“Promosikan” Vaksin Sinovac, Ada Apa dengan Dokter Saifuddin Hakim?

Di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itu pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi!

Jumat, 14 Agustus 2020 | 20:34 WIB
0
300
“Promosikan” Vaksin Sinovac, Ada Apa dengan Dokter Saifuddin Hakim?
Seorang warga Kabupaten Pasuruan menanggapi status Muhammad Saifuddin Hakim di kolom komentar Facebook. (Foto: Istimewa)

Setidaknya, ada dua kali status di Facebook atas nama Muhammad Saifuddin Hakim, dokter dan peneliti di Universitas Gadjah Mada-UGM Jogjakarta melakukan “pelecehan intelektual” terhadap Prof. Sukardi alias Ainul Fatah, ahli mikrokultur bakteriologi.

Gelar Profesor di depan nama AF diragukan: Profesor. Gelar apa ini? Profesor adalah gelar yang TIDAK didapat dari mengikuti perkuliahan. Gelar profesor DIBERIKAN OLEH suatu LEMBAGA, entah itu universitas, institut atau lembaga penelitian, misalnya LIPI.

Gelar Prof di depan nama Ainul Fatah ini dari institusi mana? Tidak Jelas. Saya sendiri pernah melacak ke teman2 yang ada di LIPI untuk mengecek databse mereka, adakah nama ini? TIDAK ADA. Saya cek ke databse DIKTI, NIHIL.

Lanjut, klaim tentang enam ahli dunia. Penemu obat atau ramuan anti-covid-19. Well, kalau ini tidak perlu saya bahas panjang lebar, kalau track record penelitian saja tidak bisa dilacak, buat apa menanggapi klaim semacam ini.

Saya sendiri pernah didatangi bapak2 paruh baya di kantor menanyakan obat covid-19 bikinan Sukardi. Saya jelaskan apa adanya, dan alhamdulillah beliau mau nerima penjelasan saya. (Lega sekali saya ketika itu.)

KESIMPULAN: Gelar professor yang disematkan kepada Ainul Fatah alias Sukardi sangat diduga kuat adalah fiktif.

Nama dr. Muhammad Saifuddin Hakim, MSc, PhD menjadi viral sejak wawancara Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akkrab dipanggil Anji, dengan klaim Hadi Pranoto yang disebut dalam kanal Youtube-nya sebagai penemu Antibodi Covid-19.

Mengutip Kompas.com, Minggu (02/08/2020, 18:50 WIB), dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19.

Ia menyebutkan bahwa cairan Antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19. Cairan antibodi Covid-19 tersebut diklaim telah didistribusikan di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan.

Seingat saya, selama ini Prof AF tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Jangankan mengklaim penemu Antibodi Covid-19, menyebut dan menulis nama Prof AF saja, saya pernah “dilarang” langsung oleh Prof AF saat bertemu.

Sehingga, dalam menulis Formula Probiotik Siklus/Komunitas yang ditemukannya pun saya cuma tulis Formulator. Kalau pun sekarang ini saya menyebut namanya, karena sudah sangat terpaksa, apalagi nama Prof AF sudah dibawa-bawa oleh Mas Dokter Hakim.

Dalam status FB Mas Dokter Hakim yang di-share pada Rabu (12 Agustus pukul 14.00) saja masih menyindir dan “menyerang” Prof AF, meski tak menyebut namanya secara langsung. Coba simak isi statusnya dalam FB berikut:

Bandingkan dengan pihak2 yang mengaku "melakukan uji klinik obat/ramuan COVID-19" namun tidak jelas protokolnya bagaimana, sesuai standar etik ataukah tidak, siapa yang memonitor, kemudian "sok-sokan" tampil sebagai superhero dengan bilang:                                                                                                                                                                           

“Saya menemukan obat atau vaksin COVID-19” (!!!). Meski tidak menyebut nama, namun arahnya sudah jelas, yang dituju itu Prof AF! Padahal, dari jejak digital hanya Agung Suradi dan Hadi Pranoto yang pernah mengaku sebagai penemu “obat” Covid-19.

Humas Sinovac?

"Betulkah manusia dijadikan “kelinci percobaan” Vaksin Sinovac asal China, karena vaksin-nya tidak pernah diuji coba di hewan terlebih dahulu? Apakah fase pre-klinis dilewati demi “cepat-cepat” mendapatkan vaksin Covid-19?"

Itulah kalimat pembuka Mas Dokter Hakim dalam status FB-nya, Rabu (12/8/2020). Apakah kali ini dokter dan peneliti muda dari UGM itu sudah menjadi “humas” Vaksin Sinovac asal China itu? Hanya beliau yang tahu isi hatinya.

“Melalui postingan ini, sebelumnya kami memohon kepada pihak-pihak yang tidak paham bagaimana uji pre-klinis dan uji klinis vaksin dilakukan, untuk tidak berbicara sesuatu yang dia sendiri tidak paham ilmunya,” lanjutnya.

Menurutnya, sebagian pihak yang menghembuskan hoax bahwa Uji Klinis Fase III ini “terburu-buru karena vaksin-nya sendiri tidak pernah diuji coba ke hewan terlebih dahulu”.

