Capres Prabowo Subianto diundang makan-makan di Singapura oleh majalah The Economist, 27 November lalu. Sekalian ia diminta menyampaikan sepatah kata dua. Mungkin karena kawan seperjamuannya adalah para pengusaha asing dan aseng, Prabowo tidak bicara tentang penguasaan asing atas sumber daya alam Indonesia sebagai problem pokok. Malam itu, Prabowo tiba-tiba mengganti masalah pokok bangsa menjadi soal korupsi.
Bukan main-main tesis baru Probowo ini. Korupsi di Indonesia sudah separah kanker stadium IV. Obatnya hanya bisa dengan kepemimpinan kuat dan bersih yang sanggup membentuk tim pemerintahan yang bersih pula.
Para pengamat dan penyimak berita politik yang serius tentu tak kaget lagi dengan pernyataan ini. Kanker stadium IV hanya nightmarelain yang melengkapi unsur-unsur narasi kelam 'Indonesia Bubar 2030', '99 persen penduduk melarat', atau 'Indonesia tidak akan keluar dari status negeri miskin.' Indonesia kanker stadium IV hanya pelengkap cerita serem pekan itu, menambahi Amien Rais yang sudah duluan sehari sebelumnya menakut-nakuti Pemuda Muhammadiyah dengan ancaman Armagedon, Perang Bratayudha, dan kebangkitan PKI.
Ya, korupsi di Indonesia ibarat kanker stadium IV hanya komik horror baru di lapak dagang kubu Prabowo Subianto, spesialis narasi kelam dan seram. Di lapak ini, narasi Indonesia masa depan dikisahkan dengan sangat gelap, seolah-olah hanya tangisan, darah dan air mata mewarnai hari-hari esok.
Mencemaskan korupsi dan menjanjikan pemberantasan terhadapnya tentu saja baik. Kita patut bersyukur Prabowo punya niat demikian. Namun menilai korupsi Indonesia saat ini sudah laksana kanker stadium IV sepertinya terlampau bias politik pilpres, berlebihan.
Ada tiga kenyataan sederhana yang membuktikan narasi korupsi a la Prabowo tidak perlu dipercaya dan sekedar bagian dari politics of fear. Cobalah simak.
#1 Sejak Orba hingga SBY sudah banyak menteri, hakim, dan anggota DPR terpidana korupsi.
Ukuran yang dipakai Prabowo untuk mendeteksi kanker korupsi ini terlampau sederhana. Pejabat negara, anggota dewan, menteri hingga hakim ditangkap KPK.
Tentu saja ukuran itu tidak ilmiah. Prabowo tidak bikin riset untuk membandingkan berapa jumlah anggota DPR, pejabat negara, menteri, hingga hakim yang ditangkap KPK di era Jokowi dengan pemerintahan sebelumnya.
Om-Tante yang paham sejarah bangsa ini mungkin kernyitkan kening. Jika ukurannya itu, kok bisa baru sekarang masuk stadium IV?
Di masa Soeharto ada hakim agung dibunuh atas perintah anak Presiden yang menolak divonis bersalah dalam kasus korupsi.
Korupsi dana Yayasan Supersemar bahkan hingga kini masih terkatung-katung penyelesaiannya. Gedung Granadi yang hendak disita sebagai pengganti uang yang dikorup masih keukeuhdipertahankan anak mantan penguasa Orde Baru.
Di masa SBY, Ketua Mahkamah Konstitusi, lembaga yang sangat berwibawa digelandang ke penjara; plus 5 menteri kabinet; dan Deputi Gubernur BI yang juga besan Presiden.
Andai kondisi yang dikatakan Prabowo jadi landasan memvonis korupsi di Indonesia bagai kanker stadium IV, maka sudah sejak masa Soeharto Indonesia ini mati membusuk oleh kanker.
Lagi pula cara Prabowo menilai tingkat korupsi itu menyesatkan. Jumlah koruptor yang dipenjara sebaliknya bisa menggambarkan prestasi KPK dan kepolisian dalam memberantas korupsi, juga bukti komitmen pemerintah dalam memberantas kasus korupsi tanpa pandang bulu.
#2 Indeks Persepsi Korupsi
Untuk mengetahui tingkat kondisi korupsi suatu negara, kita tidak bisa menggunakan sudut pandang politisi sebagai acuan. Sudah jamak dipahami bahwa politisi memperlakukan data dan informasi seturut kepentingannya. Untuk itu diperlukan hasil studi dari lembaga independen yang kredibel.
Salah satu ukuran tingkat korupsi yang populer adalah Indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index) yang dikeluarkan organisasi Transparansi Internasional setiap tahun sejak 1995.
Jumlah negara yang disurvei TI terus meningkat dan kini jumlahnya telah mencapai 180 negara. Skor Indeks Persepsi Korupsi berada dalam rentang angka 0-100. Kian tinggi skornya kian baik. Negara dengan skor 100 adalah yang paling bersih. Belum ada negara yang bisa mraih skor sempurna. New Zealand sebagai negara terbersih memiliki skor 89.
Berdasarkan laporan TI, prestasi Indonesia dalam pemberantasan korupsi justru membaik dalam 5 tahun terakhir.
Seperti tampak dalam gambar, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia terus meningkat, dari 32 pada 2012 menjadi 37 pada 2016 dan 2017. Dengan skor 37, Indonesia kini berada di peringkat 96 dari 180 negara.
#3 Caleg Korup Partai Gerindra
Fakta ketiga menunjukkan bahwa kampanye Prabowo yang mengklaim dirinya sebagai obat mujarab mengatasi korupsi di Indonesia patut diragukan.
Andai Prabowo benar-benar mau dan mampu membentuk pemerintahan bersih, ia bisa mulai dengan hal kecil dan mudah, yaitu mencoret caleg bekas koruptor dari daftar caleg Partai Gerindra.
Kenyataannya Partai Gerindra adalah partai politik yang paling banyak mempertahankan caleg bekas koruptor. Ada enam caleg Gerindra yang tercatat bekas napi kasus korupsi yang hingga kini dipertahankan Prabowo dalam daftar calon tetap pemilu 2019. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan PDIP yang hanya 1 caleg bekas koruptor.
Bagaimana publik bisa percaya Prabowo akan membentuk tim yang bersih jika untuk mencoret bekas koruptor dari daftar caleg Gerindra saja Prabowo tak mau?
Demikianlah. Dua fakta pertama di atas menunjukkan bahwa celoteh Prabowo tentang kanker stadium IV adalam metafora lebai dalam menggambarkan kondisi koruspi. Diksi yang dipilih sebagai perumpamaan memang dipilih segawat mungkin, semenyeramkan mungkin khas politics of fear.
Tujuannya agar masyarakat panik dan tanpa timbangan nalar memadai mendukung Prabowo. Kenyataannya di masa Joko Widodo, indeks persepsi korupsi Indonesia justru konsisten membaik.
Sementara fakta ketiga, tentang Partai Gerindra yang paling banyak mempertahankan caleg bekas koruptor secara telak membuktikan rendahnya komitmen dan kemampuan Prabowo menghadirkan pemerintahan yang bersih.
Sumber:
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews