Syukurlah, di Kupang tak ada politisi aneh yang tega mempolitisasi agama hanya demi menghadirkan banyak massa dalam kampanye.
Senin (8/4) kemarin sebenarnya saya ingin sekali menghadiri kampanye terbuka capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin di Kupang. Jika jadi, itu akan jadi pengalaman hadir kampanye politik terbuka yang ketiga kalinya. Sekali pada 1997 (Kampanye PDI), sekali pada 2014 (Pilpres), dan jika jadi ya kemarin itu.
Saya memang jarang menghadiri kegiatan kampanye terbuka dalam konteks politik elektoral. Aneh memang. Padahal saya seorang politisi. Saya pernah menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu dan wakil ketua kepengurusan tingkat propinsi sebuah partai politik. Juga pernah menjadi calon anggota DPD RI pada usia 29 tahun dan meraih hampir 40 ribu suara dengan modal cekak (duit saya hanya 10 juta saat itu).
Sayangnya niat itu tak kesampaian. Saya sudah punya janji pertemuan dengan majikan yang memberi pekerjaan survei pasar tiga komoditi perkebunan di tiga kabupaten. Di luar pertemuan itu, saya harus mengawasi tukang yang bekerja memperbaiki beberapa hal kecil di rumah, plus menjemput anak dari sekolah.
Namun karena rasa penasaran yang menggebu-gebu untuk mencecap gairah massa menyambut Joko Widodo, saya mencuri sejam untuk mengamati kondisi lapangan. Maka sekitar pukul 11, saya meluncur ke Jalan Timor Raya, tempat lapangan Sitarda berada. Nanti Jokowi akan bicara di sana.
Istilah meluncur sebenarnya sama sekali tak tepat. Sekitar 5 kilometer ke Utara dan Selatan Jalan Timor Raya, ditarik dari Lapangan Sitarda sebagai poros, jalan raya sudah penuh jejalan kendaraan yang mengangkut orang berkaos aneka parpol pun kaos bergambar wajah Jokowi-Maruf Amin.
Penumpang motor dan mobil truk membawa serta banyak macam bendera parpol dan tim relawan. Jalan Timor Raya tiba-tiba berubah seperti jalan-jalan di Jakarta. Kendaraan merayap. Demikian pula di bahu jalan, orang-orang berkaos dukungan kepada Jokowi terus mengalir. Kelak media memberitakan, puluhan ribu orang membanjiri Lapangan Sitarda.
Syukurlah, di Kupang tak ada politisi aneh yang tega mempolitisasi agama hanya demi menghadirkan banyak massa dalam kampanye. Jika tidak, sudah tentu satu kelurahan Lasiana, tempat lapangan Sitarda berada, tak akan sanggup menampung massa.
Ruas jalan persis di depan Lapangan Sitarda sudah nyaris macet total. Padahal Jokowi belum lagi tiba. Beberapa orang politisi muda melambaikan tangan kepada saya. Saya mencari celah menepi. Mereka mendekat.
Kami bercakap-cakap sebentar. Salah seorang melempar gurauan bahwa kawan di sampingnya, caleg DPRD yang masih menjomlo berencana ajukan pertanyaan kepada Jokowi. "Apa kiat Bapak mendapat istri hebat?" Katanya ilmu itu penting sebagai bekal jadi bupati di kemudian hari.
Meski bergurau, para politisi muda yang saya jumpai kemarin itu mengungkapkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran first lady. Pembawaan diri first lady bisa membuat suami kian dicintai atau malah sebaliknya dibenci. Ini sudah jamak. Jangankan capres, seorang calon kades pun sering publik nilai dari perangai dan pembawaan diri suami/istrinya.
Di Amerika Serikat, begitu yang digambarkan media massa, peran first lady sangat penting dalam menyokong karir politik suami. Michelle Obama, misalnya, disebut-sebut sebagai senjata rahasia Obama.
Kadang-kadang, ketika popularitas suami jatuh di saat-saat akhir masa kepresidennya, first lady justru meninggalkan gedung putih dengan tingkat popularitas dan kecintaan lebih tinggi dibandingkan suami. Ketika meninggalkan gedung putih, tingkat kecintaan publik AS terhadap Michelle Obama 9 persen di atas raihan Obama sendiri. Begitu pula istri dua presiden ayah-anak Bush. Ketika dua Bush mengakhiri masa jabatan dengan kekecewaan publik yang tinggi, istri-istri mereka justru meraih simpati besar. Barbara Bush 85 persen, Laura Bush 73 persen.
Sejumlah first lady AS meraih simpati publik karena memiliki agenda sendiri, mempromosikan atau mengadvokasi kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat. Misalnya Betty Ford yang mempromosikan hak perempuan dan program rehabilitasi pecandu alkohol dan narkotika. Barbara Bush bergiat dalam gerakan literasi. Nancy Reagan berkampanye melawan perdagangan narkotika. Demikian pula Michelle Obama yang sangat peduli pada isu kebugaran dan nutrisi masyarakat.
Ada pula first lady seperti Lady Bird, istri Lyndon Johnson, saingan J.F.Kennedy yang menggantikan peran suaminya berkampanye dalam menggalang dukungan publik dalam pilpres.
Namun kata Kathryn Pearson, professor ilmu politik di Universitas Minnesota, umumnya first lady berperan "advocate for the policies of their husband without getting into the thick of the debate." Mereka tidak harus secara langsung minta rakyat mendukung suami atau terang-terangan mengomentari kebijakan-kebijakan publik pemerintahan suaminya.
