Selama ini, masyarakat di Indonesia kerapkali mudah diadu domba dengan dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai dua pendapat antara bendera tauhid dan bendera Hizbut Tahrir (yang kebetulan bertuliskan kalimat tauhid). Adu domba yang diindikasikan untuk kepentingan politik tertentu ini memang sangat meresahkan.
Hal ini dibuktikan ketika adanya silang pendapat di masyarakat, mengenai kasus pembakaran bendera di acara Hari Santri Nasional di Kabupaten Garut 22 Oktober lalu. Bagi Banser NU, bendera yang dibakar itu adalah bendera ormas HTI yang telah dilarang keberadaannya di Indonesia, sedangkan kelompok masyarakat lainnya mengatakan bahwa itu bendera tauhid.
Soal mana yang benar dari kedua pendapat itu, kita tak akan bisa menemukan titik temunya, karena kedua belah pihak saling berpegang teguh dengan tafsirnya masing-masing.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, pada dasarnya begitu mudah dipicu emosinya dengan sesuatu yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Karena itu, aksi pembakaran bendera yang terjadi di Garut, hawa panasnya juga berhembus ke Jakarta, yaitu dengan digelarnya demonstrasi pada 2 November 2018 lalu, yang dikenal dengan aksi 211.
Bahkan, dari Arab Saudi, HRS menyerukan para pendukungnya di Tanah Air agar memasang kalimat tauhid menyusul aksi pembakaran bendera HTI di Garut. Seruan ini ditujukan kepada anggota dan simpatisan FPI serta alumni 212. Rizieq meminta agar bendera tersebut dipasang di rumah, posko, hingga tempat kerja. HRS juga meminta FPI memasang kalimat tauhid di akun media sosial.
Namun, kejadian di Arab Saudi yang menimpa imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS), tentunya bagi kita yang berada di Tanah Air bisa mencermatinya dengan baik. Pasalnya, akibat adanya poster atau gambar bertuliskan kalimat tauhid yang menempel di dinding kediaman HRS di Mekkah, membuat pihak kepolisian setempat memeriksa HRS selama 28 jam.
Pihak kepolisian Arab Saudi menilai gambar atau poster tersebut dianggap mirip dengan simbol atau bendera kelompok ekstremis yang memang dilarang di Arab Saudi.
HRS sendiri menyangkal tuduhan bahwa dirinya yang memasang poster tersebut, karena dirinya mematuhi aturan hukum yang berlaku di Tanah Arab itu. Namun, sangat disayangkan, justru HRS menyerukan pemasangan simbol atau bendera di Tanah Airnya sendiri, yang juga memiliki aturan hukum untuk melarangnya.
Dari peristiwa pemeriksaan HRS oleh pihak Kepolisian Arab Saudi selama 28 jam itu, kita bisa menyimpulkan bahwa bendera yang selama ini diyakini sebagai bendera tauhid, bukanlah bendera tauhid seperti yang digunakan Rasulullah SAW dahulu.
Tidak berbeda dengan pernyataan otoritas keamanan Arab Saudi, bahwa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid itu adalah bendera kelompok ekstremis yang dilarang di Arab Saudi. Begitu pula, bendera yang sama yang di Indonesia digunakan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia yang juga dilarang keberadaannya di negara ini.
Lantas, masihkah kita mengakui bahwa bendera itu adalah bendera tauhid. Padahal, bendera yang sama juga digunakan ISIS atau Hizbut Tahrir. Bagi ISSI atau Hizbut Tahrir, keberadaannya di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim juga dilarang eksistensinya.
Kalau begitu, masihkah umat Islam di Indonesia ini begitu mudahnya diprovokasi dan dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu? Semoga tidak!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews