Sketsa Harian [50] Nakal

Kami banyak bercerita masa lalu yang karena kami sama-sama dianugerahi ingatan kuat, hampir semua cerita Asded “nyambung” dengan ingatan saya.

Selasa, 24 Desember 2019 | 08:50 WIB
0
384
Sketsa Harian [50] Nakal
Saya dan Asep Dedi (Foto: Dok. pribadi)

NAKAL

Hari sudah mulai beranjak gelap. Becak yang dikayuh seorang bocah lelaki tergolong masih kanak-kanak itu memasuki halaman toko material yang luas di Desa Ciawi, Tasikmlaya. Suara adzan maghrib ramai berkumandang dari masjid dan langgar tatkala semua pegawai toko material siap-siap menunaikan shalat.

Dalam keremangan senja, seorang anak lainnya menyambut kedatangan becak dan dengan keterampilan seekor monyet, ia menaikkan beberapa zak semen, beberapa kaleng cat kayu, paku dan material lainnya tanpa banyak bicara. Anak yang tadi mendorong becak ikut membantu. Setelah becak terisi, kedua anak itu mendorong becak keluar tanpa diketahui siapapun.

“Mau dibawa ke mana semua barang ini, Rik,” tanya anak yang mendorong becak tadi sambil terus mendorong kendaraan roda tiga itu semakin menjauhi toko material milik Haji Iing Ibrahim, ayah si anak yang dipanggil “Rik” itu.

“Kita jual. Jangan khawatir, ada penadahnya. Kita dapat untung, nanti kamu kebagian juga, Sep,” bisik Riki sambil terus mendorong becak makin cepat. “Kamu dorong becak ini lebih cepat!”

“Tapi ini mencuri. Dosa. Kata Pak Ustad, mencuri pekerjaan yang dimurkai Allah.”

“Tapi kita butuh uang buat jajan!”

Orang yang dipanggil “Sep” oleh temannya itu adalah Asep Dedi yang tadi saya temui di Sukabumi. Ia teman sekolah di sebuah sekolah dasar di kampung saya. Peristiwa itu terjadi tahun 1978, sekira 40an tahun lalu, saat mereka sudah bersekolah di SMP yang sama, masih di kampung kami. Kini Asded, demikian saya biasa memanggilnya, berusia 54 tahun, mengajar di sebuah SMA di Sukabumi, Jawa Barat. Ya, seusialah dengan saya, sama-sama kelahiran tahun yang sama.

“Kalau teringat peristiwa itu, saya sering bertobat meminta ampun kepada Allah. Itu kenakalan masa lalu, masa kanak-kanak. Saya masih ingat, becak itu kami sewa dari Mang Emen, pengayuh becak,” kata Asded saat ngobrol santai di lobby Hotel Balcony. “Saya kepengen segera pergi ke Mekkah naik haji biar tobatnya afdol,” lanjutnya

“Sudah daftar untuk berhaji, Sep?” tanya saya yang dijawab singkat, “Belum!”

Saya menahan tawa, tetapi tak bisa menyembunyikan seyum kecut. Asded terkesan asal jeplak saja, jujur, apa adanya, termasuk menceritakan trik Riki untuk memperoleh nilai yang baik.

Sebagai anak orang kaya, Riki yang malas belajar dan menghapal biasa membayar Asded Rp75 agar memperoleh bocoran nilai matematika. Asded memang jago berhitung dan sejarah. Jangan salah, tahun 1977 nilai Rp75 cukup besar di kala uang jajan saya sehari penuh Rp25. “Saya jadi kaya,” kata Asded.

Bicara Asded, teman SD yang satu ini, tidak lepas dari Dadan Hamdani yang kemarin saya kunjungi di Rangkasbitung, Banten. Tentu saja Riki, putera saudagar material paling tajir di kampung kami, Haji Iing Ibrahim. Kami berteman dengan akrab, meski persaingan dalam mata pelajaran tertentu terus berjalan.

Nasib kami seperti sudah dikotak-kotakkan sejak dini. Lihat saja Asded dan Dadan yang jago matematika kuliah di Uninversitas Siliwangi (Unsil) –dulu kami biasa memelesetkannya dengan Universitas Sisi Leuweung alias universitas pinggir hutan- setelah lulus pun mengajar matematika, sampai sekarang. Saya pintar bahasa dan menulis, ya sampai sekarang menulis. Salah seorang teman kami yang sangat pintar matematika bahkan sudah jadi doktor dan mengajar di UPI, Bandung.

Sedang Riki? Jago trik “licik” dalam berbagai hal, termasuk mencuri dagangan ayahnya sampai punya uang banyak untuk membayar “joki” ulangan matematika kepada Asded. Riki tergolong “budak kasep”, berkulit putih dengan badan kelewat kekar, tetapi pendek. Nakal, jelas ia nakal. Kelewatan bahkan, sampai-sampai Enok Erni, ibu tirinya, pernah menitipkan anak tirinya itu di rumah orangtua saya. Itu terjadi tahun 1977 saat kami kelas enam SD. Oiya, Enok Erni adalah ibunda Vetty Vera dan Alam, dua penyanyi kakak-adik.

Selain Dadan dan Dedi, juga ada Cucu Suryana, Endang Cahya, Uus Kusnadi, Oki Sondari, Lela Kamilah, Agus Ridar, Sumpena, Asep Wahyu, Nono, Jajang, Eli, Elza, Apong, Ipong, Iin, Idah, Adah, Titin A, Titin B (karena ada 2 Titin), Mimi dan lain-lain. Kami dipersatukan oleh kenakalan khas anak-anak, tetapi tentu saja tidak senakal trio Asded-Dadan-Riki yang dengan kenakalannya pernah memelorotkan celana Cucu Suryana di depan kelas.

Saat saya temui, Asded sudah jauh berubah. Ia tampak kurus dengan wajah tirus, tetapi senyum tetap mengembang saat cerita apapun, termasuk cerita tentang masa lalunya yang penuh kenakalan. Kecuali saat cerita mencuri, ia nampak sedih dan tertegun. “Saya berdosa,” katanya lirih.

Dari Hotel Balcony kami menuju rumahnya di Cisaat. Ia pakai taksi online saat ke hotel menemui saya akibat jarinya terluka dan tak bisa membawa mobil sendiri. Saya yang kebetulan membawa kendaraan mengemudi menuju rumahnya, sementara mantan pacar saya duduk di belakang. Kami bercerita sepanjang jalan yang kami lalui.

“Mungkin tepatnya gubuk,” kata Asded yang duduk di samping saya tentang rumahnya. Kami disambut istrinya yang ternyata sudah menyiapkan makan siang dengan menu utama petai mentah, sama dengan yang disajikan Dadan tempo hari di Rangkasbitung. Ada ayam goreng, tahu-tempe, udang kering renik, petai, sambal cabe merah dan nasi yang mengepul.

Kami banyak bercerita masa lalu yang karena kami sama-sama dianugerahi ingatan kuat, hampir semua cerita Asded “nyambung” dengan ingatan saya. Pun saat saya mengingatkan Asded akan satu peristiwa, ia langsung menyambar dan bahkan menambahkannya lebih detail, seperti cerita tentang Agus Ridar atau Asep Wahyu, seorang teman yang sudah lama mendahului kami.

Tentang Riki, saya punya cerita sendiri. Ayahnya yang keras tanpa kompromi, menyilakan anaknya yang sudah beranjak remaja mengembara ke Arab Saudi selepas SMA. Riki merantau, menjadi sopir di sana dengan bahasa Arab seadanya. Saat pulang dari Arab, saya sempat bertemu dengannya, seingat saya setelah saya bekerja di Jakarta.

Hobinya menonton film mandirin sejak SD dan meniru gerakan kungfu Bruce Lee membawa keberkahan tersendiri. Riki cerita, ketika ia dipalak oleh empat pemuda Arab di Kota Jeddah, entah ada keberanian dari mana tiba-tiba ia membuka bajunya dan memperlihatkan otot bisep tangannya yang menggembung.

Sejenak ia konsenterasi seperti pendekar kungfu mengadapi lawan dan mulai memamerkan jurus patuk bangaunya, disusul gerakan kuntaw menotok bola mata, dakhiri jinkang seperti gerakan Sun Go Kong melayang di udara. Alhasil, keempat pemuda itu lari tunggung langgang ketakutan dan bersembunyi entah ke mana.

Diam-diam ada yang memperhatikan aksi Riki yang kemudian memintanya mengajari kungfu. Anehnya, meski sebenarnya tidak menguasai silat ala Shaolin, Riki mengiyakan saja dan disela-sela libur sebagai sopir, ia mengajar shaolin kepada sejumlah remaja Arab dengan gerakan sesukanya.

“Terus bisa tahu gerakan kungfu dari mana, Rik?” tanya saya waktu itu yang dia jawab, “Ya ngarang sajalah, selebihnya mengandalkan ingatan gaya Bruce Lee di film.”

Kembali lagi ke Asded. Saat saya hendak pamit pulang, saya sempat bertanya di mana Riki sekarang, anak orang paling kaya di kampung kami pada masanya.

“Jadi sopir bus jurusan Banjar-Jakarta,” jawab Asded sambil memperagakan orang mengemudikan mobil sebelum saya benar-benar pamit untuk segera berlalu.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [49] Detik