Siyasah Presidential Threshold Nol Persen

Dengan suara "hanya" 7,77 Persen, Partai Demokrat harus berkoalisi dengan partai yang suaranya berada di bawah perolehannya seperti PAN dan PPP agar bisa mengusung AHY sebagai capres.

Sabtu, 25 Desember 2021 | 22:52 WIB
0
334
Siyasah Presidential Threshold Nol Persen
Agus Harimurti Yudhoyono (Foto Bisnis.com)

Politik itu bersiasat. Siyasah dalam bahasa Arab merupakan salah satu cabang filsafat yang mendalami seni berpolitik. Siyasah tidak selamanya berkonotasi buruk, sebab kata siyasah yang sebunyi dengan "siasat" itu adalah seni. Apakah kalau kemudian muncul isu PT 0% (Presidential Threshold 0 persen) itu sebagai seni berpolitik? Bukan seni, di sini kata yang tepat adalah siasat.

Siasat tentu saja akal-akalan. Suka atau tidak, akal-akalan berkonotasi kurang sedap. Kalau kemudian ada siasat untuk mengubah PT 20% menjadi 0%, jelas ini akal-akalan. Akal-akalan dengan alasan demokrasi, partai peserta pemilu manapun berhak mengusung capres dan cawapresnya, tidak peduli nol kursi di perlemen atau bahkan nol suara.

Padahal, untuk sampai pada pembentukan partai politik, kemudian berhak ikut Pemilu dan Pilpres, diperlukan perjuangan dan kompetisi yang harus dilalui. Aturan yang terdapat pada Undang-undang Pemilihan Umum itu menyebutkan, hanya partai atau gabungan partai yang memiliki 20% suara yang berhak mengusung capres-cawapresnya.

Wajar kalau kepentingan mengubah PT 20% menjadi 0% disuarakan oleh perorangan seperti La Nyala Mattaliti, Ketua DPD yang juga berhasrat mencalonkan diri sebagai capres, mantan menteri Rizal Ramli, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan beberapa partai politik. Tercatat, partai politik yang paling keras menyuarakan PT 0% adalah Partai Demokrat, partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pernah berkuasa selama 10 tahun. 

Mudah ditebak mengapa partai yang kini dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu paling keras dan agresif menyuarakan PT 0%, tidak lain untuk memuluskan jalannya AHY menuju pencalonannya sebagai Presiden. Setali tiga uang dengan yang dikehendaki La Nyala Mattaliti, Gatot Nurmantyo dan Rizal Ramli.

Padahal kalau melihat jalannya sejarah masa lalu, keinginan Partai Demokrat menyuarakan PT 0%  berbanding terbalik saat Pilpres 2009 di mana kala itu justru partai berlambang mirip logo Mercy ini mendukung angka 20 persen. Bahwa dulu Partai Demokrat mendukung 20%, sudah pasti karena percaya diri dengan kinerja partai dan percaya diri dengan SBY sebagai figur capres yang bisa menang dan tidak diragukan lagi,

Waktu yang berlalu mungkin telah mengubah dan bahkan telah mengikis rasa percaya diri itu. Kepentingan Partai Demokrat saat ini, menghadapi Pilpres 2024, adalah mengusung AHY sebagai capres, maka PT 0% menjadi kebutuhan mendesak.

Apakah perbedaan atau perubahan sikap ini suatu yang wajar dalam berpolitik seiring perkembangan keadaan dan situasi? Dengan kata lain, apakah ini suatu yang wajar dalam berpolitik?

Tentu saja wajar, namanya juga ber-siyasah yang pengertiannya rada-rada dekat dengan bersiasat. Jangan lupa, politik itu adalah kepentingan. Jadi siyasah maupun siasat Partai Demokrat itu sebagai suatu kepentingan, yaitu memmuluskan jalannya AHY sebagai capres itu tadi.

Demokrat juga berkaca pada pengalaman pahit Pilpres 2019 saat menjadi "korban" PT 20 persen di mana saat itu AHY tidak bisa menjadi capres atau cawapres yang diusung sendiri oleh partainya, bahkan menjadi pendamping Prabowo Subianto pun mentok akibat perolehan suaranya yang di bawah 8 persen (Pilpres 2014 di atas 10 persen).

Baca Juga: Kudeta Moeldoko dan Ujian Berat Pertama AHY

Dengan aturan PT 20%, jelas AHY harus membentuk koalisi besar sampai mencapai sedikitnya 20 persen agar bisa diusung sebagai capres. Memang sulit, tetapi bukan mustahil terlaksana asalkan pandai-pandai memainkan siyasah dalam berpolitik. 

PDIP dengan perolehan suara 19,33 persen tinggal menggandeng satu partai lagi, maka PT 20% sudah terpenuhi. Tetapi celaka kalau PDIP berkoalisi dengan Gerindra sebagai runner-up, maka akan semakin mempersempit peluang partai bersuara kecil mencapai PT 20% kendati berkoalsi dengan partai lainnya.

Memang di atas kertas bakal lahir tiga pasangan capres-cawapres. Tetapi melihat polarisasi angka kemenangan yang bertumpu pada PDIP, Gerindra dan Golkar, maka sulit bagi partai-partai lainnya mengusung capresnya sendiri-sendiri. Sebab, masing-masing partai ingin yang maju sebagai capres adalah dari partainya.

Idealnya PDIP dan Gerindra tetap "head to head", sehingga tinggal menggenapkan angka 20%, sementara partai-partai lain bersuara kecil berusaha membentuk koalisi agar bisa mengusung capres-cawapres mereka. 

Dengan perolehan yang "hanya" 7,77%, Partai Demokrat harus berkoalisi dengan partai yang suaranya berada di bawah perolehannya seperti PAN dan PPP. Bahkan jikapun ketiga partai ini berkoalisi, suaranya tidak mencapai 20%. Ketika harus berkoalisi dengan partai yang perolehan suaranya lebih tinggi seperti PKS, PKB dan Nasdem, maka galibnya untuk capres-cawapres sesuai urutan pemenang.

Maka di sinilah urgensinya Partai Demokrat menyuarakan pentingnya mengubah PT 20% menjad PT 0% sampai-sampai beberapa petinggi partai mendesak pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu, padahal tidak ada kegentingan memaksa, kecuali kegentingan di tubuh Partai Demokrat itu sendiri.

Namanya juga siasat, eh...siyasah.

*** 

Perolehan Suara Parpol pada Pemilu 2019:

1. PDI-P: 27.053.961 (19,33 persen)
2. Gerindra: 17.594.839 (12,57 persen
3. Golkar: 17.229.789 (12,31 persen)
4. PKB: 13.570.097 (9,69 persen)
5. Nasdem: 12.661.792 (9,05 persen)
6. PKS: 11.493.663 (8,21 persen)
7. Demokrat: 10.876.507 (7,77 persen)
8. PAN: 9.572.623 (6,84 persen)
9. PPP: 6.323.147 (4,52 persen)
10. Perindo: 3.738.320 (2,67 persen)
11. Berkarya: 2.929.495 (2,09 persen)
12. PSI: 2.650.361 (1,89 persen)
13. Hanura: 2.161.507 (1,54 persen)
14. PBB: 1.099.848 (0,79 persen)
15. Garuda 702.536 (0,50 persen)
16. PKPI 312.775 (0,22 persen)