Bila prakarsa Gus Muhaimin hanya berhenti di level pusat, cita-cita PKB menjadi partai milenial tentu hanya sebatas mimpi indah.
Sebagai peminat jurnalistik, bersyukur penulis dibekali salah satu teknik terpenting dalam mempraktikannya. Penulis kira, enam kata tanya 5 W 1 H, yakni: Who, What, When, Where, Why dan How sudah sangat populer di telinga kita.
Teknik itu ternyata tidak hanya bermanfaat dalam dunia jurnalistik semata, ia memiliki manfaat yang lebih luas dalam berbagai sendi kehidupan kita. Dimanapun ruang aktifitas dan rutinitas kita bila didasari teknik ini niscaya maslahatlah yang didapat.
Tetapi lain halnya dengan pengetahuan umum tentang politik di masyarakat kita, ia hanya mendasari kata tanya: Who gets, What, When dan How sebagaimana yang dirumuskan oleh Harold Laswell. Singkatnya, politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana.
Tentu bukan tanpa alasan bila setiap usai hajatan politik di negeri ini seperti: Pilkada, Pileg maupun Pilpres hingar bingar yang muncul ditengah masyarakat adalah seputar posisi, jabatan dan "kue kekuasaan" para pelaku politik tadi.
Kekuasaan hanya menjadi sekadar "kue" yang diperebutkan. Lalu, cara-cara untuk menikmatinya pun terkesan menafikan kemaslahatan publik. Bahkan tidak sedikit yang mengandalkan "jual beli" yang hanya berorientasi terhadap kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Situasi ini berkontribusi besar terhadap cara pandang masyarakat kita karena politik hanya dipahami sekadar "pertarungan kotor" antara para pihak yang ingin mempertahankan maupun merebut kekuasaan. Tidak salah bila ketertarikan orang terhadap politik tidak begitu besar.
Selain itu, pameo "tidak ada kawan sejati dan musuh abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan" diakui atau tidak telah menyeret masyarakat bahkan generasi milenial kita kedalam sebuah lubang "pengasingan" terhadap politik itu sendiri sehingga minatnya semakin mengecil.
Padahal, politik tidak bisa terlepas dari manusia dalam melakukan proses kehidupannya. Manusia adalah hewan yang berpolitik seperti Aristoteles bilang, menjadi politisi adalah sebuah keniscayaan dalam hidup ini. Bila demikian, mungkinkan dunia ini tanpa politisi?
Tentu tidak ada salahnya bila kita meminjam ungkapan Andre Comte seorang filsuf Prancis: "Politik dibutuhkan supaya konflik kepentingan dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Karenanya, negara dibentuk bukan berarti semua orang baik dan adil, justeru karena mereka tidak seperti yang kita harapkan".
Lebih jauh Ibnu Kholdun dalam mukaddimahnya mengungkapkan bahwa politik adalah satu keniscayaan dalam rangka menjaga negara yang telah berdiri teguh supaya tidak meninggalkan solidaritas sosialnya.
Mengembalikan marwah politik dan mendekatkan kembali kepada generasi milenial kepada politik merupakan ikhtiar mulia karena ia adalah masa depan demokrasi kita.
Mereka tentu memiliki visi perubahan, menjauhkan mereka dari politik hanya akan membuat demokrasi kita semakin jauh dari kesan menarik.
Distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap partai politik dan DPR yang masih tinggi adalah tantangan tersendiri bagi siapapun yang menghendaki demokrasi kita beranjak dari keterpurukan menuju kemaslahatan. Karena sejatinya berpolitik adalah ibadah.
Prakarsa Cerdik
Gus Muhaimin (H. A. Muhaimin Iskandar) boleh jadi ketua umum partai yang lima tahun terakhir ini tak henti mengambil hati milenial ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wajar bila kemudian beliau menginisiasi kegiatan yang banyak melibatkan generasi ini.
