Keberadaan Pasal Penghinaan Presiden Dalam RKUHP Sudah Tepat

Dengan adanya pasal tersebut, konflik akibat ujaran kebencian dapat diminimalisasi dan penyaluran aspirasi masyarakat dapat lebih terarah.

Minggu, 19 Juni 2022 | 19:44 WIB
0
100
Keberadaan Pasal Penghinaan Presiden Dalam RKUHP Sudah Tepat
Demo Mahasiswa 11 April


Deka Prawira 

Keberadaan Pasal mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden serta perubahannya yang sebelumnya hanyalah merupakan delik biasa menjadi delik aduan dalam RKUHP merupakan hal yang sudah sangat tepat.

Selain bentuk penyamarataan kedudukan di mata hukum, keberadaan pasal tersebut diharapkan dapat memutus mata rantai ujaran kebencian yang selama ini banyak beredar khususnya di media sosial.


Presiden sebagai seorang kepala negara yang telah mengemban amanah seluruh rakyat dalam pemilihan yang berlandaskan demokrasi memang sudah sepatutnya untuk terus didukung oleh seluruh masyarakatnya.

Hal tersebut tentu juga akan berdampak pada bagaimana kelancaran seluruh program dan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dalam mensejahterakan seluruh masyarakat dan mengatur negara.


Namun ternyata, di era serba digital seperti sekarang ini terdapat orang yang seolah dengan sangat mudah menyebarkan berita bohong atau hoaks dan juga terus menyebarkan ujaran kebencian dalam rangka melakukan adu domba sehingga bisa memecah belah keutuhan dan ketentraman negara. Mereka bersembunyi di balik avatar media sosial mereka sehingga seolah merasa sudah aman untuk melakukan penghinaan bahkan termasuk menghina Presiden sendiri.
Maka dari itu terdapat sebuah perubahan mengenai kasus penghinaan Presiden ini. Sebelumnya hanyalah sebagai delik biasa, namun saat ini dirubah menjadi delik aduan dalam Pasal 218 Revisi Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Selaku Pengamat Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menyatakan bahwa perubahan hukum mengenai penghinaan Presiden dari delik biasa menjadi delik aduan tersebut sudah merupakan hal yang sangat tepat untuk dilakukan. Hal tersebut kemudian akan menjadikan masyarakat setara di mata hukum dan memenuhi kaidah Equality Before The Law.
Bukan hanya sudah tepat, namun Chairil kembali menegaskan bahwa justru penerapan delik aduan terkait penghinaan Presiden itu menjadi hal yang sangatlah penting untuk diberlakukan. Dirinya menanggapi bagaimana beberapa kasus penghinaan lain yang telah menjadi delik aduan seperti menghina kepala negara telah menjadi delik, termasuk menghina gubernur, bupati/walikota, lembaga-lembaga negara hingga menghina tokoh agama pun telah menjadi delik. Maka dari itu baginya penting pula supaya menghina Presiden bisa menjadi delik.
Meski begitu, Pengamat Hukum Pidana ini juga memberikan catatan bahwa supaya terdapat beberapa hal yang perlu dieksplisitkan dengan sangat jelas untuk menghindari adanya multitafsir atau bahkan salah tafsir ketika menerapkan delik mengenai penghinaan Presiden tersebut. Dirinya berharap semoga dengan adanya peralihan menjadi delik aduan ini, tidak terjadi lagi masalah bagi aparat penegak hukum entah itu dalam wujud intervensi atasan atau kepentingan tertentu dalam penerapannya akibat salah tafsir atau apapun itu.
Pada kesempatan lain, sebelumnya secara tegas Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau yang biasa disapa Eddy telah menyatakan bahwa Pasal 218 dalam RKUHP mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden sudah berubah menjadi delik aduan dari yang sebelumnya hanyalah berupa delik biasa.
Dalam kegiatan rapat lanjutan pembahasan RKUHP di Gedung DPR, Eddy juga menambahkan bahwa adanya Pasal tersebut untuk bisa melindungi kepentingan perlindungan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara.
Pasal 218 ayat 1 revisi KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Kemudian dengan banyaknya pengguna media sosial dan seringkali ditemui ada kasus ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong atau hoaks di sana, apabila ternyata ditemui ada warganet yang melakukan penghinaan terkait harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial, maka sebagaimana dalam Pasal 219, hukuman mereka akan ditambah satu tahun dari ancaman hukuman yang berada dalam Pasal 218 tersebut.

Keberadaan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini dirubah dari sebelumnya hanya delik biasa menjadi delik aduan merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Dengan adanya pasal tersebut, konflik akibat ujaran kebencian dapat diminimalisasi dan penyaluran aspirasi masyarakat dapat lebih terarah.

Deka Prawira,  Penulis adalah kontributor Pertiwi Insitute