Mengutuk Aksi Teroris, Lalu Apa?

MUI bukan cuma lembaga stempel sertifikasi halal, MUI harus memperlihatkan peranannya sebagai lembaga para Ulama, yang menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar.

Selasa, 30 Maret 2021 | 11:11 WIB
0
191
Mengutuk Aksi Teroris, Lalu Apa?
Foto:Kompas.com

Setiap ada kejadian aksi terorisme, reaksi kita tetap sama, secara beramai-ramai hanya mengutuk, dan terorisme tetap terus ada. Lantas efektifkah hanya mengutuk aksi tersebut?

Negara ini punya pemerintahan, ada yang yang bertanggung jawab secara khusus terhadap penanggulangan aksi terorisme, dan ada anggaran untuk penanggulangannya. Tapi kok aksi terorisme tidak bisa dibasmi? Minimal ada tindakan antisipasi.

Capek gak sih dengan situasi yang sama terus berulang, dan respon terhadap aksi tersebut tetap sama. Ramai-ramai mengutuk aksi tersebut, yang tidak mengutuk seolah-olah dianggap berpihak terhadap aksi tersebut, dan menyukai dengan aksi terorisme.

Yang benar aja, masak sih ada yang mendukung aksi terorisme, selain daripada pihak yang memang merencnakan aksi tersebut? Saya rasa tidak ada yang mendukung aksi seperti itu, karena aksi terorisme mengancam kita bersama, dan musuh kita bersama.

Rerata masyarakat sudah tahu, bahwa Bomber itu karakteristik dan latar belakangnya hampir sama semua. Korban doktrin sesat, dicekoki agama tanpa ilmu, sehingga seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Rerata bomber itu orang yang linglung dalam beragama, karena beragama tanpa akal, hanya mengandalkan nafsu semata. Yang jelas rerata anti sosial, sehingga membuat jarak dengan masyarakat pada umumnya, makanya mudah untuk dicekoki doktrin sesat.

Aksi Bomber di Gereja Katedral, Makasar (28/3/2021), menurut Pengamat intelijen Stanislaus Riyanta, mirip dengan aksi ledakan bom Surabaya 4 tahun lalu, dan aksi ledakan bom di Polretabes Medan.

Kemiripan yang dimaksudkan oleh Stanislaus adalah sama-sama aksi bom bunuh diri. Indetifikasi para pelakunya pun mengarah pada jaringan yang sama, bahwa pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar adalah dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

"Karakteristik antara 3 kejadian yang sudah terjadi di Indonesia mulai dari gereja di Surabaya pada 4 tahun lalu dan ledakan di Polrestabes Medan belum lama ini juga yang terakhir adalah peristiwa bom di Gereja Katedral Makassar. Benang merahnya adalah sama-sama menggunakan motif karakteristik bom bunuh diri. Ini ciri khas dari JAD," kata Stanislaus Riyanta kepada Arahkata, Senin, 29 Maret 2021.

Bisa jadi hasil pengamatan Stanislaus mengandung kebenaran, meskipun keterangan dari pihak kepolisian belumlah final. Kalau acuannya melihat dari karakteristik kejadian yang sama, tingkat akurasi pengamatan tersebut sangat mendekati kebenaran, karena memang sel-sel jaringan ini sepertinya masih terus hidup.

Kalau melihat dari kronologis kejadian aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar, pihak keamanan Gereja yang pasang badan untuk menghalangi teroris masuk ke halaman Gereja. Pertanyaannya, dimana aparat keamanan saat terjadinya aksi tersebut.

Saya sangat yakin, kalau pun terjadi lagi aksi serupa dikemudian hari, reaksi dan respon kita pastinya tetap sama, mengutuk terjadinya aksi tersebut, lagi-lagi, dan lagi kita cuma bisa mengutuk, tidak tahu harus melakukan apa, agar kasus serupa tidak terjadi lagi.

Kalau saja dengan mengutuk kejadian tersebut, dan pelakunya bisa menjadi batu, atau jaringan teroris tersebut bisa mati kutu, mungkin cukup dengan mengutuk, maka kejadian tersebut tidak terjadi lagi.

Himbauan pemerintah dan MUI, agar tidak mengaitkan aksi bomber tersebut dengan suatu agama juga tidak efektif, karena pada kenyataannya para pelaku bomber tersebut menggunakan identitas agama.

Teror memang tidak punya agama, tapi pelaku teror tentulah beragama dan punya agama. Padahal, agama apa pun tidak mengajarkan untuk membunuh dan berbuat kekerasan, tapi realitanya para bomber itu adalah bagian dari jaringan yang sama.

Lebih efektif kalau MUI bekerjasama dengan pemerintah, untuk ikut memerangi terorisme, dari pada MUI memosisikan diri sebagai oposisi pemerintah, malah terasa tidak jelas relasi secara politiknya.

MUI harusnya mampu ikut menekan tumbuhnya jaringan seperti JAD tersebut, dengan menurunkan ulama-ulama yang memang layak dikedepankan kehadapan masyarakat. Dari pada MUI cuma seperti menara gading yang didirikan tanpa jelas apa peranannya untuk kemaslahatan umat.

MUI bukan cuma lembaga stempel sertifikasi halal, lebih dari itu MUI harus memperlihatkan peranannya sebagai lembaga para Ulama, yang menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar.

Bukan cuma mengutuk aksi teroris, dan meminta tidak mengaitkan dengan suatu agama, tapi endingnya MUI mengakui kalau pelaku adalah umat Islam, karena meminta pelaku teror dimakamkan secara Islam. 

***