Jangan hanya puas puja-puji dari orang-orang di sekitarnya. Pilih secara benar orang-orang yang akan dijadikan andalan untuk membuat dirinya memenuhi persyaratan sebagai calon Presiden.
Terus terang saya sedih melihat cara berpolitik yang dimainkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, yang akrab disapa AHY. Sebetulnya, saya berharap banyak pada Agus Harimurti. Itu sebabnya, 24 Desember 2020, saya membuat artikel, yang pada intinya meminta dia membangun pribadi sendiri, dan jangan hanya mengekor ayahnya.
Namun, melihat caranya menyelesaikan masalah intenal partainya, saya menganggap ia perlu melakukan introspeksi dan menata dirinya secara lebih baik. Apalagi jika benar-benar ingin maju sebagai calon Presiden 2024-2029.
Pada tanggal 1 Februari 2021, AHY menggelar konferensi pers, dan mengungkapkan dugaan adanya kudeta atau pengambilalihan kepemimpinan partainya. Dalam kesempatan itu,
AHY menyebut, gerakan itu dilakukan oleh lima orang. Satu kader aktif, satu kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, satu mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena korupsi, dan satu kader yang keluar sejak 3 tahun lalu.
Sementara, orang kelima bukan dari Partai Demokrat dan merupakan seorang pejabat penting di pemerintahan Presiden Joko Widodo, akrab disebut Jokowi. Ia bahkan menambahkan, telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Jokowi sebagai upaya konfirmasi dan klarifikasi atas permasalahan tersebut.
Kudeta di Partai Demokrat—kalaupun itu mau dikatakan kudeta— itu adalah masalah internal Partai Demokrat. Walaupun melibatkan orang luar, itu tidak menjadikan apa yang disebutkan kudeta itu menjadi masalah eksternal. Secara organisasi, yang seharusnya dilakukan AHY adalah memeriksa satu kader aktif yang ikut dalam pertemuan yang disebut sebagai kudeta, dan menanyakan motifnya.
Baca Juga: AHY versus Moeldoko di Antara Isu Kudeta dan Pandemi
Seharusnya sebagai pemimpin Partai Demokrat, AHY tidak perlu khawatir karena dari lima orang yang disebutnya melakukan gerakan, hanya satu yang kader aktif. Sisanya, satu kader tidak aktif, satu kader sudah diberhentikan, satu kader sudah keluar, dan satu orang lagi orang luar. Apa yang dapat secara efektif dilakukan oleh ”orang-orang” itu terhadap Partai Demokrat.
Sebagai orang yang pernah memimpin pasukan, sesungguhnya tidak sulit bagi dia untuk menertibkan organisasinya, dalam hal ini Partai Demokrat. Mungkin tidak semudah memimpin pasukan, tetapi ia pasti bisa mengendalikan Partai Demokrat, mengingat ia dipilih sebagai ketua umum secara aklamasi.
Apa motif di balik konferensi pers AHY
Namun, alih-alih menganggap itu sebagai masalah internal, AHY menjadikan itu sebagai masalah eksternal. Pertama, ia menggelar konferensi pers, dan kedua, meminta konfirmasi ke Presiden Jokowi. Ada dua hal yang dapat dianggap sebagai motif yang melatarbelakangi tindakan AHY itu.
Pertama, ia termakan teori konspirasi, yang melihat kemungkinan (ancaman) berdasarkan asumsi siapa-siapa saja yang memiliki potensi terbesar. Dan, kalau ia termakan oleh teori konspirasi, itu hanya menunjukkan bahwa ia belum matang sebagai seorang pemimpin partai. Dan, kedua, ia ingin memainkan strategi playing victim, seperti yang berulang kali dimainkan ayahnya.
Perlu diingat bahwa strategi playing victim hanya dapat dimainkan pada saat yang tepat, dan juga tidak boleh dimainkan terlalu sering. Sebab, kalau terlalu sering dimainkan, orang akhirnya tidak tertarik lagi. Persis seperti orang yang berulang kali berpura-pura berteriak minta tolong karena ada serigala yang menyerang dirinya untuk ”mengerjai” teman-temannya. Ketika pada suatu saat ia benar-benar diserang serigala, dan berteriak minta tolong, teman-temannya tidak ada yang peduli lagi.
Dalam politik itu ada victim dan ada playing victim. Yang disebut victim itu adalah orang benar-benar menjadi victim, seperti yang dialami Ketua PDIP Megawati Soekarnoputri pada masa akhir Orde Baru. Sementara playing victim, orang yang berbuat seolah-olah ia adalah victim, seperti yang dijalankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri.
Adalah kenyataan bahwa orang cenderung bersimpati pada orang yang lemah (underdog). Itu sebabnya, ketika Orde Baru tumbang dan diadakan pemilihan umum, untuk pertama kali Golkar kalah. PDIP meraih suara terbanyak.
Akan tetapi, Megawati Soekarnoputri yang menjadi ketua partai yang memenangkan pemilu tidak berhasil menjadi Presiden karena dijegal oleh kelompok yang menamakan diri Poros Tengah. Akhirnya, Abdurahman Wahid yang menjadi Presiden, dan Megawati Soekarnoputri hanya menjadi Wakil Presiden. Megawati baru menjadi Presiden setelah Abdurahman Wahid dipaksa mundur oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam Pemilihan Presiden 2004, sentimen anti Megawati Soekarnoputri itu dimanfaatkan dengan baik oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggunakan strategi playing victim. Sayangnya strategi itu terlalu sering dimainkan oleh SBY, walaupun ia telah menjadi Presiden.
Itu sebabnya, sangat disayangkan jika AHY secara sengaja memainkan persoalan internal partai sebagai strategi playing victim. Pada saat ini, strategi itu tidak ada gunanya. Oleh karena Jokowi sebagai Presiden pada tahun 2024 tidak dapat dipilih lagi. Dan, Jokowi pun adalah calon yang diajukan oleh PDIP sehingga dukungannya terhadap Moeldoko—kalaupun itu ada—, tidak ada gunanya.
Jika ingin mencalonkan diri sebagai Presiden 2024-2029, ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang dilakukan oleh AHY. Kegagalannya dalam pencalonan sebagai Gubernur DKI Jakarta seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi AHY untuk dapat sungguh-sungguh mengukur peluangnya di pemilihan Presiden pada tahun 2024.
Jangan hanya puas dengan puja-puji dari orang-orang di sekitarnya. Pilih secara benar orang-orang yang akan dijadikan andalan untuk membuat dirinya memenuhi persyaratan sebagai calon Presiden. Waktu tiga tahun itu tidaklah lama, mengingat PR-nya masih amat sangat banyak.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews