Buah Simalakama di Kota Solo

Andai tim mengikuti 'etika' dan Solo kembali 'menurun' lalu radikalisme 'menyubur', apa kita merasakan penderitaan di sana? Tidak, warga Solo yang menanggung.

Rabu, 29 Juli 2020 | 08:40 WIB
0
284
Buah Simalakama di Kota Solo
Gibran Rakabuming Raka (bentengsumbar.com)

Beberapa hari lalu di sebuah WAG yang saya ikuti terjadi perdebatan panas terkait Solo. Apalagi kalau bukan soal Gibran. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menolak.

Mereka yang menolak punya dasar yang kuat. Mau alasan apapun, secara 'etika' memang langkahnya kontroversial. Akui saja. Isu 'politik dinasti' juga tak bisa dihindari. Sudah lumrah jika seorang berkuasa lalu ada anggota keluarga lain menempati posisi pemerintahan atau lembaga, sebutan ini otomatis melekat padanya.

Tahun 2018 sampai pertengahan 2019, sebelum ada ramai-ramai Gibran maju, saya kebetulan harus beberapa kali ke Solo. Waktu berbincang dengan beberapa orang, rata-rata mereka mengeluhkan hal yang sama, Solo mengalami kemunduran sejak Jokowi ke Jakarta. Selain itu, isu krusial lainnya adalah radikalisme. Sudah banyak beritanya di media, bahkan Solo Raya disebut zona merah radikalisme.

Gibran akhirnya bersedia maju setelah berkali-kali menolak. Menurut beberapa teman yang terlibat, perlu usaha keras dan waktu yang panjang untuk 'memaksa' kesediaannya.

Tapi kenapa harus Gibran, apalagi Jokowi masih menjabat? Saya sendiri protes keras. Tapi saya sadar bukan warga Solo. Saya tak mau masuk terlalu jauh karena banyak hal di lapangan yang tidak saya pahami. Jadi ini sekedar analisa pribadi atas pergerakan tim di belakang Gibran.

Solo adalah salah satu basis terkuat PDIP. Praktis di era reformasi, Walikota Solo selalu berasal dari partai ini. Artinya, andai Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa yang maju, di atas kertas merekalah yang akan jadi pemenang.

Achmad Purnomo sudah menjadi Wakil Walikota 2 periode. Tentu ia yang diharapkan mampu meredam radikalisme. FX Rudy seorang Katolik, jelas sulit kalau dia yang harus maju. Tapi selama 2 periode, radikalisme makin marak. Jadi kalau ia 'naik' lagi, rasanya tak sulit menebak nantinya seperti apa. Pun tak mudah berharap ke seorang yang sudah berusia 71 tahun mengikuti tuntutan di era digital ini.

Di WAG yang sama, kebetulan ada teman di Solo berdebat dengan kelompok pro Gibran. Menurutnya, banyak calon lain yang ia kenal dan lebih mampu. Keyakinan saya juga begitu, pasti ada yang lebih baik. Tapi, ada masalah besar di sana.

Persoalan utamanya, DPC Solo sudah resmi memajukan Achmad Purnomo. Artinya, peluang tokoh lain, baik internal atau eksternal, sudah mustahil atau katakanlah sangat sulit. Jalur normal praktis tertutup. Hanya tersisa 1 cara yang 'sangat sulit' tadi, yaitu 'hak veto' dari DPP. Dan calon yang secara teori memungkinkan sepertinya cuma Gibran.

Saya tak yakin ada calon lain, semumpuni apapun, mampu 'bertamu' ke DPP meminta restu sang ketua, Ibu Mega. Kader internal yang sudah dikenal baik pun rasanya sulit, apalagi 'orang luar'. Tapi tidak dengan Gibran.

Ironi? Ya memang. Kenyataannya, politik negara dan bahkan kehidupan kita sehari-hari, masih sangat kental dengan 'previlese jaringan'. Makin dikenal seseorang, makin terbuka mendapat kesempatan dan keistimewaan. Dunia kerja, bisnis termasuk politik, masih mengamini prinsip ini.

Tak sulit menduga bahwa tim yang mati-matian mendorong Gibran maju tak jauh berbeda dengan tim yang dulu juga jungkir balik mendorong Jokowi. Mereka pasti mengerti 'harga mahal' yang harus dibayar atas manuver 'gila' tadi. Sudah segudang antipati dan caci maki baik ke Gibran dan tentunya Jokowi. Tapi jika pasrah atas pilihan DPC artinya Solo akan begitu-begitu saja. 'Buah Simalakama'.

Saya bisa merasakan tak enaknya mengalami kemunduran karena Jakarta mengalami hal senada. Mulai dari anjloknya kinerja pasukan oranye, transparansi RAPBD, peniadaan aduan Balaikota, kacaunya revitalisasi trotoar, Monas dan Rumah DP 0 sampai kisruh PPDB 2020, semua tak bisa dibantah lagi. Ini bahkan belum 1 periode. Apalagi kalau sampai 3 periode seperti di Solo, ditambah radikalisme pula.

Mungkin mudah bagi kita di luar Solo untuk mendukung atau menolak dan menghakimi karena kita nanti tak merasakan dampaknya. Andai tim mengikuti 'etika' dan Solo kembali 'menurun' lalu radikalisme 'menyubur', apa kita merasakan penderitaan di sana? Tidak, warga Solo yang menanggung.

Andai Gibran gagal pun, setidaknya tim sudah berusaha. Saya rasa itu yang membuat mereka tak segan 'membayar ongkos' yang 'mahal' tadi. Mereka ingin perubahan di Solo.

Jika anda warga Kota Solo, apa yang akan anda lakukan? Pasrah dengan pilihan DPC? Bagaimana cara dorong calon lain? Mendukung oposisi? Golput? Atau ada yang lain?

Apapun itu, saat ini tak ada pilihan yang mudah di Solo.

***