“Ini Salah!!!” tegasnya. Kandidat vaksin Sinovac Sudah melewati uji pre-klinis secara in vivo dan penelitiannya sudah diterbitkan di jurnal terkemuka, Science. Berikut publikasi penelitiannya: https://science.sciencemag.org/content/369/6499/77

Di situ dijelaskan, bahwa kandidat vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac ini menunjukkan potensi imunogenisitas yang menjanjikan (promising) dan sudah diuji coba ke tikus dan non-human primate, yaitu di macaque (abaikan data yang rumit itu).

Hewan coba divaksinasi dengan strain SARS-CoV-2 asal China, kemudian dipajankan (di-challenge) dengan beberapa virus SARS-CoV-2 yang diisolasi dari berbagai negara (SARS-CoV-2 isolat dari China sendiri, Italia, UK, dan lain-lain).

(Catatan saya: dipajankan itu semacam diadu. Misalnya, tubuh hewan yang sudah diberikan vaksin X, lalu dimasuki virus  Covid-19. Isolat itu semacam virus atau calon vaksin yang sudah dibiakkan).

Hasilnya, menurut Mas Dokter Hakim, hewan-hewan yang sudah mendapatkan vaksinasi ini terproteksi ketika mereka dipajankan dengan virus SARS-CoV-2 sesungguhnya.

Pun, mereka sudah melalui Uji Klinik Fase I dan II, meskipun hasilnya belum terpublikasi. Akan tetapi, laporan Fase I dan II tersebut tentu sudah diterima Badan POM sebagai regulator pelaksanaan Semua uji klinis di Indonesia.

Menurutnya, Badan POM Tidak Akan mengeluarkan izin PUPK (Pengajuan Persyaratan Uji Klinik) kecuali jika persyaratan uji klinik fase III lengkap, termasuk laporan dari Uji Klinik Fase I dan II.

Selain itu, dalam pelaksanaan uji klinik, ada banyak pihak yang terlibat untuk memastikan keamanan subjek penelitian, bukan hanya tim peneliti, tetapi juga pihak-pihak di luar tim peneliti, yaitu:

1. Komite Etik Fakultas Kedokteran --> mereka akan mengeluarkan izin jika semua persyaratan etik terpenuhi.

2. DSMB (Drug Safety Monitoring Board) --> panel ahli independen yg menilai setiap laporan adverse events selama uji klinik berlangsung. Mereka Berhak sewaktu-waktu menghentikan uji klinik.

3. Badan POM sebagai regulator utama.

4. External monitor untuk memastikan pelaksanaan uji klinik sudah dijalankan sesuai prosedur yang standar [SOP harus dijalankan, semua peneliti harus sudah dilatih GCP (Good Clinical Practice) misalnya, dan seterusnya].

Bandingkan dengan pihak-pihak yang mengaku “melakukan uji klinik obat/ramuan Covid-19” namun tidak jelas protokolnya bagaimana, sesuai standar etik ataukah tidak, siapa yang memonitor, kemudian “sok-sokan” tampil sebagai superhero dengan bilang:

“Saya menemukan obat atau vaksin COVID-19” (!!!). Begitu tulis Mas Dokter Hakim dalam status FB-nya. Selain itu, sambungnya, Uji Klinis Fase 3 Vaksin Sinovac ini juga dilakukan di Brazil: https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04456595

“Sekian. Disclaimer: Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Sinovac dan uji klinik Vaksin Sinovac yang sedang berlangsung,” ungkap Mas Dokter Hakim.

Meski Mas Dokter Hakim sudah declare “tidak memiliki hubungan apapun dengan Sinovac” namun dalam menjawab komentar dari Facebooker lainnya, ada kesan, Mas Dokter Hakim sudah menjadi Purel untuk perusahaan Sinovac China.

Nanda Seftyana:

Mungkin yg mjd salah satu pertanyaan publik adalah, mengapa vaksin yg dipilih harus vaksin yg di produksi oleh sinovac? Diantara kandidat vaksin yg dikembangkan di seluruh dunia, mengapa harus vaksin dari sinovac?

Karena (mungkin) beberapa kalangan publik berkaca pada keefektifan rapid test yg dibeli sebelumnya yg juga berasal dr cina. Terima kasih postingannya, dokter, alhamdulillah mengedukasi.

Muhammad Saifuddin Hakim:

Dari bbrp kandidat vaksin yg ada, Oxford memakai teknologi viral vector vaccines, Moderna memakai mRNA vaccines, sedangkan Sinovac dan Sinopharm memakai teknologi inactivated vaccines. Dari 3 teknologi itu, yg dimiliki oleh Biofarma adalah inactivated vaccines, shg memungkinkan transfer teknologi secara cepat jika vaksin lolos uji fase 3.

Vaksin Covid-19 dibuat berdasarkan patogen yang di non aktifkan (inactivated). Pembuatan vaksin dilakukan dengan menumbuhkan virus corona SARS-CoV-2 di laboratorium. Virus ini lalu dinonaktifkan lewat reaksi kimia untuk dijadikan vaksin.

Sekedar mengingatkan lagi, jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal.  

Di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itu pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi!

Catat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian.

Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin).

Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. “Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit,” ungkap seorang dokter spesialis anak.

Apakah Mas Dokter Hakim sudah menyaksikan kasus seperti itu yang terjadi di depan mata dokter kerabat sampeyan?

***