Calon Kapolri Memprogram Belajar Kitab Kuning, Sebuah Tanda Tanya

Sebagai pelajaran, siapapun itu tidak perlu justru mengumbar informasi yang tidak perlu. Apalagi yang jauh dari tugas dan kewenangan institusi.

Kamis, 21 Januari 2021 | 21:29 WIB
0
444
Calon Kapolri Memprogram Belajar Kitab Kuning, Sebuah Tanda Tanya
Listyo Sigit Prabowo (Foto: law-justice.co)

Calon Kapolri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan bahwa di masa dirinya sudah dilantik nanti akan memprogramkan bagi anggota polri untuk belajar kitab kuning (Rabu, 20 Januari 2021).

Disampaikan lebih lanjut, bahwa semasa menjadi kapolda di Banten, program itu sudah dilaksanakan.

Dengan tujuan mencegah perkembangan radikalisme dan terorime. Kompas TV merilis berita tersebut dengan menjelaskan bahwa Calon Kapolri menjadikan itu sebagai programnya nanti[1].

Jangan sampai program ini utopis belaka. Para santri yang mondok bertahun-tahun, setelah luluspun kemudian tidak semuanya mampu menggunakan kitab kuning untuk dirinya sendiri.

Apatah lagi, anggota polri yang bahkan jangan sampai mengaji saja tidak bisa. Itu akan menghambat proses belajar kita kuning.

Dimana kitab kuning, tidak disertai dengan baris. Para santri, Ketika belajar memberikan harakat untuk bacaannya. Dalam belajar kitab kuning digunakan dua metode yang masyhur yaitu Sorogan dan Bandongan.

Baca Juga: Beginilah Cara Jokowi Habisi Radikalisme dan Intoleransi FPI

Begitu pula dengan santri-santri, bahkan mereka semua anti-radikalisme [2]. Sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk mengaitkan antara kitab kuning, dan pencegahan radikalisme.

Jikalaupun pelaku terorisme menggunakan dalih keagamaan sebagai alasan, itu semata-mata mengatasnamakan agama. Tidak ada satu ayat ataupun hadis yang memerintahkan untuk melakukan aksi terorisme itu.

Dalam institusi Polri sendiri sudah ada detasemen khusus yaitu Densus 88 yang bertugas untuk melakukan penindakan terhadap terorisme [3].

Sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 23 tahun 2011 tersebut dapat menjadi acuan. Sehingga program kitab kuning tidak perlu dikemukakan. Ini hanya menjadi “nina-bobok” seolah-olah ada keberpihak polri terhadap pesantren.

Padahal, justru dengan mengemukakan itu, bisajadi akan menjadi “penghinaan” terhadap santri yang belajar kitab kuning.

Dengan fokus pada undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sudah lebih dari cukup untuk menjalankan tugas Kapolri [4].

Sebagai pelajaran, siapapun itu tidak perlu justru mengumbar informasi yang tidak perlu. Apalagi yang jauh dari tugas dan kewenangan institusi.

***

Bacaan Lanjut
[1] https://www.kompas.tv/article/139859/cegah-paham-terorisme-komjen-listyo-sigit-bakal-wajibkan-anggotanya-ngaji-kitab-kuning
[2] Lukens-Bull, R. (2008). The traditions of pluralism, accommodation, and anti-radicalism in the pesantren community. Journal of Indonesian Islam, 2(1), 1-15.
[3] http://portal.divkum.polri.go.id/Documents/PERATURAN%20KAPOLRI_23_25052016_0906070001.pdf
[4] https://perpustakaan.kpk.go.id/index.php?h=show_detail&id=4172