Prabowo mungkin berpikir, biarlah semasa kampanye ini ia berpura-pura bersekapat dengan agenda-agenda politik kelompok garis keras politik identitas.
"Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif ...." Demikian pesan SBY kepada para pimpinan Partai Demokrat untuk diteruskan kepada Prabowo Subianto.
Surat SBY kepada pemimpin Partai Demokrat terkait kampanye Prabowo-Subianto di Gelora Bung Karno, 7 April Itu, meski menggunakan diksi yang dipilih sedemikian rupa agar lembut tetaplah juga tak mampu menyembunyikan gundah hati SBY, bahkan sebenarnya amarah.
"Pemimpin yang mengedepankan identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal 'kawan dan lawan' untuk rakyatnya sendiri, hampir pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh."
Jika Prabowo menenangkan diri sebentar agar dapat memahami pesan SBY, Prabowo mungkin akan sadar betapa keras kalimat itu. Prabowo adalah pemimpin yang rapuh, "Bahkan sejak awal sebenarnya dia tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa."
SBY menyatakan masih berharap Prabowo, sebagaimana halnya Jokowi, bukanlah pemimpin yang demikian. Sayang, kampanye Prabowo di Gelora Bung Karno melunturkan harapan SBY.
SBY pantas untuk kecewa dan marah.
Ini bukan soal Prabowo lebih mendengarkan Rizieq Shihab yang pernah dipenjarakan semasa pemerintahan SBY. Bukan pula karena bisikan Amien Rais dan Sohibul Iman lebih mengena di telinga Prabowo. SBY tentu paham bahwa kata-kata Prabowo yang memujanya sebagai godfather, guru, mentor, senior itu hanyalah gelembung sabun untuk menyenangkan hati orang-orang Partai Demokrat. Inilah adalah soal pengkhianatan terhadap kesepakatan koalisi.
Benar. Ini soal pengkhianatan!
Ketika SBY dan Partai Demokrat pada Juli 2018 silam menerima permohonan Prabowo agar bergabung dalam koalisi campur aduk ideologi itu, salah satu syarat terpenting yang diajukan Partai Demokrat adalah mencegah hadirnya politik identitas dan SARA serta menghindari ekstremisme, radikalisme dan kekerasan terjadi."
Boleh dikatakan, mencegah kehadiran politik identitas adalah misi mulia SBY dan Partai Demokrat di dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga. Dengan bergabung ke dalam koalisi itu, SBY berharap Prabowo bisa diselamatkan dari pengaruh kelompok garis keras pedagang politik identitas.
Maka kampanye Prabowo-Sandiaga di GBK, 7 April 2019 adalah kenyataan yang menyakitkan hati. Peristiwa itu membuktikan SBY dan Partai Demokrat telah gagal menunaikan misinya. Keberadaan mereka di tengah-tengah koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga menjadi sia-sia. SBY dan Partai Demokrat hanya pelengkap, cuma pemanis koalisi, tak didengarkan aspirasinya, tak diindahkan prinsip-prinsip politiknya.
Baca juga "Ilmu yang Ingin Jomlo Timor Timba dari Jokowi."
Tetapi saya kira SBY pun harus belajar menimbang dengan adil. Ia perlu pula memahami kondisi Prabowo.
Ketika Partai Demokrat tidak menunjukkan upaya serius memenangkan Prabowo dengan alasan berkonsentrasi memenangkan Pemilu legislatif, Prabowo terpaksa memilih mendengarkan bisikan sekutu-sekutu yang lebih berdedikasi. Para sekutu yang lebih berdedikasi itu adalah kubu garis keras pengusung ideologi politik identitas.
Prabowo memang harus memilih. Ia mungkin seorang nasionalis, sebagaimana pengakuannya. Tetapi ia juga butuh kekuasaan. Ketika sebesar-besarnya kekuatan nasionalis dan religious-nasionalis lebih memilih mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, wajarlah jika Prabowo akhirnya berpaling kepada kubu garis keras politik identitas.
Prabowo mungkin berpikir, biarlah semasa kampanye ini ia berpura-pura bersekapat dengan agenda-agenda politik kelompok garis keras politik identitas. Toh nanti jika terpilh, ia bisa kembali memegang kendali dan meluruskan arah.
Sayangnya Prabowo abai terhadap kenyataan, dengan mengikuti bisikan para pedagang politik identitas, ia telah menanam saham bagi perpecahan bangsa ini. Yah, hasrat berkuasa membuat Prabowo berkompromi berlebihan hingga dirinya kini cuma alat, hanya boneka kekuatan politik pedagang sentimen identitas.
Prabowo memang tak akan memenangkan pilpres 2019 sebab mayoritas rakyat Indonesia masih menginginkan Indonesia yang inklusif, toleran, damai, dan penuh persaudaraan. Tetapi parade politik identitas dalam kampanye-kampanyenya kian menjauhkan prinsip "Indonesia untuk Semua" yang dikehendaki SBY dan Partai Demokrat dalam kehidupan rakyat sehari-hari, setidaknya bagi 30an persen pendukungnya. Sungguh investasi politik yang buruk.***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews