Vaksinasi, Sinyal Darurat Kondisi Bangsa

Pada kondisi tertentu, blangko KTP tidak tersedia di daerah. Akhirnya, berbekal surat keterangan. Sampai dibawa kemana-mana dalam bentuk selembar surat.

Selasa, 26 Januari 2021 | 20:20 WIB
0
177
Vaksinasi, Sinyal Darurat Kondisi Bangsa

Tidak saja penolakan masyarakat yang tercermin melalui media sosial dan juga wadah percakapan instan, seperti grup whatsup.

Penolakan tersulut juga dalam dialog dengan anggota DPR dalam rapat kerja dengan Mentri Kesehatan.

Itu diantara potret yang ada. Kondisi lain yang sama mencemaskannya adalah wujudnya kasus rasial.

Perbedaan pendapat dalam menyikapi program vaksin, sesungguhnya bagian dari komunikasi sesama warga.

Kondisi yang tidak dapat dipahami justru Ketika wujudnya hinaan. Bahkan itu dilakukan politisi. Bolehjadi ini tanda yang mengkhawatirkan dimana perbedaan pandangan para politisi akan memunculkan hinaan.

Adalah Ambroncius Sinaban, anak adat Kerom. Juga politisi Partai Hanura di masa pileg 2019. Melakukannya melalui media sosial, dengan menjadikan binatang sebagai personifikasi seseorang.

Atas unggahan Ambroncius Sinaban mendapatkan reaksi yang emosional. Respon spontan dan tak kalah rasisnya juga.

Akhirnya, kosakata rasis dibalas dengan kalimat rasis. Namun, bukan itu kecemasan utamanya.

Justru yang menjadi kekhawatiran kalau masyarakat di Papua justru turun ke jalan. Mengadakan protes bersama atas tindakan ini.

Pada saat yang sama, wabah masih mendera. Sehingga kalau ini terjadi, penyebaran virus covid-19 akan semakin meninggi. Sebagaimana ketika penanggulangan bencana di Sulawesi Barat, bahkan pegawai dan pimpinan BNPB terpapar korona.

Dalam kasus lain, Wakil Bupati Barru (Sulawesi Selatan) terpapar Covid-19 setelah pulang dari Masamba, dalam turut serta penanggulangan banjir bandang.

Belum lagi, jika melihat dalam kasus Surabaya 2019 dimana penggunaan kata binatang memicu kekerasan dan pembakaran di kota-kota Tanah Papua.

Baca Juga: Vaksinasi Covid dan Pemberontakan Petani Banten

Kerugian material, juga trauma yang timbul. Termasuk warung bakso dan juga tukang jahit yang menjadi langganan saya di Kota Sorong. Keduanya habis terbakar, ini dipicu oleh kata rasial.

Soal lain lagi, data tenaga Kesehatan yang belum mutakhir dan kredibel. Akhirnya, dalam kaitan dengan vaksinasi, justru menggunakan data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tentang data ini, dalam kurun 22 tahun terakhir menjadi program Nomor Induk Kependudukan (NIK). Selain dana program KTP Elektronik yang dikorupsi berjamaah, akhirnya program pendataan melalui KTP-E terkendala.

Pada kondisi tertentu, blangko KTP tidak tersedia di daerah. Akhirnya, berbekal surat keterangan. Sampai dibawa kemana-mana dalam bentuk selembar surat.

Dari sini, maka dapat diidentifikasi tiga hal, penolakan vaksin, rasisme, dan agenda data tunggal kependudukan. Terkait yang terakhir, setelah reformasi justru ini belum terselesaikan, sehingga menjadi masalah menahun.

***