Ilusi People Power

Jika people power hanya untuk aksi protes saja, tapi tak akan mengubah hasil pemilu 2019, apa nilai strategisnya?

Selasa, 20 Agustus 2019 | 08:00 WIB
0
408
Ilusi People Power
Ilustrasi people power (Foto: Aliena.id)

“Hidup hanya menunda kekalahan.” Itulah kutipan dari puisi Chairil Anwar berjudul Derai-Derai Cemara. Puisi ini salah satu yang terbaik dari Chairil Anwar. Ia menulisnya di tahun 1949.

Kutipan itu pula yang saya ingat melihat aneka manuver kubu Prabowo atau pendukung yang membela. Manuver itu kian hari kian hiruk pikuk. Kian lama seolah kian ramai. Kian ke sini, nampaknya kian seru.

Namun manuver itu tak akan mengubah kekalahan Prabowo dalam Pilpres 2019. Paling jauh itu manuver dikenang sebagai upaya “hanya menunda kekalahan” belaka.

Baiklah kita kupas dua perkara utama. Pertama, Gerakaan melawan apa yang mereka sebut dengan pemilu curang. Kedua rencana aksi people power, ataupun yang kini diubah nama menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat.

Kubu Prabowo dan pendukungnya berencana melakukan protes nasional atas yang mereka sebut dengan kecurangan pemilu. Secara resmi kubu Prabowo mengklaim menang berdasarkan perhitungannya sendiri, yang mereka sebut Real Count.

Awalnya mereka mengklaim menang 62 persen. Kini resmi pula klaim kemenangan dikurangi menjadi hanya 54,24 persen saja. Awalnya mereka mengklaim mendasarkan diri dari data Real Count yang sudah terkumpul 40 persen. Kini data real count diklaim sudah terkumpul sekitar 60 persen.

Tapi Real Count KPU lebih maju karena akan terkumpul 100 persen. Hampir pasti Jokowi-Ma’ruf yang menang. Hasil resmi KPU, lembaga yang ditunjuk resmi oleh UU sebagai penyelenggara pemilu, sama dengan hasil Quick Count paling tidak 6 lembaga survei kredibel. Sedangkan Lembaga Survei sudah mengumumkan hasilnya di hari pencoblosan, 17 April 2019, sebulan lalu: Jokowi menang!

Aneka manuver sudah digaungkan oleh kubu Prabowo. Ada yang intens berkampanye pemilu curang. Ada yang berencana kumpul massal di KPU sebelum dan ketika pengumuman resmi dilakukan.

Ada yang menyerukan protes sambil buka puasa bareng atau sahur bareng di depan KPU selama mungkin. PA 212 berencana aksi massal damai menolak hasil KPU, yang dinamakan Ifthor Akbar. Habieb Rizieq dari Arab Saudi berulang menyerukan Jokowi mengaku kalah saja. Ada pula yang meminta Jokowi didiskualifikasi.

Para aktivis dan intelektual pro Prabowo juga mengembangkan wacana sendiri. Di samping demo, juga membuat diskusi. Tak lupa membentuk opini melalui media sosial.

Tapi apa arti semua manuver itu? Kekalahan Prabowo di kotak suara tak bisa dibalikkan oleh aneka manuver di jalanan ataupun di media sosial. Membuat aneka gerakan sampai berbusa-busa sekalipun tak bisa mengubah angka perhitungan KPU. Semua itu hanya manuver yang menunda kekalahan belaka.

Satu satunya cara untuk mengubah kemenangan, dari Prabowo kalah menjadi menang, hanya ada di Mahkamah Konstitusi. Di hadapan para hakim itu, semua tuduhan harus dibuktikan. Hanya kekuatan bukti yang bisa mengubah kemenangan.

Tapi apakah kubu Prabowo dan pendukungnya memiliki bukti yang cukup untuk membalikkan kemenangan? Di situ inti perkara.

Di tahun 2014, Prabowo hanya kalah 5,4 juta suara. Itu pun tak dapat dibalikkan oleh kubu Prabowo di MK dengan bukti yang cukup.

Kini di tahun 2019, berdasarkan Quick Count LSI Denny JA, Prabowo kalah tiga kali lipatnya: 17 juta suara. Jelaslah bertambah susah bagi kubu Prabowo mencari bukti yang melampaui selisih 17 juta suara.