Pertama, Liga Santri Nusantara (LSN). Bulan September 2015 tak lama setelah Imam Nahrawi dilantik menjadi Menteri Pemuda dan Olah Raga sebagai representasi PKB, Kemenpora yang bekerja sama dengan PBNU menggelar Liga Santri Nusantara yang melibatkan ratusan pondok pesantren.
Turnamen yang diinisiasi Gus Muhaimin ini bertujuan membantu pemerintah menggairahkan kembali persepakbolaan dalam negeri melalui pembibitan dan pembinaan sepak bola dikalangan santri khususnya kelompok U-17.
Beliau meyakini, melalui LSN bibit-bibit unggul sepak bola yang terpendam di pondok pesantren perlahan akan banyak bermunculan dengan harapan berkontribusi terhadap profesionalisme persepakbolaan nasional.
Wajar, bila hingga tahun 2019 ini LSN masih digelar bahkan untuk tahun-tahun mendatang dengan melibatkan ribuan pesantren di Nusantara.
Kedua, Musabaqoh Kitab Kuning (MKK). Diawali pada April 2016 PKB melalui Banom Garda Bangsa menggelar MKK sebagai bentuk penghargaan terhadap khazanah dan eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi penting terhadap perjalanan bangsa Indonesia mulai era pra-kemerdekaan sampai saat ini.
Berlanjut pada tahun 2017 dan 2018, MKK dihelat dengan melibatkan peserta milenial dari kalangan santri yang lebih banyak.
Lebih dari itu, silaturahim dengan pondok pesantren tua asal peserta yang selama ini menjadi rujukan keilmuan ulama-ulama se-Nusantara yang tersebar di lebih 20 provinsi masih tetap terawat.
Ketiga, Parlemen Santri. Mulai Oktober 2016 dan berlanjut dibulan yang sama tahun 2017 dan 2018 dalam rangka Harlah, FPKB DPR RI mengundang ratusan santriwan dan santriwati dari berbagai wilayah di Indonesia mengikuti kegiatan Parlemen Santri di gedung DPR RI.
Kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman kepada kaum santri tentang politik dan kerja-kerja keparlemenan.
Gus Muhaimin sebagai inisiator tentu memiliki obsesi supaya generasi milenial santri dapat terbuka wawasan politiknya sehingga tidak salah menilai pekerjaan anggota dewan.
Lebih dari itu membangkitkan kesadaran kepada santri bahwa kerja di politik itu pekerjaan mulia. Banyak kaidah-kaidah yang harus diperjuangkan untuk mensejahterakan rakyat dan menegakkan nilai-nilai Islam melalui politik parlemen.
Keempat, konser Didi Kempot. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 2019 Gus Muhaimin rupanya ingin menyasar milenial dari kalangan non santri.
Hadirnya ribuan Sadbois dan Sadgerls (penggemar fanatik Didi Kempot) pada Harlah 21 PKB di halaman DPP PKB tanggal 23 Juli 2019 lalu adalah ikhtiar lain mendekatkan milenial ke PKB.
Tak berhenti disitu, beliau kembali datangkan Lord Didi pada Harlah 20 FPKB yang berlokasi di lapangan komplek DPR Senayan.
Tentu demi membayar kurang puasnya Sadbois dan Sadgerls pada Harlah PKB lalu karena kendala sempitnya tempat, selain untuk semakin mendekatkan mereka ke PKB. Wajar, lapangan pun berubah menjadi lautan milenial Ambyar.
Kelima, Millennial Road to Parliament (MRP). Tujuannya sama seperti Parlemen Santri, bedanya MRP ini melibatkan penggiat vlog dan medsos dari SMK dan SMA sebagai pesertanya.
Meski melibatkan tidak lebih dari 200 orang pelajar dan mahasiswa, tetapi MRP ini memiliki dampak publikasi yang lebih luas. Prakarsa cerdik bukan!
Butuh Disongsong
Penulis kira, prakarsa Gus Muhaimin tadi berkontribusi terhadap efek elektoral PKB pada Pemilu 2019 lalu sehingga raihan suara PKB naik sangat signifikan yang dibarengi dengan naiknya jumlah kursi baik di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.
Bila kita cermati hasil riset Alvara Research Center jelang Pemilu lalu bahwa dari jumlah 191 juta jiwa penduduk yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2019, diantara mereka ada 85,4 juta jiwa atau 44,6% yang berusia 17-36 tahun yang masuk kategori pemilih muda/Gen Z dan Milenial).
Dari jumlah itu, PKB meraih sumbangan elektabilitasnya dari kalangan pemilih muda sebesar 4,8% lima tingkat di bawah PDIP, Gerindra, Golkar, dan Demokrat. Posisi itu tentunya hasil dari prakarsa Gus Muhaimin dan PKB jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2019.
Meski relatif belum memuaskan, paling tidak hasil itu menjadi bahan evaluasi bagi Gus Muhaimin dan PKB untuk lebih giat ambil hati pemilih muda baik Gen Z maupun milenial. Tidak mustahil pada Pemilu 2024 elektabilitas PKB di kalangan pemilih muda semakin naik persentasenya.
Melalui prakarsa milenial Road to Parliament (MRP) dan komunitas Sadbois dan Sadgerlsnya Didi Kempot, kontras betul bila Gus Muhaimin dan PKB sedang melebarkan sayap basis pemilihnya kepada milenial non sarungan tanpa kemudian meninggalkan milenial santri yang selama ini tak henti dikonsolidasi.
Atas situasi demikian, bila prakarsa Gus Muhaimin, DPP PKB, dan FPKB DPR selama ini disongsong dan dijalankan oleh stakeholder PKB dan FPKB dibawahnya baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, naiknya elektabilitas PKB di kalangan milenial bukan hanya isapan jempol.
Kenapa tidak, DPW dan FPKB provinsi dibarengi dengan DPC dan FPKB menindaklanjuti hal yang sama seperti FPKB DPR RI atas prakarsa Gus Muhaimin melaksanakan MRP yang melibatkan pelajar sekolah umum yang lebih banyak di daerahnya masing-masing tidak lagi hanya berkonsentrasi di kalangan milenial santri.
Dalam orasi politiknya pada Harlah 20 FPKB DPR 31 Oktober 2019 lalu sebelum Didi Kempot memulai konsernya Gus Muhaimin mengungkapkan "Tugas baru FPKB selanjutnya adalah mengumpulkan kaum patah hati, mengumpulkan sobat ambyar seluruh Nusantara."
Pesan yang penulis tangkap dari ungkapan itu diantaranya Gus Muhaimin menginstruksikan kepada seluruh stakeholder PKB untuk mulai tancap gas meraih hati kaum milenial non sarungan.
Beliau menyadari betul bahwa generasi milenial akan selalu menjadi penentu utama dalam pemilu atau hajat politik lainnya.
Tidak hanya itu, sinyalemen meraih hati generasi milenial Gus Muhaimin diungkapkan kala mendukung terpilihnya Nadiem Makarim sebagai satu-satunya menteri dari kalangan milenial di kabinet Jokowi-KH Ma'ruf Amin adalah bentuk ikhtiar lain membuka hati kaum milenial ke PKB.
Penulis kira, bukan saja karena jumlah pemilih dari generasi milenial yang besar, munculnya Nadiem Makarim di jajaran kabinet akan menjadi trigger (pemantik) lahirnya aktor-aktor politik dari generasi milenial.
Bila prakarsa Gus Muhaimin hanya berhenti di level pusat, cita-cita PKB menjadi partai milenial tentu hanya sebatas mimpi indah. Wallahu'alam bi ash-sowab.
Usep Saeful Kamal, penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
***
Tulisan sebelumnya: Cak Imin [10] Gus Muhaimin, PKB, dan Hak Rakyat atas Tanah
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews