Yasona Sudah 4 Kali Minta Revisi PP 99 Tahun 2012: Koruptor Bebas!

Senin, 6 April 2020 | 16:22 WIB
0
229
Yasona Sudah 4 Kali Minta Revisi PP 99 Tahun 2012: Koruptor Bebas!
Menkumham Yasonna Laoly wacanakan pembebasan koruptor. (Foto: Tempo.co.id)

Wacana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly membebaskan narapidana korupsi dari Lapas untuk menghindari penyebaran COVID-19 dikecam banyak pihak. Termasuk dari Indonesian Corruption Watch (ICW).

Pandemi Covid-19 dinilai hanya menjadi dalih agar misi pembebasan para koruptor termasuk Setya Novanto Cs bisa terlaksana. Mengapa Setnov?

Berdasarkan data yang dirilis oleh ICW, jika wacana Yasonna merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 untuk membebaskan koruptor dengan salah satu syaratnya adalah sudah berusia di atas 60 tahun maka Setnov menjadi salah satu dari 22 koruptor yang bakal dibebaskan.

“Saya mencoba mendata napi korupsi di atas 60 tahun dan punya high profile case,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadana. Menurutnya, ini sebagai bukti Yasonna memandang korupsi bukanlah kejahatan luar biasa seperti yang ada dalam PP Nomor 19 Tahun 2012.

Seperti dikutip Voi.id dari keterangan tertulisnya, Jumat (3/4/2020), padahal dalam PP itu  telah dijelaskan sejumlah kejahatan mempunyai ketentuan berbeda untuk pemenuhan hak narapidananya.

Kejahatan yang dimaksud adalah tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia (HAM) yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

“Penting untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia,” kata Kurnia.

Menkumham, kata Kurnia, juga membuat para koruptor tak jera melakukan korupsi karena membebaskan mereka dengan dalih menghindarkan mereka dari penyebaran Covid-19 di lapas.

Sebab, selama ini para koruptor kerap mendapat hukuman ringan sekitar 2 sampai 5 tahun dan mereka kerap mendapatkan kemudahan di lembaga permasyarakatan dengan menyuap para petugas.

Daripada membebaskan napi koruptor, Kurnia meminta Yasonna berfokus membebaskan narapidana dari kasus hukum lainnya. Apalagi data Kemenkumham pada 2018 menunjukkan napi koruptor jumlahnya hanya 4.552 orang dari jumlah total napi yang mencapai 248.690.

“Artinya, narapidana korupsi itu hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di Lapas. Sehingga akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi,” tegasnya.

Alasan Yasonna membebaskan napi koruptor karena virus Corona (Covid-19) juga dianggap terlalu mengada-ada oleh Kurnia. Sebab, salah satu lembaga permasyarakatan yaitu Lapas Sukamiskin, Bandung memberikan keistimewaan bagi para napi koruptor.

Dalam lapas tersebut, para napi koruptor mendapatkan keistimewaan 1 sel tahanan untuk 1 orang. Ini jelas berbeda dengan keadaan lapas lainnya yang dalam satu sel tahanan dihuni puluhan orang.

Selain itu, pengajuan revisi bagi napi koruptor ini harusnya menimbulkan tanda tanya. Sebab, hal ini bukan kali pertama Yasonna mengajukan revisi peraturan tersebut selama menjabat sebagai Menkumham.

ICW mencatat, politikus PDIP ini sudah meminta revisi PP 99 Tahun 2012 sebanyak 4 kali yaitu sejak 2015 hingga 2017 dan dilanjutkan pada 2019. Isu yang dibawa Yasonna selalu sama, ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.

Padahal, peraturan itu adalah peraturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi.

Sehingga, Kurnia kemudian berharap Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD menolak wacana Yasonna jika benar pembahasan ini dibawa dalam rapat terbatas.

“Presiden Jokowi dan Menkopolhukam menolak wacana Yasonna Laoly untuk melakukan revisi PP 99/2012 karena tidak ada relevansinya dengan pencegahan penularan corona,” ujar Kurnia kepada wartawan, seperti dilansir Voi.id, Sabtu (4 April 2020).

Setnov merupakan mantan Ketum Partai Golkar yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Hukuman ini dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta setelah dirinya dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Selain Setnov, nama lain yang berpotensi diloloskan adalah pengacara OC Kaligis (77); eks Menteri Agama, Suryadharma Ali (63); eks Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari (70); eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (70); eks Ketua MK Patrialis Akbar (61).

Kemudian pengacara Fredrich Yunadi (70); eks Hakim Adhoc Tipikor, Ramlan Comel (69); eks Walikota Bandung, Dada Rosada (72); eks Gubernur Riau, Zainal Rizal (62); eks Gubernur Papua, Barnabas Suebu (73); eks Walikota Madiun, Bambang Irianto (69); eks Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnaen (63); eks Walikota Mojokerto, Mas’ud Yunus (68).

Selanjutnya eks Bupati Subang, Imas Aryumningsih (68); eks Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud (60); dan eks Walikota Pasuruan, Setiyono (64), mantan anggota DPR RI Budi Supriyanto (60); Amin Santono (70); dan Dewi Yasin Limpo (60).

Selain elite politik ada juga pengusaha, yaitu Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro (60) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Johannes Budisutrisno Kotjo (69).

Melihat nama-nama ini, rasanya wajar jika mantan Wakil KPK Bambang Widjojanto menilai kebijakan ini sebenarnya diskriminatif dan elitis.

“Usulan kebijakan ini jelas sangat diskriminatif, elitis, dan eksklusif khas oligakhis serta yang secara terang dapat dituduh sebagai merodok karena menunggangi musibah Covid-19,” kata Bambang dalam keterangan tertulisnya.

Napi koruptor, lanjutnya, selama ini punya keistimewaan sendiri berupa bilik tahanan yang mereka tempati tidak bertumpuk-tumpuk seperti bilik tahanan pada umumnya.

Sehingga, menurut Bambang, jika alasan pembebasan itu untuk menjaga social distancing atau physical distancing, hal itu kurang tepat dan terkesan menunggangi penyebaran Covid-19.

“Sebagian besar napi korupsi, apalagi, yang berada di Lapas Sukamiskin diduga menempati sel khusus yang cukup memenuhi syarat terjadinya social distancing dan tidak bertumpuk-tumpuk seperti kebanyakan napi kasus kriminalitas di sel pada umumnya,” jelasnya.

Pernyataan Bambang ini sebenarnya bukan lagi dugaan. Sebab, beberapa waktu yang lalu, fasilitas lapas mewah dan sel tahanan yang ditempati perorangan pernah dibuktikan ketika Setnov ketahuan mempunyai kamar tahanan mewah di Lapas Klas I Sukamiskin, Bandung pada 2018 lalu.

Selain itu, KPK juga pernah menangkap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein karena menerima suap dan gratifikasi terkait pemberian fasilitas atau perizinan keluar lapas.

Berkaca dari data dan fakta yang, Bambang kemudian mempertanyakan sikap Yasonna itu. “Fakta ini punya indikasi untuk menjelaskan pertanyaan, siapa sahabat koruptor dan siapa yang ingin melawan sikap koruptif secara konsisten,” tegasnya.

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo juga mengecam wacana pembebasan narapidana korupsi di tengah wabah bencana. Sebab, jika ingin meminimalisir penyebaran virus di dalam lapas banyak cara lain yang bisa digunakan.

“Mulai dari adanya pengaturan soal sel sampai dengan kunjungan sehingga seharusnya tidak menjadi alasan (melakukan revisi PP),” kata Yudi.

Ia juga meminta pada Presiden Jokowi untuk memerintahkan Yasonna tak melanjutkan niatan melakukan revisi tersebut. Apalagi, wacana ini sudah beberapa kali diusulkan sejak 2016 dan kerap mendapatkan penolakan dari publik.

“Jangan sampai pandemi Covid-19 justru malah menjadi momentum yang juga dimanfaatkan untuk memuluskan rencana tersebut,” tutur Yudi.

***