Jelang tanggal 2 Desember 2018, dua tahun setelah demo besar 212 yang konon ditujukan untuk mengawal fatwa MUI mendesak Ahok karena ucapannya merendahkan Al Maidah 51. Namun para pengawal fatwa seperti mulai kehilangan panggung.
Mereka yang dulu getol berjemur di Monas berjilid-jilid kemudian menyusut perlahan. Seiring menyingkirnya banyak pentolan yang dulu gagah gegap gempita meneriaki penista agama.
Berbekal fatwa MUI –yang kala itu dimotori oleh KH Ma'ruf Amin, para anak sekolahan 212 menyemut mengitari lapangan Monas dengan klaim 7 juta massa. Berbekal fatwa ini pula, mereka menjadikan tameng untuk meneriakkan sekaligus mengkampanyekan jangan pilih Ahok.
Momen Pilkada DKI sudah lama usai, mimbar sudah diturunkan. Palu sudah diketok, Anies Baswedan mendapat limpahan rahmat barokah seperti doa-doa para pengkhotbah. Tanpa banyak bekerja keras, mantan menteri Pendidikan ini melenggang sempurna dalam pilkada yang berdarah-darah.
Ia ibarat pemenang tanpa perlu masuk ke gelanggang. Yang bertempur adalah mereka yang mengaku diri jihadis anti penista agama. Tanpa issue Ahok –sang penista agama, Anies Baswedan mungkin bernasib lain. Ia diperkirakan bakal terjerembab kalah di Pilkada DKI. Ini memang pertarungan yang teramat kotor.
Dengan magnitude luar biasa dari demo 212 ini, banyak tokoh-tokoh pinggiran mencoba mengambil panggung. Muncullah PA 212, dan kelompok alumni lainnya. Bahkan ada yang sempat mendirikan Partai Syariah 212, juga berikut unit toko usaha mengambil tajuk 212 ini. Semua gegap gempita, karena menganggap dijebloskannya Ahok adalah kemenbangan yang nyata.
Tapi kini, dua tahun berlalu. Panggung para pengawal fatwa semakin lama semakin keropos. Tak ada lagi kegagahan Habieb Rizieq, Bachtiar Natsir, KH Maruf Amin, Zaitun Rasmin, Kapitra dan lain-lain. KH Maruf Amin, yang dianggap kuncen – pemilik fatwa, malah digandeng menjadi cawapres Jokowi. Bachtiar Natsir diserang issue berkawan dengan kelompok teroris beberapa waktu lalu. Zaitun Rasmin kini tak terdengar lagi di media. Kapitra, segendang seirama dengan KH Maruf Amin, mendekat ke jalur Jokowi.
Di antara kelompok pengaku alumni ini, muncul konflik internal. Banyak kepentingan mulai menyusup. Saling klaim, saling menghujat. Yang terjadi adalah muncul elite-elite baru yang buru-buru merasa mengantongi medali dan ijazah. 212 dibuat reuni, ada alumninya. Seperti anak sekolahan.
Sementara orang-orang yang dulu bersemangat menggelandang penista agama ke pengadilan, kini mulai menyusut sebatas jumlah anggota FPI dan mungkin sebagian HTI atau PKS. Aroma politis yang demikian kentara membuat perlahan panggung para pengawal fatwa ini keropos.
Secara emosional, para alumni 212 ini kemudian mendekat ke kubu Prabowo-Sandi. Sebagai kelanjutan Pilkada DKI, tentu hal-hal ini sudah diperkirakan. Tak ada yang aneh
KH Maruf Amin sendiri belakangan mempertanyakan kembali tujuan kelompok alumni 212 ini, dan bahkan menganggapnya sebagai gerakan politis. Tapi tak dinyana, para pentolan kecil di kelompok alumni 212 ini malah menantang sang kyai. Kini para pengawal fatwa malah membantah sang pemberi fatwa.
Rencana reuni besar-besaran yang diadakan di beberapa tempat mulai ditolak. Polisi, pemegang amanah penertiban berpikir ulang untuk memberikan izin kepada mereka ini. Ditengarai tunggangan politik sampai menggangu ketertiban berada di balik alasan itu. Meskipun saya yakin, jumlah yang akan ‘bereuni’ tak akan lebih banyak dari jumlah kawan-kawan SD saya dulu.
Anyway, selamat bereuni buat yang pernah lulus.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews