Hari itu Jumat 21 Desember 2018. Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY usai melakukan pertemuan tertutup dengan Prabowo Subianto selama dua jam di rumahnya di kawasan Mega Kuningan, menyatakan akan lebih intensif melakukan kampanye memenangkan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019.
SBY dalam kesempatan itu mengklaim tidak pernah mengganggu dan minta pihaknya dan partai koalisinya tidak diganggu.
Ia tidak menjelaskan siapa yang ia maksud telah mengganggu atau berpotensi mengganggunya.
Di situ ada Rachmawati putri Bung Karno, adik Megawati. Ia duduk di kursi roda dengan wajah mendongak. Ia Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi Partai Gerindra yang Ketua Umum-nya adalah Prabowo Subianto.
Bagi yang sudah membaca sejarah, mungkin pemandangan itu adalah hal biasa. Tapi, bagi yang belum tahu mungkin bertanya-tanya kenapa adik Megawati ada di gerbong Prabowo-Sandi, bukan Jokowi-Ma'ruf yang diusung PDI Perjuangan yang Ketua Umum-nya adalah Megawati Soekarnoputri.
Berbeda dengan semua anak Pak Harto yang kompak di Partai Berkarya, tidak demikian halnya dengan anak-anak Bung Karno.
Terutama tiga putri Bung Karno: Megawati, Rachmawati dan Sukmawati, sejak awal memang menempuh jalan berbeda dalam berpolitik.
Rachmawati pada sebuah kesempatan mengatakan Megawati telah mengkhianati kesepakatan keluarga saat Megawati masuk PDI. Menurut ceritanya, keluarga bersepakat menjauhi politik begitu Orde Baru melebur PNI bentukan Bung Karno dan beberapa partai politik menjadi PDI.
Anehnya di kemudian hari Rachmawati pun masuk gelanggang politik. Sebelum di Gerindra, ia sempat di Nasional Demokrat. Ia keluar dari Nasdem karena kecewa Nasdem mendukung Jokowi-Kalla dalam Pilpres 2014. Partai pengusung utama Jokowi-Kalla adalah PDI Perjuangan yang dipimpin kakaknya sendiri.
Lebih ke belakang lagi, Rachmawati sempat membentuk Partai Pelopor namun tampaknya tidak berkembang. Tidak laku dijual, kasarnya.
Rachmawati tidak menyembunyikan perseteruannya dengan Megawati. Ia sering melancarkan kritik pedas, serangan frontal pada kakaknya itu, termasuk ketika kakaknya itu menjadi Presiden. Ia menyebut Megawati hanya memanfaatkan nama besar Soekarno, namun ajaran Soekarno yang diteruskannya tidak murni lagi.
Bukan hanya berbeda dalam pandangan politik, ia pun mengaku hubungan pribadinya dengan Megawati berlangsung hambar. Sangat jarang bertemu. Ia mengaku terakhir ketemu Megawati ketika suami kakaknya itu, Taufik Kiemas, meninggal dunia.
Megawati tidak sepatah kata pun menanggapi sikap adiknya itu. Megawati hanya diam, menyimpan sendiri pendapatnya, sebagaimana ia mendiamkan SBY selama sepuluh tahun.
Taufik Kiemas saja yang pernah menanggapi Rachmawati, itu pun ia mengatakan agar tidak mencampuri dapur orang lain, kira-kira seperti itu.
Ketika Rachmawati ditangkap polisi karena dugaan makar pun, keluarga besar Bung Karno seperti tidak ambil pusing.
Seperti Rachmawati, Sukmawati juga kemudian berpolitik dengan menghidupkan PNI Marhaenisme. Ia kadang mengkritik Megawati di depan umum, namun tidak sefrontal Rachmawati.
Rachmawati bukan hanya tidak cocok dengan Megawati, ia juga tidak cocok dengan Sukmawati.
Hal ini terlihat ketika puisi Sukmawati dilaporkan ke polisi oleh pihak tertentu karena dianggap melecehkan ajaran Islam. Rachmawati bukannya memberikan komentar yang meringankan, justru mengatakan puisi Sukmawati itu lebih serius dari kasus Ahok. Rachmawati meminta Bareskrim Polri mengusutnya dengan serius.
Megawati tidak bersuara mengenai puisi Sukmawati tersebut.
Guntur anak sulung Bung Karno angkat bicara, meminta Sukmawati meluruskan maksud puisinya tersebut.
"Sebagai anak tertua, saya saksi hidup, bahwa seluruh anak Soekarno dididik oleh Bung Karno dan Ibu Fatmawati Soekarno sesuai ajaran Islam," kata Guntur.
"Kami diajarkan syariat Islam dan Bung Karno pun menjalankan semua rukun Islam termasuk menunaikan ibadah haji," lanjutnya.
Ia mengatakan, puisi itu pandangan pribadi Sukmawati, tidak mewakili pandangan keluarga besar.
Guntur satu-satunya anak Bung Karno yang benar-benar menyepi dari politik. Sementara Guruh anak bungsu mengikuti jejak Megawati di PDI Perjuangan.
Segala sesuatu tidak bisa dilihat hitam putih. Demikian halnya dengan pilihan politik tiga putri Bung Karno.
Bahwa sesama saudara kandung pun beda karakter, beda pemikiran. Mungkin kita harus dibiasakan melihat perbedaan agar tidak mudah terkaget-kaget.
Dalam konteks yang lebih luas yaitu Indonesia, perbedaan kalau dicari sungguh sangat banyak. Indonesia dengan ribuan suku dengan adat dan tradisi yang berbeda, agama yang berbeda-beda.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi sangat sering mengingatkan perbedaan-perbedaan tersebut merupakan kekuatan apabila kita semua mampu merawatnya.
Cara merawat dan merayakan perbedaan dalam harmoni kedamaian adalah dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, patuh pada hukum yang berlaku di NKRI. Hukum NKRI. Bukan hukum yang lain.
Visi yang sama dibangun dan dirawat PDI Perjuangan yang hari ini, Kamis 10 Januari 2019 genap berusia 46 tahun.
Bahwa perbedaan pilihan dalam politik bukan masalah besar. Yang menjadi masalah besar adalah ketika ada pihak dengan keinginan mengganti NKRI menjadi bentuk lain.
Ini yang sangat ditentang PDI Perjuangan. Karena bagi PDI Perjuangan, NKRI adalah harga mati.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews