Lelah Berseteru, Saatnya Masyarakat Bersatu

Perbedaan adalah keniscayaan, namun rasa persatuan adalah langkah nyata dalam mewujudkan politik yang menyejukkan.

Kamis, 2 Mei 2019 | 11:10 WIB
0
328
Lelah Berseteru, Saatnya Masyarakat Bersatu
Ilustrasi persatuan (Foto: Eduspensa.id)

Sejumlah lembaga survey telah melakukan quick count Pilpres 17 April 2019, dimana dalam hasilnya, pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin telah berhasil mengungguli penantangnya Prabowo – Sandiaga. 

Sembari menunggu pengumuman hasil resmi dari KPU, tentu kita berharap agar tidak ada gejolak politik yang disebabkan oleh manuver dari para Capres atau tim suksesnya.

Kita tentu percaya bahwa siapapun yang mengikuti kontestasi politik, tentu harus siap menang dan siap kalah, tak hanya peserta bahwa simpatisan hingga tim sukses haruslah mampu meredam gejolak amarah ditengah berita hoax yang beredar.

Pada hakikatnya, Pemilu adalah referendum politik atau bahkan bisa disebut juga “People Power” dalam arti yang sebenarnya, dimana rakyak memiliki hak untuk mencabut atau melanjutkan mandat petahana, atau memberi maupun menolak memberikan mandat kepada calon baru.

Demokrasi di Indonesia membutuhkan kedewasaan berpolitik, segala bentuk penyelesaian melalui kerusuhan, demonstrasi maupun upaya yang cenderung mendelegitimasi KPU selaku lembaga independen, tentu haruslah dihindari.

Karena segala bentuk kecurangan bisa diselesaikan melalui jalur yang telah diatur dalam undang – undang. Rakyat tentu diperbolehkan untuk melaporkan segala kecurangan kepada Bawaslu maupun KPK.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah semestinya melekat pada masyarakat, jangan sampai hanya karena perbedaan angka 01 dan 02, hubungan antar warga menjadi renggang, dan tidak saling sapa. Tentunya jangan sampai Pemilu dalam sehari dapat menjadi jurang pemisah hubungan kekerabatan baik di lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan kerja.

Pemilu sudah sepatutnya menjadi pesta demokrasi, dimana kesuksesannya bisa dinikmati bersama. Karena siapapun presidennya, seluruh elemen masyarakat berkewajiban untuk membangun dan menjaga persatuan Indonesia sampai kapanpun.

Tentu kita masih ingat saat debat Pilpres yang mempertemukan Jokowi dengan Prabowo, dimana keduanya sama sama berjanji akan tetap menjaga persaudaraan. Hal ini tentu bisa menjadi teladan bagi siapapun yang terhipnotis oleh fanatisme politis semata.

Apalagi menjelang Ramadhan, tentu menjadi momen yang pas untuk saling memaafkan dan salin meredam nafsu duniawi dalam bentuk apapun.

Di Wonosobo, doa lintas agama diselenggarakan menjelang Pemilu agar masyarakat dapat saling bersilaturahmi dan tentunya sebagai ajang untuk sama sama berdoa menurut agama dan kepercayaan masing – masing, sebagai wujud kerukunan antar umat beragama untuk kemaslahatan, kedamaian dan keamanan dalam penyelenggaraan pemilu.

Dalam ranah digital, masyarakat yang sering mengakses dunia maya juga memiliki peran yang sangat vital dalam mewujudkan pemilu yang sejuk. Salah satunya adalah dengan tidak mudah terprovokasi oleh berita yang tidak benar alias hoax.

APJII mengatakan bahwa terdapat 143 juta penduduk Indonesa yang dapat mengakses internet dan memanfaatkan sosial media. Artinya ada sekitar 54 % masyarakat Indonesia menggunakan media sosial setiap harinya.


Hal tersebut tentu bisa menjadi peluang sekaligus menjadi ancaman jika masyarakat tidak mendapatkan literasi digital yang baik. Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh para warganet adalah dengan tidak membagikan berita yang kebenarannya masih dipertanyakan.

Selain itu Polri dan KPU juga tak bosan – bosannya untuk menghimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak menyebarkan hoax maupun mempolitisasi SARA demi terwujudnya pemilu yang sejuk, aman dan damai.

Selain itu sentimen agama juga haruslah diredam, yaitu dengan tidak menjadikan masjid sebagai tempat untuk melaksanakan praktik politik praktis.

Karena politisasi masjid merupakan upaya untuk mendongkrak suara dengan cara yang tidak benar. politisasi masjid dengan ulama yang terlibat didalamnya merupakan alat manipulasi kekuasaan. Ulama diperalat untuk mendukung pihak tertentu, khususnya yang bertentangan dengan pemerintah. Hal itu akan membahayakan dan pasti akan memecah belah bangsa.

Dalam hal ini tentu ulama dan para takmir masjid memiliki peran sebagai benteng atas dakwah yang cenderung provokatif. Apalagi isu agama merupakan isu yang cepat menyebar.

Pemilu di Indonesia haruslah menjadi inspirator bagi negara demokrasi di belahan dunia yang lain. Tentu tidak ada negara lain yang memiliki keragaman seperti Indonesia, dimana suku – sukunya berbeda, tiap daerah memiliki bahasa dan logat yang berbeda, namun bisa disatukan dengan bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tentu lagu “Apa kata dunia” bisa bersenandung apabila masyarakat masih saja riuh dengan permasalahan 01 atau 02. Perbedaan adalah keniscayaan, namun rasa persatuan adalah langkah nyata dalam mewujudkan politik yang menyejukkan.

***