Kinerja dan Lelucon Gus Dur

Lha, Indonesia, di mana? Gus Dur bilang tak ada dalam kriteria itu. Terus, gimdong? Kata Gus Dur, “Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan, berbeda!”

Jumat, 22 November 2019 | 11:10 WIB
0
490
Kinerja dan Lelucon Gus Dur
Gus Dur (Foto: goodnewsfromindonesia.id)

Meski tak sangat heroik, Reformasi 1998 bagaimana pun perlahan membuat perubahan-perubahan (politik) menjadi mungkin. Hingga manusia sepeti Jokowi, bisa terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, ketika negeri ini sudah berusia 69 tahun. Ketika Indonesia dalam posisi jungkir balik, 69 itu!

Ketika sebagian besar rakyat Indonesia menginginkan perubahan. Seiring jamannya. Ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi memporak-porandakan semuanya. Teknologi internet, era digital dan revolusi industry 4.0, memaksa segalanya berubah. Bukan hanya cara pandang, tetapi juga system dan mekanisme yang menyertai.

Sekali pun, dengan tingkat literasi masih rendah dan daya akselerasi yang kepontal-pontal. Maka ketika Jokowi menyebut membangun tol langit, orang sok pintar bertanya; “Gimana ngaspal jalan ke langit?” Persis ketika Jokowi bikin ‘tol laut’, Yusril Ihza Mahendra pun kebingungan. Bagaimana membangun infrastruktur jalan di atas laut kita? Tapi begitu Yusril ditarik jadi lawyer Jokowi-Ma’ruf Amien, kemudian anteng. Meski sekarang gelisah lagi, kok belum kecipratan kursi?

Dulu, untuk menjadi Presiden Indonesia, genealogi politik kita masih ribet. Mana yang keturunan Majapahit. Satria Piningit. Harus sesuai ‘hanacaraka’. Militer. Anak ningrat, atau Penggede. Kaya-raya. Tapi dengan munculnya Jokowi (sebagaimana Barrack Obama untuk AS), segala yang mistik dan misteri, bisa diurai dengan apa yang disebut track-record. Kinerja. Jejak digital, dan sebagainya. Butuh 10 tahun, untuk membuktikan bahwa Jenderal TNI sebongsor SBY tak bisa diharap banyak.

Sementara itu, sebagai pemain catur, bukan kali ini Jokowi memakai strategi bakar lumbung gebug tikusnya.

Jika Jokowi berjanji tanpa ampun dan kompromi, ia memang menantang perang. Untuk gebug-gebugan. Mirip Liu Bang, kaisar pertama Dinasti Han, yang menunjuk Panglima Xiao He dan Cao Shen. Dengan mudah Jokowi mendeteksi siapa kawan siapa lawan. Siapa mendukung disain perubahan dan yang maunya tetap dalam kubangan comfortable zone yang korup.

Maka tak heran ketika hari ini kita masih mendengar beberapa pihak kalang-kabut, gulung-koming, mendengar Ahok ditarik pemerintah menjadi orang penting di salah satu BUMN. Orang kayak Rizal Ramli, yang konon doktor ekonomi pinter, omongannya bisa lucu. Sementara kelompok PA-212, yang merasa lebih punya otoritas dalam etika, sopan-santun, agama, sorga, kafir, tak jauh beda dengan RR.

Dan seterusnya. Termasuk Arie Gumilar yang heroik dan agamis, tapi tiba-tiba mengalami Cilacap-13! Mereka ngomong apa, mengerjakan apa. Persis Anies Baswedan apa yang diomongkan beda yang dikerjakan. Sementara untuk mengapresiasi kinerja Jokowi, juga Ahok, yang bahkan secara internasional diakui, kita justeru memakai ukuran-ukuran yang abstrak. Dan hanya mereka yang boleh menafsir!

Dalam sebuah lelucon, Gus Dur mengatakan; Konon ada 4 sifat bangsa, (1) Sedikit bicara sedikit kerja, seperti Nigeria, Angola. (2) Sedikit bicara banyak kerja, Jepang dan Korsel. (3) Banyak bicara banyak kerja, Amerika Serikat, China. (4) Banyak bicara sedikit kerja, India, Pakistan.

Lha, Indonesia, di mana? Gus Dur bilang tak ada dalam kriteria itu. Terus, gimdong? Kata Gus Dur, “Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan, berbeda!”

***