Sungguh, Prabowo Tidak Layak Jadi Presiden Indonesia

Selama berperan sebagai oposisi, pendukung Prabowo gencar melakukan kampanye hitam yang mendiskreditkan pemerintahan dan sosok pribadi Jokowi.

Rabu, 3 April 2019 | 23:10 WIB
0
986
Sungguh, Prabowo Tidak Layak Jadi Presiden Indonesia
sumber gambar : detiknews.com

Debat keempat Pilpres 2019 telah menyuguhkan sebuah penampilan dua kandidat presiden yang mencengangkan rakyat Indonesia.  Debat itu meninggalkan kesan mendalam sekaligus sangat krusial bagi rakyat pemilik hak suara untuk mengambil keputusan memilih presiden. Terlebih, debat tersebut berlangsung  mendekati hari H pencoblosan di bilik suara.

Khusus untuk Prabowo ada catatan penting yang tak akan dilupakan para penonton yang calon pemilih. Pertama, pernyataan Prabowo tentang dirinya Pancasilais yang lahir dari keluarga Kristiani.

Prabowo menyatakan diri Pancasilas, lebih TNI daripada TNI, berperang mempertaruhkan nyawa sejak usia 18 tahun. Di panggung debat itu, mumpung disaksikan rakyat seluruh Indonesia,  nampaknya Prabowo ingin cuci tangan atau mandi bersih setelah "berkubang lumpur".

Hal ini terkait kedekatan kelompok politiknya dengan kelompok HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan sejumlah ormas radikal yang seringkali menampilkan diri sangat menakutkan sebagian besar rakyat Indonesia yang cinta kedamaian dan keanekaragaman nusantara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selama berperan sebagai oposisi pada era pemerintahan Jokowi, khususnya menjelang masa Pilpres dimulai, para kelompok pendukung Prabowo gencar melakukan strategi kampanye hitam yang mendiskreditkan pemerintahan Jokowi dan sosok pribadi Jokowi.

Para pendukungnya dari organisasi radikal keislaman dengan bebas berkoar-koar mengagendakan negara khilafah dan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Mereka bahkan memiliki agenda mengganti Pancasila dan mendirikan Khilafah di Indonesia. Kelak Indonesia menjadi Khilafah internasional.  

Ketika pemerintah secara resmi membubarkan HTI, para elit politik pendukung Prabowo justru membela HTI  dan mengakomodir HTI di Indonesia. Ini dilakukan Prabowo dan para elit politiknya  untuk meraih simpati masyarakat yang tergabung dalam HTI.  

Selama dinamika pembahasan atau kegaduhan soal HTI, tidak ada pernyataan penting Prabowo yang bisa dijadikan rujukan para pengikutnya bahwa dia Pancasilais dan menentang kelompok anti Pancasila.

Tidak ada pernyataan dan upaya Prabowo meredam atau menghentikan kelompok pendukungnya tersebut.  Kalau Prabowo memang Pancasilais, harusnya dia sejak awal menentang keberadaan HTI dan tidak merangkul mereka demi perpolitikan dirinya menuju Pilpres 2109.

Dalam kegaduhan demi kegaduhan itu, Prabowo seolah melakukan pembiaran, menikmati euforia anti Pancasila demi meraih dukungan politik dan Pilpres 2019. Sehingga, seperti yang dikatakan mantan kepala BIN Jenderal (purn) Prof. Dr. Hedropriyono, Pilpres kali ini telah menjadi pertarungan ideologi Pancasila versus Khilafah.

Sementara di sisi lain, hal itu menimbulkan keresahan dan ketakutan pada masyarakat luas.  Bisa jadi Prabowo tidak memiliki nyali, atau tidak memiliki kemampuan mengatur, menolak dan  menghentikan cara-cara kelompok pendukungnya yang melakukan tindakan anti Pancasila. Kelompok yang mengagendakan negara Khilafah, melakukan fitnah dan kebohongan publik secara masif di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pernyataan dirinya yang sangat Pancasilais dan lebih TNI dari TNI dalam debat capres menunjukkan kemunafikan Prabowo dalam politik. Di mulut bicara Pancasilais, namun tindakan para elemen politiknya justru bertentangan dengan semangat Pancasila. Dan seorang Prabowo tidak melakukan apa-apa terhadap mereka yang berada di internal politisnya.

Kedua, pemahaman Prabowo soal eksistensi diplomasi luar negeri terlalu pragmatis dan dangkal. Dia tampak memandang kecil fungsi diplomasi luar negeri dan peran para diplomat sebagai bagian upaya pertahanan-keamanan negara, serta  peran memperkuat eksistensi Indonesia di blantika politik internasional.

Tersurat dan tersirat Prabowo menganggap para diplomat layaknya "nice guys" yang "cuma bisa tersenyum basa basi internasional", memberi-menerima pujian sementara di lain kesempatan  ditikam dari belakang. Dan, negara kita ditertawakan oleh pihak  luar negeri.

Ketiga, pemikiran Prabawo soal anggaran pertahanan yang rendah, jumlah armada dana kelengkapan perang minim sehingga membuat pertahanan negara Indonesia sangat lemah, sangat riskan dikuasai atau diserang negara lain.

Pemikiran Prabowo tersebut hanya terpaku pada alat perang yang bersifat hardware, sementara sistem teknologi pertahanan Indonesia saat ini tidak main-main dalam mengamankan wilayah negara  kita. Bahkan kekuatan militer kita termasuk terkuat nomor 1 di negara ASEAN dan nomor 15 di dunia.  

TNI yang sekarang sudah sangat update pada teknologi. TNI yang sekarang bukan lagi TNI yang dulu serba minim SDM dan peralatan. Sebagai mantan jenderal, Prabowo tidak update perkembangan TNI, teknologi kemiliteran, serta sistem pertahanan semesta NKRI saat ini.  

Ketiga, Prabowo marah dipanggung debat. Ini sangat memalukan bagi seorang pemimpin saat berada di depan publik. Kemarahan itu menunjukkan Prabowo labil dan mudah terpancing emosinya.

Bagaimana bila jadi Presiden saat memimpin pemerintahan? Dalam tekanan pekerjaan dan diplomasi penting, dia akan mudah dipermainkan pemimpin dan para diplomat luar negeri yang pintar ber-strategi.  

Bisa-bisa keputusan Prabowo blunder, yang merugikan bangsa dan negara Indonesia. Belum lagi emosi itu bepotensi mengganggu terciptanya iklim kerja kondusif dalam tim pemerintahan. Dalam hal ini, Prabowo belum selesai dengan dirinya sendiri.

Keempat, retorika basi yang selalu diucapkan namun tidak menyentuh substansi dan konsep detail pemecahan masalah. Dalam setiap debat, dia selalu katakan tentang "kesejahteraan rakyat". Semua pemimpin kalau didepan publik akan bicara "kesejahteraan rakyat" diikuti langkah sesuai tema. Namun Parbowo hanya terhenti sampai pada retorika semata. Seolah gelegar suaranya yang keras sudah menjawab permasalahan.  

Antara kemunafikan politik Prabowo, ketidakmampuan dia mengendalikan elemen dan elit politiknya, perkara emosi diri, serta cara pandang pada diplomasi, teknologi masa kini dan masa depan, serta jebakan retorika demi retorika klise memunculkan tanda tanya besar soal kemampuan seorang Prabowo jadi pemimpin negara dan bangsa Indonesia.  

Indonesia merupakan negara dan bangsa yang besar dalam jumlah penduduk, sumber kekayaan alam, keragaman latarbelakang budaya, agama, tradisi dan lain sebagainya.  

Untuk memimpin bangsa dan negara sebesar ini membutuhkan pemimpin yang kuat, berani bertindak, Pancasilais yang seia sekata dengan perbuatan politik, punya kemampuan menjaga emosi  di depan publik--saat dalam tekanan, memiliki visi pertahanan negara yang modern sesuai jaman, dan tidak terjebak dalam pada retorika.

Secara kriteria administratif ; sebagai ketua partai besar, punya dukungan partai politik dan lain sebagainya Prabowo memang pantas jadi calon presiden. Namun begitu, Prabowo tidak layak menjadi presiden Indonesia.   Negara Indonesia beresiko mengalami kemunduran bila dipimpin seorang Prabowo.   

Salam pemilu damai.

***

Baca juga : Kepada Golputers, Gunakan Hak Suara Anda untuk Saudara Kita di Pelosok Negeri!