Soal Baliho Bakal Capres Itu

Terkesan membodohi (atau sengaja membodohi diri) kalau ada elite partai yang menyampaikan pembenaran bahwa pemasangan baliho politik tidak dimaksudkan sebagai jual diri bakal capres.

Sabtu, 14 Agustus 2021 | 09:00 WIB
0
248
Soal Baliho Bakal Capres Itu
Baliho politik (Foto: Facebook.com)

Tiga hari lalu saya memposting gambar di bawah ini, persisnya karikatur yang menggambarkan betapa sudut-sudut kota telah dikepung -jika kata "dikotori" terlalu kasar- baliho-baliho politik "jual diri" untuk Pilpres 2024 yang terhitung masih berbilang tahun.

Maaf, apakah kata "jual diri" di sini juga terlalu kasar? Semoga tidak ada tafsir ke sana, sebab bagaimanapun pemasangan baliho-baliho raksasa itu perlu modal besar. Sama seperti pebisnis, keluar modal dan berharap dagangannya terjual.

Sulit kalau dikatakan "jual program" atau "jual pemikiran", sebab tidak ada program atau pemikiran yang coba ditawarkan di baliho itu selain gambar diri masing-masing pedagang, eh, politikus itu, bukan?

Kembali fokus ke gambar yang saya tayangkan tiga hari lalu itu. Di luar dugaan, inilah gambar yang paling banyak dibagikan (share), yaitu dibagikan oleh 644 netizen dan "hanya" meraup 259 komentar.

Komentar, tentu bisa bermacam-macam, misalnya mengungkapkan dukungan atau kekesalan, tetapi semangat berbagi? Tentu saja tafsirnya bukan karena orang mendukung apa yang tergambar dalam karikatur itu, melainkan sebaliknya, karena sebal luar biasa. Muak.

Inilah sesungguhnya yang harus dikaji secara mendalam oleh para elite politik yang kaya raya itu, yang dengan enteng mengeluarkan dana untuk pemasangan baliho di berbagai sudut dan tengah kota, yaitu soal "penerimaan" warganet yang tercermin dalam ungkapan mereka di medsos.

Ada dalih, ah, warga di internet dan warga di jalanan itu beda, jadi baliho politik jual diri para calon presiden itu ditujukan buat para warga yang wara-wiri di jalan, bukan warganet. Inilah pemahaman yang luar biasa keliru.
Harus diingat, hampir seluruh warga yang wara-wari ini menggenggam ponsel, tersambung ke internet dan menjadi salah satu atau beberapa aktivitas medsos. Mereka biasa mengamplifikasi (menggaungkan) perasaan, pemikiran dan opininya di medsos. Kalau saat jalan-jalan mereka merasa sebal dengan baliho-baliho itu, mereka langsung mengamplifikasinya di medsos.

Ini sesungguhnya yang perlu dihitung para elite politik partai khususnya para bakal capres itu. Kesebelan dan kemuakan mereka akan diungkapkan di medsos, yang kemudian diiyakan oleh orang-orang seperasaan.

Celakanya, impresi netizen terhadap baliho politik itu cenderung negatif. Saya ulang sekali lagi, cenderung negatif!
Atau bikin kajian soal efektivitas pemasangan baliho itu, adakah hasil signifikan yang berkorelasi terhadap naiknya elektabilitas capres yang diasongkan? Alangkah naifnya jika korelasi menunjukkan sebaliknya (elektabilitas makin melorot seperti celana) tetapi malah semakin menggenjot pemasangan baliho politik!

Ada komentar misalnya, "Baiklah saya tandai para politikus bakal capres di baliho-baliho itu dan saya siap untuk tidak memilih mereka." Nah, celaka, bukan? Alih-alih mendapatk simpati, yang didapat malah antipati.

Dalam tulisan sebelumnya saya pernah memberi masukan kepada politikus, "Kalau kalian ingin terpilih jadi Presiden RI menggantikan Jokowi, jadilah 'Medsos Darling', sebab jadi 'Media Darling' saja tidak akan cukup!"

Jadi, sungguh pandir dan terkesan membodohi (atau sengaja membodohi diri sendiri) kalau ada elite partai yang menyampaikan pembenaran bahwa pemasangan baliho politik tidak dimaksudkan sebagai jual diri bakal capres di 2024, pretttt....!!

Kata kunci dari apa yang tergambar dalam karikatur yang viral itu adalah EMPATI.

Mau tidak mau para netizen akan membuat kalimat sendiri-sendiri yang mengandung makna "empati" itu, misalnya "Kok ya tega-teganya mereka di saat pandemi yang seharusnya berjibaku melawan virus mematikan, malah menghambur-hamburkan uang untuk pemasangan baliho." Atau kalimat lain, "Bukankah lebih baik kalau dana untuk baliho politik itu disumbangkan/digunakan untuk biaya penanganan pandemi."

Adakah partai dan politikus yang bertindak dan punya sikap seperti itu?

Kalau ada, saya siap memilihnya!

***