Imlek dan Kenangan Kue Keranjang

Itu sungguh lezat. Lebih lezet dari nugget yang bahan utamanya (daging ayam), kayaknya makin lebih sedikit dari campurannya.

Senin, 15 Februari 2021 | 06:32 WIB
0
175
Imlek dan Kenangan Kue Keranjang
Kue keranjang (Foto: pegi-pegi.com)

Pada jaman dulu kala, ketika jaman saya kecil di tahun-tahun 70-an, tiap Imlek selalu merupakan hal yang membahagiakan. Tempat tinggal kami di kampung Kricak Kidul, yang memangku Jalan Magelang, Yogyakarta. Di seberang jalan (masuk kampung Karangwaru), terdapat toko-toko kelontong milik para babah dan nyonyah Cina.

Ada 6 toko kelontong legendaris di jalan Magelang itu. Beberapa saya lupa. Sebutan toko-tokoh tersebut, yang lebih sohor adalah ‘nyah’, bukan ‘bah’. Ada Nyah Harta yang jualan kue-kue, Nyah Subur, yang ini saya nggak ngerti nama aselinya, karena Subur adalah nama tokonya. Sama dengan Nyah Mbako, yang khusus jualan tembako.

Pada yang terakhir itu, karena soal kebutuhan pokok, Bapak saya, juga akhirnya keluarga kami, bersahabat baik dengan Nyah dan Bah Mbako, yang tidak punya anak. Kalau ada anak kecil di situ, itu anak dari Bah Liong Sun.

Nah, pada Liong Sun-lah si Babah lebih terkenal, karena kayaknya isterinya perempuan Jawa. Salah satu anak bungsu Liong Sun kayak sudah menjadi anak bagi Bah dan Nyah Mbako. Bah dan Nyah Mbako punya seorang pembantu setia, Mbak Yem, yang kayaknya tidak menikah.

Dari Bah dan Nyah Mbako itu, tiap Imlek keluarga kami mesti mendapat bingkisan kue ranjang, kembang gula, dan juga angpao. Di lingkungan keluarga kami, para tetangga, tak ada yang mendapatkannya. Itu hanya untuk menunjukkan bagaimana hubungan kami dan Bah dan Nyah Mbako.

Sementara dari Ibu saya yang jualan kembang di Pasar Beringharjo, setiap Imlek selalu juga membawa bingkisan dari beberapa Nyah dan Bah yang jualan di pasar gedhe Yogya itu. Jadi imlek bagi kami sekeluarga adalah kenangan indah. Karena untuk bisa membeli kue ranjang yang lezat nian, tidaklah mudah.

Pernah juga kami diundang makan malam. Dan diberi sajian istimewa, Bapak dan Ibu saya mengajak saya yang masih kecil, karena kalau ngajak semua anak-anaknya yang sudah gede kok kayaknya nggak tau diri banget.

Makan malam yang istimewa, karena saya makan yang bentuknya kayak sosis, tapi nggak taunya itu saripati daging ayam yang diproses oleh belatung.

Saya nggak ngerti nyebutnya gimana, ayam utuh direndam dalam air matang yang ditaruh dalam toples kaca. Dibiarkan berhari-hari hingga muncul belatung, dari sejak nggak ada hingga tumbuh larva dan menjadi belatung sebesar jempol tangan manusia (karena memangsa habis daging ayam beserta tulang-tulangnya).

Itu sungguh lezat. Lebih lezet dari nugget yang bahan utamanya (daging ayam), kayaknya makin lebih sedikit dari campurannya. Tapi kalau lihat prosesnya si daging ayam belatung itu, entah kenapa perut jadi mual rasanya. Cuma, pengen ngrasain lagi. Sayangnya saya nggak punya temen Cina yang jadi pedagang toko kelontong.

Adanya temen Cina yang model-model dokter Tirta, yang biasanya udah nggak begitu akrab dengan tradisi leluhurnya. Satu temen Cina, kebetulan anak pemilik toko tembakau pula (di pojokan Tugu Yogyakarta), sekarang tinggal di Kalimantan. Ya, wislah, met Imlek, mohon maaf lahir dan batin.

@sunardianwirodono