Jangan Mengkafirkan Calon Tunggal dan Menganggapnya Tak Demokratis

Senin, 10 Desember 2018 | 06:14 WIB
0
294
Jangan Mengkafirkan Calon Tunggal dan Menganggapnya Tak Demokratis
As Sisi dan

Pada tanggal 2 April 2018, Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi terpilih untuk kedua kalinya menjadi presiden. Ia memperoleh kurang lebih 97% suara dan mengalahkan rival atau sahabatnya sendiri, yaitu Moussa Mostafa Moussa yang hanya mendapat 3% suara.

Tingkat pastisipasi masyarakat 41% dari 60 juta daftar pemilih, 24 juta suara sah dan 2 juta suara tidak sah.

Sebelumnya partai-partai oposisi memboikot dan tidak mengirimkan calon presidennya, nyaris saja presiden Abdel Fattah Al-Sisi sebagai calon tunggal karena tidak ada yang mau mencalonkan sebagai presiden. 

Ia kemudian menurut aturan KPU Mesir tidak boleh ada calon tunggal dalam pemilihan presiden karena dianggap mencederai atau bertentangan dengan DEMOKRASI yang menuntut adanya pesaing dalam pilpres Mesir.

Akhirnya dimenit-menit akhir pendaftaran pilpres di Mesir, Moussa Mostafa Moussa sebagai ketua partai kecil atau gurem yang tak lain sahabat presiden Abdel Fattah Al-Sisi mencalonkan sebagai kandidat presiden sebagai syarat untuk memenuhi formalitas aturan yang di syaratkan oleh KPU Mesir. Padahal, jauh-jauh hari Moussa Mostafa mendukung presiden Sisi untuk menjadi calon presiden untuk kedua kalinya.

Majunya Moussa Mostafa Moussa sebagai calon presiden hanyalah formalitas saja dan ia tahu akan sedikit mendapatkan suara dan kalah telak. Ini namanya merekayasa Demokrasi.

Apakah kasus di atas mencerminkan DEMOKRASI Mesir sudah berjalan dengan baik dan DEMOKRATIS dengan menyuruh sahabat sendiri mencalonkan sebagai presiden untuk memenuhi syarat dalam pilpres ? Ini namanya DEMOKRASI SONTOLOYO atau GATHOLOCO! Demokrasi akal-akalan hanya mengakali aturan, yang penting memenuhi syarat formalitas.

Demokrasi menuntut adanya pesaing atau kompetiter, tidak boleh adanya calon tunggal. Karena kalau calon tunggal dianggap matinya DEMOKRASI atau tidak sehat untuk DEMOKRASI. Tetapi DEMOKRASI juga memperbolehkan cara-cara yang yang justru bertentangan dengan DEMOKRASI itu sendiri. Yaitu cara-cara akal-akalan. Yang penting syarat formalitas terpenuhi.

Nah,ini juga terjadi di negara kita Indonesia tercinta dalam PILKADES atau Pemilihan Kepala Desa atau kalau di kampung namanya Pilihan Lurah. Sekalipun secara adminitrasi istilah Lurah dipakai diperkotaan.

Dalam aturan pilihan Lurah di desa atau kampung tidak boleh ada calon tunggal. Dan harus ada pesaingnya atau lawannya. Karena dalam PILKADES atau pilihan Lurah tidak ada lawan KOTAK KOSONG seperti yang berlaku dalam PILKADA

Dalam aturan PILKADA kalau KOTAK KOSONG yang menang, maka yang menjabat adalah Pelaksana Tugas atau Plt. Tapi ini juga menyisakan masalah, biasanya yang namanya Plt itu sifatnya sementara dalam menjabat, misal sisa jabatan pejabat sebelumnya dalam hitungan bulan atau paling lama satu tahun. Lha ini Plt menjabat selama satu periode atau lima tahun. Sama saja pejabat definitif tanpa pemilihan PILKADA.

Kembali ke PILKADES atau pilihan Lurah di desa karena tidak ada lawan KOTAK KOSONG dan tidak ada Pelaksana Tugas atau Plt, maka wajib hukumnya dalam PILKADES tidak boleh ada calon tunggal dan harus ada atau mencari pesaing atau lawannya. Syarat formalitas harus terpenuhi dan tidak bisa ditawar.

Terus bagaimana dalam PILKADES atau Lurah kalau ada calon tunggal dan masyarakat tetap tidak mau mencalonkan? Tetap tidak bisa dan harus ada pesaing atau lawannya.

Tapi solusi bisa dicari. Bagaimana solusinya atau caranya?Yaa caranya dengan mengakali aturan atau syarat formalitas atau adminitrasi. Bisa jadi calon tunggal itu mencari orang lain untuk ikut maju dalam PILKADES dengan kompensasi materi atau menyuruh saudara sendiri untuk mendaftarkan diri sebagai calon Kepala Desa.

Nah ini terjadi di Desa Bukateja, Kecamatan Balapulang, KabupatenTegal.

Dalam PILKADES di desa Bukateja ini ada calon tunggal atau sebagai Petahana Kepala Desa atau Lurah, namanya Supendi. Awalnya tidak ada lawannya sebagai syarat minimal dua calon.

Dan mendekati 10 menit akhir pendaftaran sang Petahana atau Lurah Supendi menunjuk istrinya sendiri, yaitu Feni Arsiani sebagai calon Kepala Desa untuk menjadi pesaing suaminya sendiri. Hal ini dilakukan karena tidak ada yang mau mencalonkan sebagai Kepala Desa atau Lurah. Ini hanya formalitas saja atau pura-pura menjadi lawan suaminya sendiri.

Sang suami Supendi mendapat nomor urut 1 dan istrinya Feni Arsiani mendapat nomor urut dua. Kenapa tidak ada warga masyarakat yang mau mencalonkan diri sebagai Kepala Desa di Bukateja? Karena sebagain besar atau mayoritas masih menginginkan Kepala Desa Supendi untuk menjabat lagi. Dukungan masyarakat masih sangat kuat.

Tetapi ada alasan lainnya, kenapa sekarang warga masyarakat tidak tertarik seperti dulu untuk menjadi Kepala Desa atau Lurah? Padahal dulu kalau jadi Lurah itu status sosialnya terangkat,atau sangat dihormati. Dan biasanya kaya, karena dalam PILKADES juga ada bagi-bagi uang amplop atau money politic.

Alasannya yaitu jadi Kepala Desa sekarang tidak mendapat sawah BENGKOK atau sawah garapan seperti waktu dulu. Sawah BENGKOK itu sekarang dilelang kepada warga masyarakat yang ingin menggarapnya. Dan uang lelang masuk sebagai masukan atau pendapatan Kas Kelurahan.

Dulu kalau menjadi Kepala Desa atau Lurah banyak mendapat tanah atau sawah garapan (BENGKOK). Kalau sekarang hanya memperoleh gaji yang kecil, makanya banyak Kepala Desa menuntut diangkat sebagai PNS.

Kembali ke masalah calon tunggal. Seharusnya demokrasi juga tidak menutup mata, kalau ternyata ada fakta-fakta calon tunggal harusnya diakomodir. Selama calon tunggal itu tidak di design atau menyingkirkan calon-calon yang lain untuk mundur atau mengalah dengan mendapat kompensasi materi.

Karena kalau calon tunggal tidak diakomodir dalam PILKADES maka cara-cara yang mengali aturan atau syarat formalitas pasti akan terjadi dan dilakukan. Apakah ini yang dinamakan DEMOKRASI SONTOLOYO? Demokrasi yang menuntut syarat formalitas atau adminitrasi tetapi mengabaikan fakta-fakta di lapangan.

Mungkin hanya terjadi di Indonesia, suami-istri maju dalam PILKADES bukan untuk bersaing, tetapi justru membantu suaminya supaya bisa menjadi Kepala Desa lagi atau Lurah. Hanya demi syarat adminitrasi atau memenuhi aturan.

Apakah calon tunggal dalam PILKADES atau PILKADA adalah suatu aib atau bertentangan bagi DEMOKRASI? Selama calon tunggal itu benar-benar keinginan masyarakat dan berdasarkan keadaan fakta di masyarakat, bukan suatu rekaya atau by design harusnya juga diakomodir. Kecuali, calon tunggal itu direkaya dengan menyuruh pesaing untuk mundur atau tidak mencalonkan, nah itu baru cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi.

Justru terkadang cara-cara yang dianggap demokratis dengan hanya mengandalkan syarat formalitas, malah bisa menimbulkan KORUPSI.

Contohnya dalam kasus-kasu korupsi yang ditangani oleh KPK. Dalam suatu aturan TENDER PROYEK, syarat formalitas adalah minimal tiga pesaing atau tiga perusahaan yang berbeda. Kalau peserta TENDER kurang dari tiga, maka TENDER ditunda atau diulang kembali sampai memenuhi syarat minimal tiga peserta TENDER.

Bagaimana cara mensiasati aturan TENDER tersebut? Yaitu dengan cara meminjam bendera perusahaan lain sebagai syarat formalitas tender, dan biasanya akan mendapatkan fee sebagai imbalan. Atau membuat perusahaan fiktif supaya syarat minimal peserta tender terpenuhi. Padahal pemenang TENDER sudah ditentukan atau diketahui, dua peserta lainnya hanyalah boneka saja. Cara-cara kotor ini jamak dilakukan dalam TENDER dan sering merugikan negara.

Dalam pilpres calon tunggal tidak diakomodir dan mengikuti aturan seperti dalam pilkada, negara bisa bubar atau terjadi kekosongan konstitusi. Lho kok bisa? Misalnya dalam pilpres sekarang hanya ada calon tunggal PETAHANA melawan KOTAK KOSONG dan yang menang ternyata KOTAK KOSONG. Akan terjadi kekosongan kekuasaan dan ini rawan akan terjadi kekacauan. Tidak mungkin ada Pelaksana Tugas atau Plt untuk menjalankan tugas-tugas seorang presiden atau kepala negara.

Untuk itu janganlah mengkafirkan calon tunggal dan menganggap bertentangan dengan DEMOKRASI, justru kalau ada calon tunggal melawan kotak kosong, menurut opini pribadi ini cara-cara tradisional. Sekalipun sesuai aturan atau undang-undang itu dibenarkan. Masak iya kalau kotak kosong yang menang,maka Plt menjabat selama lima tahun atau satu periode.

Sifat jabatan Plt itu hanya sementara, bukan satu periode. Kalau begitu, kenapa calon tunggal itu tidak langsung ditetapkan saja sebagai kepala daerah? Tentu harus merevisi undang-undang terlenih dahulu. Irit dan efisien. Tidak banyak ongkos.

"Deso mowo coro, Negoro mowo toto" yang artinya "Setiap Desa mempunyai cara/adat setiap Negara memiliki pranata /hukum), demikian pepatah peninggalan para leluhur yang masih berkembang di pedesaan.

***