Ulama di Antara Hawa Surga dan Neraka di Indonesia

Para ulama tersebut pun bersepakat bahwa kegiatan Multaqo itu akan dilakukan secara terus menerus untuk mengawal implementasi kesepakatan yang sudah dibuat.

Sabtu, 11 Mei 2019 | 22:14 WIB
0
561
Ulama di Antara Hawa Surga dan Neraka di Indonesia
Para ulama yang berusaha menentramkan Indonesia lewat Multaqo Ulama di awal Mei 2019 - Foto: Suara.com

Belakangan, cerita tentang ulama semakin memenuhi linimasa media sosial dan berbagai ruang berita. Ironisnya, ulama belakangan bukan tenar lantaran pekerjaan memperbaiki umat Islam, namun cenderung berkelindan di pusaran yang tidak jauh-jauh dari politik.

Sebenarnya, kalau mau objektif, saat ulama semakin tenar dan semakin banyak dibincangkan, semestinya memang jauh lebih baik. Terlebih jika meyakini bahwa ulama adalah sekelompok orang yang memang benar-benar memahami Yang Mahabaik, dan dari mereka melahirkan inspirasi-inspirasi supaya pengikut mereka dapat menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik.

Persoalannya justru adanya realitas yang bertabrakan atau bertolak belakang dari keniscayaan ideal tersebut. Mereka yang rajin memamerkan dirinya sebagai kalangan ulama, justru acap tampil dengan hawa kemarahan dan keinginan jadi bagian kekuasaan secara beramai-ramai, lalu menabuh gendang yang tidak enak terdengar di kuping umat.

Alih-alih membawa keteduhan, mereka yang terlihat semakin rajin melabeli diri sebagai ulama, justru membawa hawa panas. Sementara hawa panas, jika mengaitkan dengan pemahaman agama, identik dengan hawa neraka. Saat di mana ulama semestinya dapat membawa hawa surga yang tenang, teduh, sejuk, dan menggembirakan, namun sekelompok orang yang mengaku-aku sebagai ulama justru menebar ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, dan was-was. 

Kontras. Kontradiktif!

Beruntung, di tengah kegandrungan sementara kalangan tampil dengan citra bak ulama tanpa kemampuan membawa ruh selayaknya pemuka agama, muncul ulama-ulama lainnya yang selama ini terkenal gigih merawat keindonesiaan.

Multaqo Ulama pada Jumat (3/5/2019) adalah obat bagi umat, bagi rakyat. Sebab di sanalah berkumpulnya ulama, habaib, dan cendekiawan Islam yang mumpuni dalam keilmuwan Islam. 

Tampaknya, memanasnya suhu politik dan semakin panas oleh segelintir kalangan yang juga mengklaim diri sebagai ulama, turut jadi perhatian serius kalangan ulama dan habaib yang selama ini jarang tampil di depan media. Maka itu Multaqo Ulama tersebut berlangsung hingga melahirkan 8 (delapan) poin yang menjadi kesepakatan para ulama yang menginginkan pesta demokrasi, Pemilu (Pilpres dan Pileg), tetap dapat melahirkan harapan baik dan realitas lebih baik.

Mengintip kedelapan poin kesepakatan yang jadi maklumat dari Multaqo Ulama tersebut, ada nilai-nilai yang mengembalikan harapan bahwa keislaman bukanlah ancaman. Keberagamaan dan keberagaman adalah dua hal yang saling menguatkan dan masih dapat dipertahankan.

Poin pertama, misalnya, berisikan penegasan bahwa NKRi adalah bentuk negara yang sesuai dengan Islam yang rahmatan lil alamin. Sesuai juga dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa.

Di poin kedua menekankan pada spirit Ramadan, dan para ulama mengajak untuk meningkatkan ukhuwah islamiah, menjalin silaturahmi, menghindari fitnah dan tindakan melawan hukum (inkonstitusional). Di sini cukup menegaskan, bahwa para ulama di Multaqo Ulama tersebut masih mendukung negara untuk tetap menegakkan hukumnya.

Selain, juga ada imbauan khusus agar umat Islam turut berperan memastikan terwujudnya stabilitas keamanan dan situasi kondusif--pada poin ketiga. Di samping, juga ada penegasan untuk menghindari provokasi pihak yang tak bertanggung jawab--di poin keempat.

Sementara di poin kelima, ada penegasan supaya umat Islam menaati segala aturan dan undang-undang di Indonesia. Sebab, itu dinilai sebagai pengejawantahan hubungan yang konstruktif, yang membangun. Sekaligus tetap menegaskan rasa hormat terhadap pemerintah yang sah, sebab itulah yang ditekankan dalam agama Islam.

Selain itu, umat Islam pun diimbau untuk tidak terpancing melakukan aksi-aksi yang melawan hukum, sebab sikap inkonstitusional adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran Islam. Poin keenam ini tentu saja lagi-lagi menjadi penegas bagaimana semangat keislaman ditransformasikan para ulama ini sebagai anasir peneguh atau penguat aturan dan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Begitu juga di poin ketujuh, ada dorongan kepada umat Islam supaya membangun pikiran dan tindakan yang berangkat dari nilai "fastabiqul khairat"atau semangat berlomba dalam kebaikan. Bahkan juga ada penekanan khusus agar teknologi dalam era big data bisa dimanfaatkan hanya untuk kebaikan: pengentasan kemiskinan, mengatasi ketimpangan, mengejar ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam pernyataan terakhir, para ulama tersebut pun bersepakat bahwa kegiatan Multaqo itu akan dilakukan secara terus menerus untuk mengawal implementasi kesepakatan yang sudah dibuat. Di samping, juga mengimbau supaya poin-poin dan spirit dari Multaqo tersebut dapat disebarkan kepada publik.

Tentu saja, semangat inilah yang semestinya lebih digaungkan, termasuk oleh berbagai media yang menginginkan agar semangat persatuan anak-anak bangsa di negeri ini tetap terjaga. Terlebih, mengutip KH Nasaruddin Umar, Indonesia memang sangat berharga dan mesti dijaga.

Sebab, menurut Kiai Nasaruddin, Indonesia adalah negara yang mampu mengundang iri banyak negara lainnya. "Kita bersyukur Indonesia tampil menjadi negara demokrasi," kata Imam Besar Masjid Istiqlal tersebut. "Banyak negara sekarang ini ingin seperti Indonesia, (namun) tidak bisa (mereka raih). Sebab nasib mereka ditentukan oleh segelintir darah biru."

Juga, Kiai Muwafiq pun mengajak merenung dengan melihat pada negara-negara luar yang justru hancur karena tidak mampu merawat persatuan.

"Di Arab, mereka yang satu bangsa saja terpecah-terpecah dan terbagi dalam berbagai negara--karena tidak mampu merawat persatuan. Sementara kita di sini, Indonesia bisa menyatukan berbagai bangsa dalam satu negara," katanya.

***