Ketika Demokrasi Dirudapaksa

Kita harus bercermin dengan negara-negara ditimur Tengah, yang porak poranda hanya karena campur tangan pihak Ketiga.

Kamis, 9 Mei 2019 | 11:19 WIB
0
468
Ketika Demokrasi Dirudapaksa
Eggy Sudjana (Foto: Tribunnews.com)

Adab Pemilu 2019 bisa dianalogikan dengan Adab Berpuasa, di mana waktunya berbuka Puasa ditandai dengan Beduk Maghrib, atau azan Maghrib. Sah tidaknya Puasa seseorang sesuai dengan Adab Berpuasa yang diberlakukan.

Begitu juga dengan Pemilu, Adab yang berlaku sesuai dengan aturan dan Undang-Undang yang berlaku. Seseorang dinyatakan sebagai Pemenang setelah hasil pengumuman dari KPU. Itulah kemenangan yang dianggap sah sesuai dengan aturan dan Undang-Undang yang berlaku.

Nah Prabowo dianalogikan seperti seseorang yang berbuka puasa sebelum waktunya tiba, dia berbuka puasa hanya karena bisikan seseorang yang mengatakan sudah waktunya buka puasa, padahal dia baru saja sahur, hanya saja setelah sahur dia tertidur, begitu bangun dibisikan sudah waktunya berbuka puasa, tanpa melihat waktu diapun langsung berbuka.

Apakah bisa dianggap sah Puasa Prabowo.? Jelas tidak sah, karena dia berbuka puasa sebelum waktunya. Sama halnya dengan Prabowo Deklarasi sebagai pemenang, hanya berdasarkan bisikan orang terdekatnya, bahwa dia sudah menang, padahal pengumuman secara resmi belumlah dikeluarkan KPU.

Apakah sah kemenangan Prabowo? Jelas tidak, karena pengumuman tersebut hanya bersipat sepihak, tidak sesuai dengan Konstitusi yang berlaku. Inilah yang terjadi sekarang ini, klaim sepihak dijadikan acuan, dan minta diakui sebagai Pemenang. 

Yang parahnya lagi, sudah mengakui sendiri sebagai pemenang, namun meminta kepada KPU untuk mendiskualifikasi 01, dengan berbagai alasan yang dianggap menjadi landasan KPU harus melakukan diskualifikasi, KPU ditekan oleh kekuatan massa agar bisa memenuhi keinginan mereka.

Ini sebuah preseden buruk dalam sebuah proses demokrasi, jika hanya karena kekuatan massa proses pemilihan yang konstitusional, bisa digagalkan oleh kekuatan massa. Artinya negara membuka peluang demokrasi tidak ditegakkan hanya karena adanya kekuatan Massa.

Sebuah kekuasaan yang legitimate, haruslah diakui secara bersama, dan diperoleh melalui proses demokrasi yang sesuai dengan Konstitusi yang berlaku. Kekuasaan yang diperoleh secara inskonstitusional, bukanlah sebuah kekuasaan yang legitimate.

Kekuasaan  yang tidak legitimate akan mempengaruhi penyelenggaraan negara, karena tidak diakui oleh seluruh masyarakat. Kekuasaan yang diperoleh atas dasar pemaksaan kehendak, adalah tindakan merudapaksa terhadap proses demokrasi.

Apakah kita akan melegalkan cara-cara memperoleh kekuasaan yang demikian.? Negara ini dibentuk dan dijalankan atas kemufakatan dan musyawarah.

Keguyuban dalam menjalankan negara sangat dibutuhkan. Tidak bisa orang perorang memaksa kehendaknya untuk berkuasa dengan cara yang inskonstitusional.

Baca Juga: Menertawakan Pengetahuan Eggy Sudjana Yang Terbatas

Apa nikmatnya menikmati kekuasaan yang tidak direstui dan diridhoi-Nya, juga tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh masyarakat. Buat apa berkuasa kalau pada akhirnya masyarakat tercerai berai, padahal para pendiri bangsa ini begitu susah mempersatukannya.

Landasan utama negara ini adalah Persatuan dan kesatuan, diatas keanekaragaman suku, agama, etnis dan budaya serta bahasa. Masak sih atas dasar memenuhi ambisi seseorang terhadap sebuah kekuasaan, semua itu diabaikan begitu saja.

Mestinya elit politik bangsa ini tidak mengedepankan egonya demi kekuasaan. Menghancurkan bangsa ini lebih mudah daripada mendirikannya. Kita harus bercermin dengan negara-negara ditimur Tengah, yang porak poranda hanya karena campur tangan pihak Ketiga.

***