Habib Rizieq dan Hiperealitas Panggung Politik

Kamis, 3 Januari 2019 | 19:09 WIB
0
281
Habib Rizieq dan Hiperealitas Panggung Politik
Rizieq Shihab (Foto: Tribunnews.com)

Membincangkan pentolan Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Shihab alias Habib Rizieq Shihab (selanjutnya disingkat HRS) memang akan selalu menarik. Terlebih saat ini, bisa dikatakan bahwa HRS termasuk dalam salah satu news maker yang selalu diburu media lantaran keterlibatannya dalam sejumlah "kegaduhan" politik nasional.

Kegaduhan politik kreasi HRS nampak jelas. Contohnya, melakukan pelantikan gubernur tandingan saat Menteri Dalam Negeri bersikeras melantik Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta usai kursi DKI 1 ditinggal Jokowi yang terpilih sebagai Presiden pada 2014 silam.

Hingga ke sini, semakin tenar nama HRS usai berhasil menggalang masa demonstrasi 212 dalam kasus Almaidah: 51 yang kemudian disusul demonstrasi angka-angka keramat lainnya.

Saking solidnya menggalang aksi demo berlabel Kapak Sakti Geni milik Wiro Sableng ini, HRS dkk. pun memiliki forum alumni 212 bahkan merambah sektor bisnis minimarket 212 yang kini keberadaannya tetap tak mampu menyaingi minimarket kenamaan yang sudah lebih dulu eksis "indoapril", sekalipun sudah sesumbar bahwa pembeli muslim akan beralih ke ritel baru mereka.

Kalau ditelisik dari perspektif teori naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang menjadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya.

Jadi, agak naif jika kita begitu saja menolak "pementasan" HRS belakangan ini nihil pemaknaan dan penanda khusus, pun wajar saja jika kita sedikit menaruh curiga dengan serangkaian aksi yang getol dilakoni HRS dkk.

Lantas, apa masalahnya?

Nah, persoalan timbul ketika kita membaca serangkaian narasi politik di balik aksi-aksi HRS yang erat kaitannya dengan politik. Misalkan, kasus Almaidah:51 yang oleh sebagian penggemar Ahok dianggap sebagai reaksi balasan atas pesan politik diskriminatif Risalah Istiqlal yang menyatakan haram memilih pemimpin kafir di DKI.

Risalah yang juga didukung sejumlah partai politik ini, dianggap kental dengan pesan politik yang melanggar hak konstitusional warga. Ajakan untuk menolak pemimpin berdasarkan agama tersebut, dinilai dapat menciderai demokrasi di Indonesia. Namun apa mau dikata, seruan ini kian menemukan momentum usai keceletot lidah Koh Ahok di Pulau Seribu yang berujung jeruji besi baginya.

Di lain sisi, aroma politik Risalah Istiqlal kian menyengat ketika parpol yang berafiliasi dengan gerakan itu, ternyata juga mendukung politisi dan kandidat nonmuslim di provinsi bahkan kabupaten lain dalam kontestasi pilkada. Sehingga, orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin satu ayat serupa (Almaidah:51) yang digunakan dalam menjegal Ahok, begitu elastis dalam kontestasi politik di daerah lain.

Jawabannya hanya satu, yaitu skema politik. Lah, kalau bukan perkara politik, apalagi coba? Kira-kira begitu kecurigaan banyak orang.

Nah, sekarang, gerakan demo berjilid-jilid ini, mulai kembali digalakkan dengan isu yang sedikit dimodifikasi seperti terjadi penistaan ulama, penculikan para ulama, pemerintahan Jokowi kontra Islam, dan pembiaran terhadap gejala kebangkitan PKI.

Namun sayangnya, narasi ini dianggap kurang pas karena Jokowi yang memilih Kyai Ma'ruf sebagai wakil presiden dalam kandidasi Pilpres kali ini, seakan-akan menjadi pengunci permainan isu SARA.

Tapi, bukan HRS dan komplotan kalau tidak pandai memproduksi isu dan mendistribusikannya kepada publik sebagai isu bersama. Seperti yang kita tahu, belum lama ini umat Islam dibuat sibuk dengan demonstrasi bela tauhid yang tersulut akibat aksi pembakaran bendera HTI.

Alasan yang santer dinarasikan dari kasus ini adalah Banser membakar kalimat tauhid atau Banser membakar panji Rasulullah. Sontak saja masyarakat yang merasa mencintai agamanya pun terbakar dan akhirnya demonstrasi pun berlanjut.

Tapi apa yang terjadi? Demonstrasi justru lebih pada orasi menurunkan Jokowi dan 2019 tetap ganti presiden. Belum lagi, aksi tersebut ditunggangi HTI yang masih getol mendomplengi FPI untuk menyuarakan khilafah yang justru kian nampak utopis.

Selain itu, saking rapi dan terorganisirnya aksi-aksi politik berselimut legitimasi agama ini, publik pun akhirnya bingung dan bertanya-tanya, sebenarnya narasi manakah yang benar, narasi pemerintah atau narasi pentolan FPI dkk?    

Merujuk pandangan Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, bahwa kinerja provokasi berlabel agama ini dapat menimbulkan kebingungan rasional atau disebut reality by proxysekaligus memunculkan solusi imajiner.

Perilaku politik yang ditonjolkan HRS dkk saat ini adalah menonjolkan persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Bahkan, realitas yang dibangun di ruang publik sekarang ini, pun membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.

Mengapa begitu? Sebab reality by proxy ini dimaksudkan sebagai ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Kini, siapa yang mampu memverifikasi secara benar, mana informasi valid dan mana informasi rekaan? Tidak ada, kecuali jurnalisme profesional yang barangkali juga tengah goyah. 

Maklum saja, media pun kini berkubu-kubu, yang akhirnya publik semakin tersegregasi, kian terklaster dalam pilihan-pilihan politik yang terkadang manisnya diteguk para pembuat skenario dan pahitnya ditenggak publik.

Selanjutnya, publik pun semakin bingung dengan realitas simbolik yang ditawarkan media melalui kemasan kepentingan yang sulit ditangkap sebagai sebuah kebenaran ataukah simulasi realitas saja. Ini pun dapat disebut sebagai solusi imajiner sebab kehadiran antara realitas dan sesuatu yang bersifat non-empiris dihadirkan dalam satu balutan kesan lewat pemberitaan atau publisitas.

Termasuk kasus "bendera tauhid" yang katanya merupakan konspirasi kelompok tertentu untuk menjerat HRS hingga sempat diperiksa dan ditahan pihak intelijen Arab Saudi. Di satu sisi, nama besar HRS diduga dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai senjata untuk mencederai kredibilitas HRS dkk.

Di lain sisi, HRS sendiri sibuk memproteksi image-nya agar tak mudah dirobohkan usai dinyatakan terlibat sejumlah kasus di tanah air. Hasilnya, narasi tentang HRS maupun yang dibangun oleh HRS dkk menjadi sumir dan amat membingungkan.

Inilah yang disebut hiperealitas "politik salah kesan" yang tersajikan, baik di panggung politik maupun lewat media. Kini, lambat-laun kasus ini berpotensi menimbulkan kegaduhan politik di ruang publik, terlebih jika HRS memerankan karakter "teraniaya" yang begitu sarat intrik (political game).

Mungkin, kejumudan politik akan akan tercipta dan bakal lama berlanjut bila sajian realitas politik kita masih terbentur dengan dominasi kepentingan kelompok juga akumulasi kapital yang hendak dicapai dari setiap projek politik.

***