Siapa Ngerjain Menteri Jonan?

Sabtu, 13 Oktober 2018 | 13:30 WIB
0
431
Siapa Ngerjain Menteri Jonan?

Kebijakan pembatalan kenaikan harga premium selang sejam setelah diumumkan Menteri ESDM Ignasius Jonan telah “menampar” muka Jonan. Padahal, kebijakan kenaikan harga premium itu atas “arahan” dari Bapak Presiden Joko Widodo.

Sebelum “meralat”, Menteri Jonan mengumumkan kenaikan harga premium. Bahkan, pada pagi harinya PT Pertamina mengumumkan kenaikan sejumlah BBM non subsidi. Berita itu menjadi breaking news di beberapa media online dan televisi.

Jonan membeberkan alasan di balik keputusan Presiden Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut. Yakni, harga minyak brent di pasaran dunia sudah mencapai US$ 85/barel. Sejak Januari mengalami kenaikan 30%. Sedangkan kenaikan harga di dalam negeri kurang dari 25%. Jadi, ada defisit, sehingga tidak bisa diteruskan.

“Karena itu pemerintah mempertimbangkan sesuai arahan Presiden Jokowi premium hari ini naik pukul 18.00 paling cepat tergantung kesiapan Pertamina ke 2.500 SPBU,” kata Jonan saat menggelar konferensi pers di Hotel Sofitel, Bali, Rabu (10/10/2018).

Tapi, tak lama berselang Jonan membuat keterangan tertulis, “Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina,” tulis Jonan, seperti dilansir media.

Ketika mengumumkan kenaikan premium, Jonan memakai kalimat, “sesuai arahan Presiden Jokowi”. Begitu pula saat penurunan, “sesuai arahan Bapak Presiden”, keduanya mengarah pada “arahan presiden”. Artinya, Jonan tidak mengambil keputusan sendiri.

Apa yang disampaikan Jonan, baik keputusan untuk menaikkan maupun menunda kenaikan, kedua-duanya sesuai arahan Presiden Jokowi. Jadi, tidak mungkin mantan Menhub ini berani keputusan sendiri kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Sebab, kebijakan seperti itu pasti sudah dibicarakan bersama menteri terkait dengan Presiden. Namun, tidak lama setelah itu, Deputi Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan alasan pembatalan tersebut.

“Bu Menteri (BUMN, Rini Soemarno) meng-crosscheck ke Pertamina dan menyampaikan bahwa kami tidak siap untuk melakukan dua kali kenaikan dalam waktu satu hari. Jadi perlu waktu,” kata Fajar di Indonesia Pavilion Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018).

Menurut Fajar, kenaikan harga BBM Premium harus dilihat dari tiga aspek yang mendasari dan tertuang dalam Perpres Nomor 43 Tahun 2018. “Pertama kondisi keuangan negara, kedua adalah kemampuan daya beli masyarakat, dan ketiga kondisi real ekonomi,” ujarnya.

Dan, yang perlu dicatat, “Kenaikan harga premium akan diputuskan dalam rapat koordinasi (rakor) di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” lanjut Fajar. Nah, dari Fajar ini setidaknya muncul nama Meneg BUMN Rini Soemarno.

Saat pengumuman kenaikan dan penundaan itu, Jonan dan Rini sama-sama berada di Bali. Keduanya, sama-sama menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Presiden Jokowi sejak Rabu (10/10/2018) malam juga sudah berada di Bali, untuk acara yang sama.

Jika menyimak runtutan statement para pejabat itu, jelas sekali bahwa keputusan menaikkan harga premium adalah arahan Jokowi kepada Jonan. Menko Perekonomian Darmin Nasution tak tahu menahu dan Rini tidak tahu. Pertamina juga tidak tahu, dan tidak siap.

Karena itu, Rini meminta Presiden Jokowi menunda. Dan, “atas arahan Bapak Presiden”, akhirnya Jonan terpaksa menyampaikan penundaan kenaikan premium itu. Jelas, di sini Jonan telah menjadi “korban” kebijakan Presiden Jokowi yang berubah-ubah.

Tapi menariknya, Presiden Jokowi sendiri ternyata lebih manut apa kata Menteri Rini yang memintanya untuk menunda kenaikan itu dengan alasan, Pertamina “belum siap”. Dari sini terlihat, ternyata Rini lebih “berkuasa” ketimbang Presiden Jokowi sendiri.

Sebagai “anak buah”, Jonan tidak salah. Dia hanya menjalankan arahan presiden. Ini menjadi  salah jika dia tak menjalankan arahan Presiden. Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Erani Yustika mengatakan, pembatalan itu terjadi karena Presiden mendengarkan aspirasi publik.

“Presiden selalu menghendaki adanya kecermatan dalam mengambil keputusan, termasuk juga menyerap aspirasi publik,” kata Erani, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (11/10/2018). Koreksi Jokowi atas sikap Jonan tersebut  mengingatkan pada peristiwa pada akhir 2015.

Jonan yang kala itu masih menjabat Menteri Perhubungan yang menerbitkan surat larangan pengoperasian ojek berbasis online. Alasan pelarangan itu yakni berbenturan dengan aturan, salah satunya penggunaan kendaraan pribadi sebagai transportasi umum.

Kebijakan Jonan tersebut langsung menimbulkan reaksi publik. Tidak menunggu lama, Presiden Jokowi langsung mengoreksi kebijakan tersebut. Koreksi pertama kali disampaikan Kepala Negara lewat akun twitternya, @Jokowi.

“Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata -Jkw,” kicau Jokowi saat itu. Akhirnya, pemerintah membatalkan larangan pengoperasian ojek online.

Sekitar enam bulan kemudian, pada Juli 2016, Jokowi melakukan perombakan atau reshuffle kabinet. Dan, Jonan dicopot dari posisi Menhub dan digantikan mantan Dirut Angkasa Pura II Budi Karya Sumadi. Tak ada penjelasan mengenai alasan pencopotan Jonan.

Tapi, pada Oktober 2016, Jonan kembali masuk dalam Kabinet Kerja. Kali ini dia dipercaya menjabat menteri ESDM menggantikan Arcandra Tahar yang dicopot karena statusnya kala itu masih warga negara Amerika Serikat. Jika diteruskan, melanggar konstitusi!

Setelah Arcandra melepas kewarganegaraan AS-nya, akhirnya menjadi Wakil Menteri ESDM mendampingi Jonan. Sikap pemerintah yang tak sinkron itu menimbulkan tanda tanya besar, ada masalah apa di internal pemerintah?

Melansir Kompas.com, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sikap yang tak konsisten itu justru menjadikan blunder bagi pemerintahan itu sendiri.

“Kelihatannya ada permasalahan yang belum selesai di internal pemerintah terkait dengan koordinasi apakah bisa jadi blunder di pemerintah dengan menaikkan harga premium,” ujar Bhima kepada Kompas.com, Kamis (11/10/2018).

Bhima menilai kenaikan Premium bisa menjadi buah simalakama. Di satu sisi, anggaran subsidi sudah terlalu membebani pemerintah sehingga harus naik harganya. Di sisi lain, kenaikan BBM akan menjadi titik lemah bagi pemerintahan saat ini.

Khususnya Jokowi yang mengikuti konstetasi politik Pilpres 2019. Mau tak mau, pemerintah mempertahankan kebijakan populisnya. Permasalahan itu, tampaknya belum dibahas matang-matang di internal pemerintah soal dampak jangka pendek maupun panjangnya.

Jadi, “Kalau belum selesai di internal pemerintah, maka statement yang keluar akan sangat blunder,” kata Bhima. “Sebaiknya Pemerintah kurangilah blunder itu karena menciptakan ketidakpastian terhadap regulasi, terhadap iklim investasi,” lanjutnya.

Di tambah lagi, Jonan menyampaikan soal kenaikan harga premium dalam acara pertemuan tahunan International Monetary Fund-World Bank Group di Bali. Di sana, banyak delegasi negara lain yang ikut menyaksikan, berikut pelaku usaha dan juga media asing.

Menurut Bhima, hal ini menjadi sentimen yang tidak baik bagi Indonesia. Para investor jadi berpikir ulang untuk masuk ke sektor migas. Jika ingin mengambil kebijakan tidak populis seperti menaikkan harga BBM, sebaiknya dipertimbangkan dulu bagaimana memitigasinya.

“Misal ke daya beli masyarakat, kepada inflasi, kepada kenaikan biaya transportasi, kepada pertumbuhan ekonomi juga. Efek ke sana harus dipikirkan,” kata Bhima. Tampaknya, inilah yang tidak pernah dipikirkan oleh para “penasehat” Presiden Jokowi.

Belum lagi perasaan Menteri Jonan yang mungkin saja merasa “dikerjain” terkait kebijakan kenaikan dan pembatalan harga premium tersebut.  Dan, dalam militer dikenal sebuah pameo “Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah adalah komandannya”.

Tentunya, Jokowi bukanlah seorang Komandan Militer. Sesuai konstitusi, Jokowi itu seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab atas kehidupan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya!

Jadi, siapa sebenarnya yang ngerjain Menteri Jonan itu?

***