Hukum Masih Memandang Kasta

Harapan kita semua adalah bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Rabu, 28 September 2022 | 06:39 WIB
0
227
Hukum Masih Memandang Kasta
instagram @undercover.id

Baru baru ini ada sebuah berita yang cukup menghebohkan dan sontak mengejutkan kita yaitu seorang ibu yang setelah melahirkan bayinya kembali melanjutkan sisa masa tahanan. Ibu ini melahirkan bayi dengan jenis kelamin laki-laki dengan berat 3 kilogram di Puskesmas yang ada di Sidoarjo, Jawa Timur.

Berita ini terdengar pada tanggal 23 September 2022. Seorang ibu yang berinisial AV yang sudah dipenjara sejak 27 Juli 2022, kembali memasuki sel tahanan di Rutan Perempuan Surabaya di Porong, Sidoarjo, akibat kasus penipuan jual beli 700 karton minyak goreng (Kompas, 24 September 2022).

Hal ini sungguh terdengar tidak adil karena dalam Pasal 31 Ayat (1) KUHAP UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang mengatakan bahwa “Atas permintaan tersangka atau terdakwa penyidik atau penuntut umum atau hakim seusai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan”.

Kita sebagai masyarakat berhak menuntut hal ini karena tidak sesuai dengan asas “Equality before the law”, yang artinya asas persamaan di depan hukum dalam hukum pidana. Seperti halnya yang terjadi pada ibu AV ini. Ibu AV seharusnya mendapatkan penangguhan penahanan untuk merawat anaknya yang tergolong masih bayi. Jika kita melihat kembali ke belakang, terdapat sejumlah ibu yang harus mendekam di penjara bersama anaknya.

Seperti yang terjadi pada 4 orang perempuan (Fatimah, Martini, Hulyiah, dan Nurul Hidayah), yang mendekam di penjara NTB karena melempar pabrik tembakau. Mereka pun dihukum dan membawa serta anak mereka ke dalam penjara (Kompas, 20 Februari 2021).  Selanjutnya ada seorang ibu yang bernama Rochisatin Masyawaroh yang juga membawa anaknya yang berusia 1 tahun 6 bulan ke penjara, usai divonis 4 bulan pidana kurungan. Ia bersalah karena perseorangan melakukan penempatan pekerja migran, (Kompas, 24 Agustus 2022) dan masih banyak lagi para wanita yang tidak mendapatkan kesetaraan hak.

Bila kita melihat di negeri kita ini, masih berlangsungnya pembedaan kelas atau kasta yang lebih tinggi. Sehingga itulah yang menyebabkan negeri kita tertinggal karena tidak tercapainya sebuah keadilan. Contohnya saja kita melihat Ibu Putri Candrawathi yang adalah seorang istri dari mantan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo masih mendapat perlindungan hukum dengan alasan kemanusiaan, kesehatan, dan memiliki anak yang masih balita. Padahal bila kita melihat kasus yang telah dilakukan oleh Ibu Putri Candrawathi itu sangat berat. Kasus tentang pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) yang ancaman hukumannya kita tahu sendiri maksimal hukuman mati.  

Dari contoh di atas kita melihat bahwa hukum masih melihat kasta. Bila kita tidak memiliki pangkat dan jabatan maka kita tidak bisa mendapatkan hak perlindungan dari hukum itu sendiri. Nah, bagaiamana dengan perlindungan anak yang juga merupakan hak dari setiap anak sebagai warga negara?

Di mana Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)? Apakah efektivitasnya masih berjalan dengan baik? Di mana letak hak kesetaraan itu?

Kita tahu seorang ibu adalah sosok penting bagi seorang anak, apalagi anak yang tergolong masih bayi. Ibu mana yang bisa tidur bila melihat anaknya yang menderita bersamanya dalam kurungan. Sosok ibu menjadi penting bagi kehidupan seorang anak. Seringkali kita melihat bahwa martabat seorang wanita itu direndahkan dan tidak tidak diperhatikan. Oleh karena itu sangat disayangkan apabila masih ada pemikiran atau anggapan bahkan tindakan yang kurang menghargai martabat perempuan di Indonesia. Kedudukan pranata sosial seringkali mempermainkan hukum dengan keadaan yang mereka alami. Sehingga dalam hukum pun seringkali masyarakat mendapat tempat yang tidak sepadan dengan yang lainnya.     

Hal seperti ini sudah sangat sering terjadi di negara kita. Karena stratifikasi sosial yang tinggi, seseorang mendapat perlindungan hukum. Karena stratifikasi sosial yang tinggi juga seseorang dengan mudah dapat mengurus segala sesuatu dalam bidang hukum dengam mudah.   Kita dapat membayangkan bagaimana negeri kita setelah keadaan seperti ini terus menerus terjadi. Masyarakat kecil yang tidak memiliki stratifikasi sosial di masyarakat akan terus tersakiti dengan hukum yang kita miliki. 

Harapan kita semua adalah bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 UUD Tahun 1945). Jadi tidak ada istilah diskriminatif terhadap suku, ras dan golongan. Semoga

Frans Edward Silalahi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya

 ***