Ganjar Pranowo atau Puan Maharani dalam Jebakan Bohir Politik

Di tengah ramainya Puan-Ganjar, ada para penelikung yang memiliki agenda menghancurkan PDIP. Demi nasi, demi kapitalisme, demi bohir yang kejahatannya melebihi teroris.

Jumat, 4 Juni 2021 | 15:47 WIB
0
163
Ganjar Pranowo atau Puan Maharani dalam Jebakan Bohir Politik
Ganjar, Puan dan Jokowi (Foto: tempo.co)

Hiruk-pikuk dukung dan serang soal Ganjar dan Puan adalah warna kepentingan yang melakukannya. Ada yang memang untuk NKRI, namun juga yang lebih cerdas untuk diri pelaku dukung atau serang. Targetnya dua-duanya: Ganjar dan Puan. Korbannya juga mereka. Plus PDIP.

Sejatinya bukan tentang perjuangan untuk Ganjar. Juga bukan untuk Puan. Namun untuk semua kepentingan proxy yang membiayai: Bohir Politik. Publik tak tahu tentang Bohir Politik.

Wujud bohir politik hanya bisa dilihat dari wajah out put kegiatan. Lalu, ditelisik dan diamati produk, narasi, penggiringan opini, framing. Kadang kelihatannya mendukung, namun sejatinya menghukum dan merusak. Serem permainan politik tingkat tinggi.

Contoh. Deklarasi Erick Thohir menjadi capres, adalah upaya penggembosan terhadap Erick Thohir. Erick mencak-mencak. Karena dia tidak merasa menyuruh. Inisiatif pencapresan Erick ini menguntungkan lawan penekan Erick seperti anggota DPR dan relawan. Mengemis posisi Komisaris ke Erick.

Akibatnya, kini stigma ambisi Erick itu selalu dihubungkan dengan kegagalan Erick membersihkan kadal gurun dan HTI dari BUMN. Setelah kasus Krakatau Steel, penerimaan beasiswa hapal Qur’an di Universitas BUMN, muncul teroris di BUMN yang ditangkap di Makassar.

Karena Erick dianggap sedang menggarap dukungan kalangan Islam garis keras. Ingin membangun politik identitas ala Anies Baswedan yang dianggap sukses. Sungguh merugikan bagi Erick Thohir.

Lain lagi dengan Ridwan Kamil. Dia memang kegenitan pencitraan top tanpa kerja. Janji bikin kereta gantung sejak 2015 Bandung-Lembang hanya mimpi. Kosong. Karena dia memang lahir dari dukungan PKS. Emil pikirannya dekat dengan pentolan teroris FPI Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Emil kegatelan setelah Anies Baswedan sungkem ke MRS. Dia juga ingin berlutut di depan MRS. Jejak digital kejam.

Publik tak usah bingung soal Ganjar-Puan. Sampai detik ini belum ada capres yang jelas. Di luar survei. Karena kewenangan ada di partai politik, untuk mengusung calon presiden. Pragmatisme politik selalu ada.

Parpol adalah alat kekuasaan. Bahayanya kalau NKRI jatuh ke tangan selain PDIP dan Golkar. Hancur berantakan. Meski PDIP dan Golkar tak sempurna, namun dua partai ini jelas NKRI harga mati. Suka tak suka.

Namun, perhatikan hal yang paling penting. NKRI jangan sampai jatuh ke PKS, karena PKS lewat Hidayat Nur Wahid di 2013 menolak Pancasila sebagai ideologi dan asas ormas. Kegilaan yang tak terbantahkan.

Maka soal Ganjar bukan soal playing victim Ganjar. Itu tak penting. Tentang Puan dan Ganjar sama saja. Anak-anak ideologis PDIP. Tebak-tebakan politik tak berguna. Karena wewenang ada di Ibu Mega. Publik tidak bisa menyamakan Ganjar dengan Jokowi. Lalu beramai-ramai membuli Puan Maharani. Lawan politik mengganyang Bambang Pacul. Ramai. Emosi diaduk.

Baca Juga: Puan

Relawan yang pintar mengambil posisi. Sebagian mendekati Bohir Politik. Bukan orang Ganjar. Bukan orang Puan. Namun pesaing politik masuk memerkaya diri. Slogan menghantam Puan, membesarkan Ganjar. Yang sejatinya yang jadi target: hancurkan PDIP. Mampus sodara-sodara. Tak paham Japri saya.

Puan adalah anak biologis dan ideologis Bung Karno. Jokowi anak ideologis Bung Karno, sama seperti jutaan pendukung PDIP – dan Jokowi sebagiannya. Ganjar Prabowo dan Puan adalah penerus Pancasila. Apa mau Indonesia jatuh ke tangan kadal gurun yang didukung Novel Baswedan? Tentang Prabowo pun tak usah diragukan nasionalismenya. Buktinya Jokowi pun memercayai Prabowo sebagai menteri.

Jadi, di tengah ramainya Puan-Ganjar, ada para penelikung yang memiliki agenda menghancurkan PDIP. Demi nasi, demi kapitalisme, demi bohir yang kejahatannya melebihi teroris. Karena targetnya PDIP sebagai penegak Pancasila. NKRI.

Ninoy Karundeng.

***