Watak Adigang Adigung Adiguna Arteria Dahlan

Tapi kalau intelek ya jangan memotong pembicaraan, tangannya ngapurancang (Seperti gaya siswa jaman dulu kalau dinasihati orang tua menunduk sambil dua tangannya di satukan, tanda hormat.

Sabtu, 12 Oktober 2019 | 19:13 WIB
0
474
Watak Adigang Adigung  Adiguna Arteria Dahlan
Arteria Dahlan (Foto: Tribunnews.com)

Arteria Dahlan. Wajah itu selalu membayang ketika dengan sangarnya mendebat Emil Salim sang kakek yang kenyang pengalaman. Umur 89 masih sanggup berdebat. Bukan isi substasinya dalam debat itu yang penulis cermati tetapi gaya Arteria Dahlan yang seperti lupa ia hidup di mana.

Kalaulah benar posisinya tidak akan menutupi pemirsa betapa ia seperti generasi yang sudah luntur tata kramanya. Ini bukan barat ini timur yang mempunyai simbol- simbol penghormatan pada yang lebih tua. Dan kabarnya sampai sekarang tidak mau minta maaf. Itu namanya Adigang, Adigung , Adiguna (Sok kuat, Sok Berkuasa dan Sok pandai).

Anda produk Milenial ya hingga lupa bagaimana sih seharusnya berbicara dengan orang tua. Apalagi yang sepatutnya menjadi kakek anda. Oh, gaya kemaki anda itu lho yang tidak “nguwati”.

Saya jadi ingat ayah yang baru saja meninggal. Ah kangen. Emil Salim itu seperti sosok ayah saya. Dulu Emil Salim pernah datang ke desa saya melihat proyek Kaliandra yang ditanam di bengkok desa saya. Dulu sewaktu masih jaman orde baru. Sudah lama sekali sebab waktu itu saya masih kecil kurang lebih umur saya sepuluh tahun. Orangnya ramah dan tenang, memakai baju safari khas pejabat. Tetapi tampaknya Emil Salim yang waktu itu masih mentri lingkungan hidup sedang turba alias turun ke bawah meninjau proyek penghijauan di desa - desa.

Sekarang Emil Salim sudah berumur 89 dan masih sehat fisik dan pikirannya, luar biasa. Sayangnya Emil Salim sedang berhadapan dengan wakil rakyat yang sedang hidup dalam turbulensi. Bergoyang seperti pengin roboh dan jatuh berdebum. Para wakil rakyat sekarang lucu- lucu tetapi itu khan pilihan kita bersama.

Ketika ada perwakilan rakyat yang kelakuannya tidak bisa ditebak itu sebuah resiko sebab mereka banyak yang sebenarnya tidak mengerti politik. Mereka hanya tahu bahwa kalau mau menjadi wakil rakyat ya siapkan saja sejumlah uang yang tidak sedikit.

Meskipun mungkin ada kuli bangunan yang bisa melenggang ke Senayan ya makhlum. Itu keberuntungan namanya. Oh ya ingat Emil Salim jadi ingat Arteria Dahlan. Sekilas melihat aksi Arteria Dahlan  yang “songong atau arogan” tangannya jadi ikut- ikutan pengin menunjuk balik. Memang begitu ya seorang anggota DPR terhormat jika berhadapan dengan nara debat.

Baik anak- anak maupun orang tua harus tangannya disorong- sorongkan sambil menunjuk muka. Setelah itu tiba- tiba dengan wajah masam bercerita panjang lebar mengapa harus berdebat dengan gaya arogan.saya: jawab saja?

“Itu Lho, Ada seorang anggota DPR masih muda tapi gaya debatnya membuat saya merenung, siapa yang ngajari ya. Eh, Mas Guru memang kalau ngajari anak berdebat tangannya harus menunjuk- nunjuk ke muka, mimik mukanya dibuat masam dengan pandangan mata walalalala… apakah sampeyan nggak ngajari etika dan tata kromo. “

“Rasanya sudah Kang, tetapi kenapa ya kok berdebatnya songong?!”

“Ssst, jangan suka membicarakan orang.”

 “Habis, kadang aku suka kesal, harusnya yang muda bisa menempatkan diri. “Lha kok anak muda cengengesan dan terkesan melecehkan orang tua?”

“Sssssth, jangan keras- keras nanti didengar wakil rakyat lho “

“Bodho amat.”

 Kau perlu memahami kaum milenial, mungkin ledakan- ledakan emosinya butuh penyaluran yang pas. Bisa jadi itu wajah yang muncul di TV. Masam itu memang asli lalu bagaimana lagi? Khan namanya berdebat. Kedua- duanya butuh energi, aksi, gaya agar terkesan intelek.

Tapi kalau intelek ya jangan memotong pembicaraan, tangannya ngapurancang (Seperti gaya siswa jaman dulu kalau dinasihati orang tua menunduk sambil dua tangannya di satukan, tanda hormat… nah yang ini tanpa ba bi bu… malah menyemprot orang tua yang sudah kenyang pengalaman).

“Ya jangan samakan dengan masa lalu mbah. Sekarang ya sekarang, zamannya tidak basa- basi,  tidak boleh mengeluh tetapi harus kerja kreatif.”

“hehehe, yayaya semakin pintar, semakin sukses dan pernah menjadi wakil rakyat sebelumnya ya harus ngotot dalam berdebat.”

“Tapi khan tidak perlu ngegas jika dikritik”

“Tapi…. Sudah kalau pembawaan bagaimana?”

“Ah anak muda selalu menemukan cara untuk ngeles, dinasihati malah ganti mengkuliahi, hehehe cuaaaapek dah?”

“Sebentar, sebenarnya adakah cara kalau berdebat jangan memotong pembicaraaan, apalagi harus...tangannya pethakilan..”

“Harusnya ada sih tapi itu khan tren zaman old”

“Jadi, kalau gaya berdebat zaman sekarang itu yang seperti yang dicontohkan Mas Arteria itu yang cocok.”

“Maksudnya bukan begitu…”

“Lalu yang benar bagaimana?”

“Mbok ya  tidak perlu spontan seperti orang mau tantang- tantangan antar preman. Yang diajak khan  orang tua kok gayanya wooow begitu… hehehe luar biasa?!, saran saya sebelum masuk DPR sekolah dulu sekolah kepribadian. Kalau debat yang wajar tidak perlu menggebrak meja dan melempar kursi.”

“Itu yang dulu… sekarang juga sama sekarang ternyata sama saja”

Kalau melihat debat di televisi sekarang sebaiknya minum teh dulu ah supaya saat melihatnya tidak ikut- ikutan emosi. Santai saja Bro….

Salam damai selalu.

***