bukanlah hal yang baru, dan itu yang pernah disampaikan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berkaitan dengan amandemen UUD 1945 yang saat itu dilakukan oleh MPR.

UUD 1945 hasil amandemen merupakan desain menuju Indonesia liberal, negara tak pernah meminta persetujuan rakyat dalam mengubahnya. Salah satu cara mengembalikannya adalah dengan mengajak rakyat melakukan referendum.

Referendum bukanlah makar, tetapi hak konstitusi dan jalan konstitusi untuk memperbaiki bangsa yang sudah dianggap tak sejalan dengan nilai-nilai yang ada sebagaimana didirikan oleh para pendiri bangsa.

Baca Juga: Menohok, Jokowi Singgung Lahan Milik Prabowo di Kaltim dan Aceh

Nah persoalannya etis atau tidak? Mengutip penulis Isa Ansori, “Bagi saya etis atau tidak itu bergantung pada sudut pandang mana? Masih sangat absurd. Menurut Isa Ansori, ada dua jenis referendum legislatif dan referendum semesta.

Referendum legislatif dilakukan apabila suatu adopsi atau perubahan/pembaharuan konstitusi atau UU mewajibkan adanya persetujuan rakyat seluruhnya.

Sedangkan referendum semesta merupakan sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat, yang didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas.

“Meski begitu semua harus berhati-hati dalam menggunakan kata referendum, karena sikap itu akan menimbulkan implikasi yang serius,” tegas Isa Ansori.

Akhirnya kita semua mesti harus lapang dada menyikapi sebuah sikap. Dalam terminologi aksi, setiap aksi selalu akan ada reaksi, dalam setiap sebab pasti ada akibat. Maka tidak bijak kita menyalahkan sikap orang lain, karena sikap itu juga bersebab dari sikap kita.

So... Lebih jernih dan lebih santai menyikapi, karena Indonesia sudah banyak menghadapi masalah, jangan lagi ditambahi masalah lain yang bersumber dari ketidak mampuan kita memahami sikap orang lain.

“Saya yakin mereka yang memunculkan wacana referendum bukanlah mereka yang tidak mencintai Indonesia, mereka sudah terbukti sangat mencintai Indonesia dan mereka sudah berkorban atas kecintaannya,” kata Isa Ansori.

Mereka hanya ingin Indonesia tidak semakin terpuruk, Indonesia harus kembali ke jalan yang benar. Bukankah menurut mereka Indonesia hari ini sudah menuju arah yang liberal dan jauh dari nilai-nilai yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa di dalam UUD 1945.

Mereka berharap Indonesia bisa sejalan dengan amanah para pendiri bangsa. Bukankah hari ini setiap kita dan anak yang lahir sudah harus menanggung beban hutang negara senilai Rp 13 juta, lalu di mana tanggungjawab negara terhadap kesejahteraan warganya?

Jadi, kita tidak perlu alergi dengan ungkapan referendum seperti ungkapan Mualem.

***