Hampir bisa dipastikan. Semua manuver yang ada, dengan aneka kembangannya, dengan aneka riuh rendahnya, hanya menyerupai kutipan puisi Chairl Anwar Belaka: Hanya Menunda Kekalahan.

**

Jika tak bisa mengubah kekalahan dalam pemilu, bagaimana jika merebut kekuasaan melalui people power? Jika people power hanya untuk aksi protes saja, tapi tak akan mengubah hasil pemilu 2019, apa nilai strategisnya? People power hanya bernilai puncak jika mampu merebut kekuasaan.

Tapi Konstitusi dan undang undang yang ada sudah begitu jelas. Tak ada elemen people power untuk mengubah hasil pemilu. People power yang berhasil di tahun 1998, juga tidak mengubah hasil pemilu.

Di tahun 1998, people power berhasil membuat Suharto mundur. Tapi tak serta merta kekuasaan beralih kepada kelompok penggerak people power. Peralihan kekuasaan tetap mengikuti konstitusi. Presiden mundur, wakil presiden yang menggantikan.

Suharto mundur karena people power di tahun 1998, digantikan oleh wakilnya BJ Habibie. Suharto tidak diganti oleh Amien Rais atau siapapun yang memimpin people power 1998.

Seandainyapun people power berhasil di tahun 2019, tak ada pula mekanisme untuk mengalihkan kekuasaan pada Prabowo.

Tapi untuk membuat people power berhasil ada banyak syaratnya. Harus ada delegitimasi yang luar biasa kepada presiden yang berkuasa. Harus ada ketidak puasan massal, terutama dalam hubungan kepuasan ekonomi masyarakat. Terpecahnya elit penguasa, terutama yang memegang senjata. Bersatunya civil society dan media untuk melawan penguasa.

Semua unsur itu nihil belaka. Atau kata orang India, semua itu kini hanya “nehi.” Kepuasan atas kinerja Jokowi justru sangat tinggi di atas 70 persen. Mengapa pula harus menumbangkan Jokowi?

Mayoritas publik juga tidak kecewa soal ekonomi. Tak ada perpecahan dalam TNI/Polri. Civil Society yang mendukung Jokowi lebih strategis. Media utama juga memihak hasil pemilu resmi versi KPU.

People power itu ibarat bunga yang tumbuh dalam musim tertentu karena terpenuhinya syarat tertentu. Apa daya di tahun 2019, musim itu tak kunjung datang.

Yang mungkin terjadi hanyalah gejolak aksi damai saja. Ia tak akan mengubah hasil pemilu. Tapi melalui waktu, gejolak aksi damai itupun membuat bosan pelakunya sendiri. Ataupun kekuatan logistik tak lagi bisa menunjang aksi damai yang panjang.

Jika gejolak aksi massa menempuh jalur kekerasan, bisa dipastikan pentolannya akan masuk penjara. TNI/Polri terlalu kuat untuk dilawan. Bukan karena TNI/POLRI punya pasukan dan senjata. Mereka juga didukung oleh media dan civil society yang melawan politik kekerasan.

**

Lalu apa yang harus dilakukan? Jika semua manuver kubu Prabowo hanya menunda kekalahan, what next??

Jika memang yakin ada kecurangan pemilu, kubu Prabowo sebaiknya menyiapkan bukti yang cukup. Ajukan kasus kecurangan kepada Mahkamah Konstitusi. Jika bukti sangat kuat, semua mata dan hati akan melihat dan terbuka.

Yang jauh lebih dikenang, yang akan positif bagi konsolidasi demokrasi, Prabowo selaku pihak yang kalah menerima kekalahannya. Lalu menyerukan pengikut untuk mendukung presiden terpilih. Jika ini ditempuh, Prabowo dan Gerindra sudah berinventasi politik yang niscaya akan berbuah.

Namun jika tak mau mengakui kekalahan, tak mau pula menempuh jalur MK, hanya ingin aksi protes jalanan, bagaimana? Jika itu yang dipilih, ada baiknya kita nikmati saja puisi Chairil Anwar itu:

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Hidup hanya menunda kekalahan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Sengaja saya tak tampilkan semua bait puisi Chairil Anwar. Saya hanya menekankan soal “hanya menunda kekalahan.” Dan “sebelum akhirnya menyerah.”)

***