Tentang Social Justice Warrior Alias SJW

Bila dilihat dari kacamata inilah, dapat mudah dipahami kenapa akar persoalan ada di Surabaya dan Malang yang ada di Jawa Timur. Dimana mula-mula persoalan ada di Asrama-asrama Mahasiswa Papua.

Minggu, 1 September 2019 | 21:49 WIB
0
698
Tentang Social Justice Warrior Alias SJW
Michel Chartrand (Foto: Le Devoir)

Saya merasa terlambat memahami istilah tersebut, terutama karena dekadensi (baca: penurunan maknanya) yang sangat. Saya masih ingat betul ketika peristiwa Meliana terjadi di Tanjung Balai, sekira setahun yang lalu. Seorang ibu yang dipersekusi sebagai bersalah atas sesuatu yang tidak "sepenuhnya" ia lakukan.

Untungnya sebuah tim kecil yang kemudian kami bentuk lebih memfokuskan diri pada apa yang sesungguhnya terjadi. Secara mikro, sudah jelas Meliana tidak bersalah. Minimal atas apa yang dipersangkakan, atau kalau dalam bahasa hukum: delik hukum (pasal) yang dituduhkan kepadanya.

Sebagai seorang periset, tentu saja saya memilih untuk memperkaya perspektif persoalan dalam lingkup yang lebih luas. Kronik sebuah kota yang unik bernama Tanjung Balai, sebuah kota lapuk yang barangkali usianya memang jauh lebih tua dibanding kota-kota lain di Sumatra Utara. Persoalan sosial yang tumpuk menumpuk sejak lama, persoalan-persoalan inter-agama (baca: antar sekte) yang rumit, yang kemudian berhadap-hadapan langsung dengan agama lain. 

Persoalan intern-agama yang kemudian justru meruncing jauh lebih rumit, daripada persoalan antar-agama itu. Dan sebagaimana biasa, kemudian hukum rimba yang berlaku: musuhnya musuhmu adalah temanku.

Dan dalam konteks, seperti inilah Meliana menjadi tumbal, seorang yang dikorbankan untuk mengembalikan harmoni yang sempat menghilang. Dianggap harga termurah dari kembalinya ketentraman dan kedamaian yang lebih luas. Dalam bahasa ngehek hari ini sering disebut kembalinya "situasi kondusif dan kohesi sosial".

Lalu di mana posisi dan rasa keadilan?

Nah disinilah selalu muncul orang-orang yang berposisi sebagai Social Justice Warrior (SJW). Orang-orang yang pada mulanya memperjuangkan "keadilan: tanpa pandang bulu". Hukum adalah hukum yang harus ditegakkan!

Masalahnya kemudian selalu sama. Niat baik tetaplah tinggal niat baik, bahayanya selalu pada niat jahat yang tersembunyi di baliknya. Apa yang selalu dikatakan sebagai sisi iblis di balik wajah yang rupawan.

Istilah SJW sendiri, konon pertama kali muncul pada tahun 1991 dengan tujuan mengapresiasi aktivis Kanada, Michel Chartrand, yang menentang ketidakadilan dalam masyarakat. SJW merujuk pada konsep keadilan, sosial. Mereka yang memperjuangkan sikap adil dan sama rata bagi setiap orang untuk diperlakukan dengan manusiawi.

Penggunaan istilah SJW mulai berkembang pesat di tahun 2015, bahkan masuk ke dalam Oxford Dictionary. Namun bersamaan dengan itu istilah ini mulai jatuh harga, ketika konflik Suriah semakin membesar yang justru diprovokasi oleh sebuh kelompok bernama "White Helmet" yang menyebarkan berita hoax bahwa Pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia untuk memberantas para pemberontak.

Hingga akhirnya menjadikan Suriah medan perang global yang melibatkan banyak negara besar. Suatu konflik yang sulit dimengerti oleh para korbannya, tetapi justru menjadi terang benderang untuk menjadi pelajaran betapa jahat dan brengseknya peran JSW. Ia tidak sekedar, menjadi perpanjangan tangan banyak tangan yang membayarnya untuk menjadi provokator penyulut sebuah konflik.