Sepertinya first lady kita, Iriana Joko Widodo memainkan peran seperti yang terakhir ini.
First lady Iriana Joko Widodo memperkuat citra baik Presiden Jokowi dengan cara sederhana saja: menjadi diri sendiri, menjadi sejatinya Iriana Joko Widodo. Itulah yang dikatakannya pada 2014 silam saat mula-mula berperan sebagai ibu negara. Itu pula yang terus dipraktikkannya hingga saat ini.
Iriana yang diri sendiri itu, Iriana yang Iriana itu adalah kesederhanaan dan keramahan dan cair melebur sikapnya saat berjumpa rakyat.
Empat tahun lalu, Straits Times menulis tentang Iriana,
"While Mr Joko is affable as a high-profile official, a lively Ms Iriana has complemented her husband very well - at times even teasing him without hesitation in front of journalists who regularly covered Mr Joko's activities. Ms Iriana breaks into laughter easily and Mr Joko once said the couple often jest with one another."
Bukan cuma wartawan, ada begitu banyak orang biasa yang memberikan testimoni betapa bersahajanya si Ibu Negara.
Wawan Purnomo, pemilik Zalfa Leader pernah bercerita suatu ketika Ibu Iriana datang ke tempatnya membeli beberapa dompet kulit murah. Ibu Iriana datang tanpa pengawalan dan mengaku ibu rumah tangga dari Solo. Warganet Arvan Pradiansyah menulis testimony disertai foto pada akun twitternya ketika terharu berjumpa first lady Iriana Joko Widodo dalam penerbangan kelas ekonomi, berbaur layaknya warga negara biasa.
Ya! Iriana tak perlu menjadi politisi. Cukup berperan sebagai dirinya, apa adanya, ia sudah menyumbang bertambahnya kecintaan rakyat terhadap Joko Widodo. Dengan Iriana disamping Jokowi, saya kira banyak rakyat yang tentram hatinya sebab percaya ada orang yang selalu meneguhkan Jokowi untuk berpolitik dengan hati, dengan nurani, untuk selalu menjadi orang baik.
Andai tiada Iriana dalam kehidupan Jokowi, mungkin presiden kita berubah menjadi seorang pemarah, kejam, dan dingin. Begitulah seringnya pandangan awam. Jika kita bercerita tentang orang dewasa pemarah yang kebetulan belum menikah, mereka akan komentari, mungkin karena perawan tua, mungkin karena kelamaan menduda.
Masyarakat memang sering tak adil ketika mengeneralisir pengamatan empirik mereka. Seolah-olah sudah pembawaan orang yang kelamaan tanpa pasangan hidup itu seorang pemarah dan pembenci.
Kalau dicocok-cocokan memang sering kali cocok juga sih. Misalnya, saya pernah baca kertas kerja Aubrey Immelman and Joseph V. Trenzeluk dari Unit for the Study of Personality in Politics di Department of Psychology Saint John's University. Judulnya "The Political Personality of Russian Federation President Vladimir Putin."
Diulas di sana, kepribadian Putin adalah expansionist hostile enforcer. Salah satu ciri orang dengan kepribadian seperti ini dalam politik adalah tidak segan menjadikan musuh sebagai kambing hitam dan retorika mereka penuh nada permusuhan.
Nah, jangan-jangan Putin berkepribadian demikian karena kelamaan menduda? Putin bercerai dengan Lyudmila sejak 2013. Berarti sekarang masuk 6 tahun ia menduda.
Jika benar Putin memiliki karakter expansionist hostile enforcer karena kelamaan menduda, bagaimana dengan politisi yang menduda hingga 20 tahun lebih? Mungkin dilempari senyum oleh diplomat asing pun bisa bikin si duda naik pitam.
Yah, tetapi setahu saya belum ada riset yang membuktikan hubungan sifat pemarah, suka bermusuhan dan mengkambinghitamkan lawan dengan lamanya masa menduda seorang politisi. Yang jelas, dugaan yang bisa diterima nalar adalah berpolitik itu berat, dan karenanya butuh seorang pendamping yang bisa diajak curhat di penghujung malam, sambil rebahan tentunya.
Jokowi punya Iriana yang senang hati sediakan bahu, telinga, dan hati saat selesai salat malam dan hendak tidur, Jokowi katakan "Papa lelah."
Eh iya, mohon jangan salah menyangka Prabowo tidak layak jadi presiden karena tak punya first lady lho. Bisa saja andai Prabowo jadi presiden, istilah first lady diganti misalnya dengan "top ten boys." Anggotanya boleh Fadli Zon sebagai first boy; Faldo sebagai second boy; dan seterusnya hingga sepuluh---coba Om Tante masukan nama third boy hingga tenth. Wajar-wajar saja bukan?
Tetapi harus pula diakui, berat membayangkan di ujung malam, usai berdoa kepada Tuhan, mengucap syukur kepada Allah Bapa di Surga, Prabowo menoleh kepada Fadli, Faldo, dan beragam F lainnya, lalu berkata lirih, "Papa lelah." Merinding membayangkan itu dan tak perlu membayangkan macam-macam begitu.
Nah, begitulah. Jadi masuk akal jika seperti politisi muda jomblo di Kupang yang ingin bertanya kepada Jokowi, apa kiat-kiat mendapat istri keren yang suportif dirinya sebagai orang baik dan presiden hebat, anda-anda pun tanyakan hal serupa. Siapa tahu resep dari Jokowi jadi modal Anda menang pemilihan Ketua Rukun Warga. Ingat, knowledge is power, wife is love, both are electability, and only having half is nyungsep!
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews