Perppu, Kemenangan Telak Jokowi atas Masyarakat Sipil

Sebagai politisi ulung, Jokowi memahami ke arah mana bidak catur digeser. Pertemuan Jokowi dengan tokoh nasional menjadi semacam warning mengakhiri silang-sengkarut anak bangsa.

Jumat, 27 September 2019 | 10:39 WIB
0
721
Perppu, Kemenangan Telak Jokowi atas Masyarakat Sipil
Joko Widodo dan tokoh nasional (Foto: Tempo.co)

Mengikuti penjelasan beberapa tokoh penting di beberapa media, saya menangkap kesan seakan RKUHP didesain sedemikian rupa untuk membuat presiden kebal kritik sehingga berpotensi menjadi pemimpin otoriter. Padahal jika dicermati larangan mengeritik presiden tidak ditemukan dalam RKUHP. Bagi Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Prof. Andi Hamzah, mengeritik presiden tidak sama dengan menyerang kehormatan dan martabat diri presiden, dua hal terakhir yang dilarang dalam RKUHP.

Namun RKUHP bukan tanpa masalah, dari perspektif HAM, rancangan UU ini memiliki borok di sana-sini. Pemberlakuan pidana mati, kriminalisasi terhadap homoseksualitas, masih dipertahankannya pasal penistaan agama dan seterusnya dianggap keluar dari kanal demokrasi dan HAM sehingga tidak relavan dipertahankan.

Demonstrasi kemarin yang melibatkan banyak eleman masyarakat saya kira bukan semata keberatan terhadap muatan RKUHP. Perjalanan panjang rancangan UU ini nyaris tanpa gejolak publik, pengkajiannya diminati hanya kalangan tertentu. Sebagai kitab induk dengan spektrum yang teramat luas, dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia seharusnya sejak awal RKUHP dipelototi semua pihak.

Kitab ini nyaris mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari masalah irasional seperti santet hingga ancaman pidana mati terhadap pelaku kejahatan tertentu. Belum lagi jika bersinggungan dengan masalah super sensitif seperti tuduhan penistaan agama.

Halnya dengan RKUHP, keberatan terhadap hasil revisi UU KPK saya kira tidak sekrusial sekarang jika isunya semata pelemahan KPK. Isu penolakan yang menggelinding bak bola salju itu hanya semacam trigger akibat kekecewaan publik terhadap rezim Jokowi, terutama karena bias pilpres kemarin yang kembali menemukan momentum pada hasil revisi UU ini.

Hanya saja pasca pembatalan pengesahan oleh pemerintah dan DPR terhadap RKUHP serta 3 UU lainnya, wacana menerbitkan Perppu untuk membatalkan hasil revisi UU KPK yang telah disahkan DPR diharapkan bisa meredam eskalasi suhu politik yang makin memanas demi menghindari bertambahnya korban.

Sebagai politisi ulung, Jokowi memahami ke arah mana bidak catur digeser. Pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh nasional kemarin menjadi semacam warning mengakhiri silang-sengkarut anak bangsa yang berpotensi berujung caos. Soal kapan harus bertahan dan kapan mesti mengalah, Jokowi khatam. Strategi ini yang membawanya ke pencapaian tertinggi seorang politisi.

Sebaliknya, langkah masyarakat sipil yang terus mendesak presiden menggunakan hak prerogatifnya menerbitkan Perppu membatalkan hasil revisi UU KPK bertolak belakang dengan semangat membatasi kekuasaan yang dimiliki presiden.

Hak prerogatif sejatinya merupakan hak raja yang tersisa setelah kekuasaannya yang mutlak dan sewenang-wenang dilucuti sebagian pasca kekalahan dalam revolusi 1688. Diadaptasinya hak prerogatif dalam sistem pemerintahan demokrasi tidak dengan sendirinya memberi keleluasaan seorang presiden menggunakannya setiap saat, kecuali dalam kondisi extraordinary.

Mendesak presiden menggunakan hak prerogatifnya setiap saat, berarti tanpa sadar masyarakat sipil terus melipatgandakan kekuasaan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengabaikan prinsip negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law.

***