Baca Juga: Jangan Khawatir pada SJW alias "Social Justice Warrior"

Ia berlindung di balik isu-isu HAM, demokratisasi, persamaan gender, perlindungan anak, atau isu-isu sosial lainnya hanya untuk suatu kepentingan bisnis yang sebenarnya juga sangat gampang dibaca dan ditelusuri asahbul nuzul-nya, asal usulnya. Dan sinyalemen tersebut sangat kuat terasa pada kerusuhan yang terjadi di Papua nyaris selama dua minggu terakhir ini.

Persoalan di Papua, sejatinya tidak ada sesuatu yang baru. Gerakan Mahasiswa Papua di Pulau Jawa yang suka melakukan demo sudah sangat biasa. Pengibaran bendera Bintang Kejora juga bukanlah sesuatu yang aneh, karena itu bendera yang lebih menyimbolkan gerakan sosial-budaya. Tuntutan referendum juga bukanlah sesuatu yang terlalu mengangetkan, karena saya yakin selama keadilan sosial dan pemerataan pembangunan masih belum tersedia. 

Persoalan-persoalan seperti ini akan selamanya ada. Bahwa situasinya sudah berubah, Rejim Jokowi sudah memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih itu bukan berarti sinyalemen berulangnya peristiwa-peristiwa di atas akan ikut hilang. Karena apa? Ya seperti di atas, SJW sudah telanjur mengakar kuat di bumi Papua, yang bisa berbentuk apa saja: baik pribadi maupun organisasi.  Berbagai misi LSM, kelompok agamawan baik dari kelompok gereja maupun masjid kaum radikal.

Lalu apa isu terbesar yang tersembunyi? Ternyata lagi-lagi masalah Freeport!

Peraturan pemerintah, yang melarang pegiriman bahan-bahan mentah ke luar negeri dan keharusan membangun shelter untuk pengolahan tambang di dalam negeri menjadi akar persoalan baru!


Freeport (Okezone.com)

Ternyata Freeport memutuskan membangun shlter di Gresik Jawa Timur. Cukup jauh dari bumi Papua, tapi terhitung dekat bila dibandiing sebelumnya dibawa balik ke Amerika. Investasi yang konon bernilai Rp42 trilyun itulah yang menyebabkan banyak pihak yang tidak puas dan bereaksi keras. Sangat bisa dipahami jika kalangan internal di Papua merasa "dikhianati". Dan kemudian melutuslah banyak kerusuhan yang mula-mula hanya berada di Manokwari, lalu melebar ke Sorong dan terakhir memuncak di Jayapura.

Bila dilihat dari kacamata inilah, dapat mudah dipahami kenapa akar persoalan ada di Surabaya dan Malang yang ada di Jawa Timur. Dimana mula-mula persoalan ada di Asrama-asrama Mahasiswa Papua. Kenapa orang-orang seperti Tri Susanti, seorang "aktivis" yang kebetulan kader Gerindra dan FKPPI yang menjadi aktor lapangan. Ia tentu saja akan merasa dirinya sebagai seorang SJW. Dia tentu saja akan mendaku sebagai seorang yang membela merah putih yang dilecehkan!

Pun demikian dengan kelompok sebelah, seperti Aliansi Mahasiswa Papua. Tampak beda tapi sesungguhnya sama, dengan jalan yang saling bersilang arah. Fungsinya sama dan sama-sama punya sponsor dalam saling sengkarut persoalan ekonomi-politik dan persaingan bisnis yang selalu dibikin rumit seperti biasa. Pantesan Jokowi jadi terlihat sangat canggung dan lamban sekali.

Saya hanya mau bilang: merasa malu pernah jadi seorang yang nyaris mirip-mirip Social Justice Warior seperti ini. Untunglah naluri riset dan keinginan check & balance saya menjaganya. Namun sejujurnya terutama sih, karena saya waktu itu terlalu independen dan kere banget. Coba ada funding atau sponsor misalnya, mungkin saya akan berubah jadi korek api.

***