Susi dan Jonan, Duo "Kopassus" Birokrasi

Kita tengah menjadi saksi sejarah dimana ada presiden yang berani mengambil langkah begitu radikal dan "out of the box" dalam menghadapi tantangan global.

Kamis, 24 Oktober 2019 | 21:16 WIB
0
2116
Susi dan Jonan, Duo "Kopassus" Birokrasi
Jonan dan Susi Pudjiastuti (Foto: Merdeka.com)

Salah satu kehilangan besar buat saya pribadi dari kabinet kemarin adalah tiadanya si Ratu Laut dan si Wajah Besi, Susi Pudjiastuti dan Ignasius Jonan. Merekalah top 5 menteri periode lalu dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Bu Susi telah meletakkan fondasi dasar yang kuat untuk kelautan Indonesia. Kini nelayan tak susah lagi mencari ikan, tak perlu berlama di laut. Kualitas dan kuantitas tangkapan meningkat. Pencuri ikan ditenggelamkan. Laut kita kembali berdaulat.

Sementara Pak Jonan, sukses menundukkan "Bigfoot" pegunungan Grassberg Papua, Freeport. Perusahaan tambang ini akhirnya bertekuk lutut, melepas kepemilikan saham mayoritas ke Indonesia. Lunas sudah "utang" masa lalu.

Bu Susi dan Pak Jonan, adalah tipikal breaker, revolusioner. Saat beraksi, mereka tak ragu membuat gebrakan melawan arus dan frontal menghantam karang. Karakter keras tanpa kompromi biasanya jadi ciri khas tipe seperti ini.

Mirip dengan Kopassus. Pasukan khusus yang dikenal dengan skill mematikan ini. Sekali mereka turun, GPL, Gak Pake Lama, beres. Lihat bagaimana pembebasan sandera pembajakan pesawat Garuda 206 di Thailand pada Operasi Woyla 1981. Aksi pada dini hari itu selesai hanya dalam waktu 3 menit. Dimulai sejak pendobrakan sampai menguasai keadaan.

Saya lihat karakter mereka mirip seperti itu, Special Task Force. Pasukan dengan skill khusus yang cocok dipasang untuk hal khusus yang perlu penanganan cepat secara total. Karakter khas benteng dalam catur. Tabrak, menyerang garis lurus.

Dalam 5 tahun, illegal fishing disikat, habis. Dalam 5 tahun, KAI berubah, beres. Dalam 3 tahun, Freeport "menyerah", bungkus. Semua berubah dengan sangat cepat. Revolusioner.

Tapi dengan segudang keberhasilan itu, kenapa mereka tidak dihadirkan kembali ke kabinet?

Saya pernah menulis di post yang lalu bahwa politik adalah soal mencari keseimbangan, kestabilan, bukan kesempurnaan, bukan ideal. Jadi ini bukan soal berguna atau tidak, melainkan cocok atau tidak dengan situasinya.

Contoh, pikir panjang vs pikir cepat, mana yang lebih baik?

Tidak ada yang lebih baik. Karena masing-masing bisa baik jika ditempatkan di kondisi yang sesuai. Sebaliknya, semua bisa buruk jika salah penempatan situasinya.

Dalam kondisi normal, kita seharusnya bertindak lebih terukur, berpikir panjang. Tapi dalam keadaan tertentu, kita tidak bisa seperti itu karena harus bisa cepat ambil keputusan. Jangan sampai terbalik karena hasilnya malah kontraproduktif. Buruk.

Tak bisa dibayangkan bila personil Kopassus harus turun dalam tugas sehari-hari layaknya Babinsa. Salah-salah, ada konflik sedikit saja, bisa remuk orang di hadapannya. Ini malah bahaya. Karena itu perlu tipe yang lebih "kalem dan luwes". Gambaran kasarnya seperti itu.

Dalam kondisi perlu perubahan mendasar, figur yang mampu tanpa ampun dan keras melibas batu sandungan adalah karakter yg tepat. Namun setelah fase itu usai, fondasi sudah terbentuk, sebaliknya, perlu seorang yang lebih tenang dan mengayomi sehingga mampu menjaga situasi kondusif.

Jadi, tanpa kompromi vs kompromistis, mana yang lebih baik? Antara tegas vs luwes, mana yg lebih baik? Jawabannya, tidak ada yang lebih baik. Karena semua bisa menjadi baik sekaligus buruk tergantung penempatan situasinya.

Itulah yang kini mungkin dihadapi Jokowi. Setelah perang laut dan Freeport usai, waktunya untuk menarik kembali dua orang pasukan elitnya. Karena seorang raja yang baik tahu kapan ia harus memainkan kedua bentengnya sebagaimana ia harus paham momen yang tepat menarik mundur mereka semua.

Saya tak melihat ini soal sentimen pribadi atau rasa tak suka. Kalau benar karena itu, mustahil Bu Susi menjadi menteri yang diberi pengawalan khusus atas rekomendasi presiden. Mustahil juga Pak Jonan dipanggil lagi setelah Juli 2016 lalu direshuffle. Artinya, ini cuma soal strategi saja, tak lebih.

Jadi tak perlu kaget andai ada reshuffle nanti, atau malah dalam beberapa waktu ke depan, kita akan lihat salah satu atau bahkan keduanya kembali berlaga. Bukan mustahil. Kita sudah pernah melihat Pak Jonan melakoni skenario itu.

Apalagi saat ini kita tengah ada di era dimana Menkopolhukam untuk pertama kalinya dalam sejarah dipegang oleh sipil. Sebaliknya, kali ini militer dipasang mengurus keagamaan. Di tempat lain, bukan lagi akademisi yang mengawal pos pendidikan, tapi seorang wirausaha muda yang visioner.

Kita tengah menjadi saksi sejarah dimana ada presiden yang berani mengambil langkah begitu radikal dan "out of the box" dalam menghadapi tantangan global.

Jadi, apa yang tak mungkin? Kita tunggu saja.

***