Menyengat Pagi ala Umar Kayam

Renungan itu sepertinya akan lebih manjur jika pagi ini disertai sarapan seporsi nasi gudeg yang milosofis menurut Umar Kayam: mlekoh, anggedabel, legi, dan mak nyuuss!

Sabtu, 21 November 2020 | 08:56 WIB
0
418
Menyengat Pagi ala Umar Kayam
Budayawan Indonesia, Umar Kayam

Berlalu tiga minggu sejak kolom terakhir saya terbit, jagad tanah air Indonesia ternyata tidak kurang riuh dan berisiknya atas berbagai persoalan yang mengemuka di dunia maya maupun dunia nyata. Gegap-gempita kawula Amerika Serikat yang menyambut presiden baru terasa sebegitu dahsyatnya, mengalahkan kemelut politik yang berlalu akibat riuh-rendah Omnibus Law Cipta Kerja. Detik-detik penghitungan suara ditunggu bagaikan surat cinta, hingga diketahuilah bahwa petahana Donald Trump harus menerima nasib dijungkalkan dari Gedung Putih. 

Tidak sampai lima hari berselang sesudah hasil Pemilihan Umum Amerika Serikat keluar dan melegakan banyak orang yang menanti-nanti, Indonesia ternyata masih merasa sesak dengan kedatangan Imam Besar—yang kita semua sudah tahu namanya, jadi tak perlu saya sebut—yang disebut media The Australian sebagai "porn fugitive" itu. Perseteruan memanas ketika resah-rusuh dunia maya sampai melibatkan Nikita Mirzani, selebriti kontroversial Indonesia yang dituduh wanita tuna susila dan membela hak dan martabat (konon) profesinya. 

Meski dalam kolom yang belakang, saya aktif mengomentari isu politik, sekali ini tidak. Saya sendiri jemu, bosan, dan terkadang tidak habis pikir bahwa karena perkara dua orang, satu negara dapat terpecah dalam perkubuan memihak Imam Besar "porn fugitive" atau memihak Nikita Mirzani. Katakanlah yang diperdebatkan itu adalah soal kehormatan diri dan nama baik, perkara itu bisa dipertanyakan dengan jitu, "Ya opo tumon?" Untuk apa (semua keributan) itu? 

Di tengah keriuhrendahan media massa itu, saya memilih mematikan ponsel dan merayapi kembali buku-buku koleksi di perpustakaan pribadi. Empat jilid buku yang sudah berumur nyaris tiga dasawarsa menjadi perhatian saya, ialah Mangan Ora Mangan KumpulSugih Tanpa BandaMadhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit. Masing-masing buku yang memuat lebih kurang 100 kolom (Alm.) Umar Kayam yang pernah dimuat harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta saban Selasa itu ternyata jauh lebih menarik daripada polemik politik tanah air. 

Kolom Serba Setengah

Semesta kolom-kolom Umar Kayam adalah semesta Yogyakarta paling sejati. Mengambil format "semi-cerita pendek", tokoh utama kolom adalah Pak Ageng, priyagung dosen di mBulaksumur yang sibuk mengajar dan "jual kecap"—kata ganti untuk memberi materi seminar. Pak Ageng jelas merupakan alter ego Umar Kayam, yang berada di sekeliling para pembantu atau wong cilik yang ia ayomi. Kebetulan, pembantu rumah tangga Pak Ageng cukup satu keluarga lengkap: seorang suami bernama Mister Rigen, istrinya Nansiyem, dan dua anak laki-laki yang disebut Pak Ageng "bedhes cilik": Beni Prakosa dan Septian. 

Selama nyaris 10 tahun menulis kolom, Umar Kayam mendedahkan begitu banyak persoalan dalam kolom-kolomnya. Persoalan yang aktual, kontekstual, dan kadang-kadang berat dan berdaya kejut di ranah politik-sosial-budaya-ekonomi itu dikemas ringan, kocak, dan mengalir dengan sebagian besar ungkapannya berselimut kosa kata Jawa yang melimpah.

Dalam istilah Sapardi Djoko Damono, kolom-kolom Kayam adalah "glenyengan", suatu cara membahas masalah secara ringan, menyindir semua pihak yang berseteru, namun dilakukan tanpa beban, tanpa ngotot, apalagi sampai memahabenarkan diri sendiri seperti Imam Besar "porn fugitive" itu. 

Format "semi-cerita pendek" yang dipilih Kayam pun menjadi keunikan tersendiri. Bentuknya serba tanggung. Ia cerita pendek, namun struktur dramatiknya sangat obskur. Ia adalah kolom, namun menurut teori eksposisi serba luwes dan tidak kaku. Ia mirip drama-domestik, namun muatannya cukup filosofis dan tinggi untuk ukuran awam.

Alhasil, "kolom-serba-setengah" inilah yang membuat orang rata-rata kepincut, ingin terus dan terus membacanya berulang kali. Toh, tawa renyah keluar juga, terkadang disertai senyum kecut, mesem, dan rasa sentak cubit yang nyelekit, namun reflektif. 

Sesudah 18 Tahun 

Buku terakhir dari serial Mangan Ora Mangan Kumpul terbit tahun 2000, tiga tahun sesudah Kayam pensiun sebagai guru besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Dua tahun berikutnya, Kayam berpulang sesudah mengalami perawatan intensif cukup lama akibat patah tulang pangkal paha.

Situasi Indonesia kontemporer tentulah tak terbayangkan oleh Kayam, bahwa reformasi kini hanya membuahkan masyarakat yang ngotot dan mudah terpecah belah oleh pendapat arus sampingan seperti opini para buzzer yang konon dibayar pemerintah sekian puluh miliar itu. 

Kendati begitu terbatas cakupan semesta kolom Umar Kayam itu—dan merupakan alasan mengapa ia tayang di Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dan bukan di koran nasional seperti KOMPAS—terdapat segi-segi filosofi orang Jawa, wabilkhusus Mataraman, eksplisit Yogyakarta yang diusung Kayam secara subtil dan halus. Pokok semua kolom itu sendiri adalah refleksi, "Mengapa orang tidak bisa hidup prasojo?" 

Kayam memberikan jawabannya secara hati-hati. Baginya, hidup sendiri adalah perjuangan menjadi prasojo, perjuangan untuk berusaha tetap ugahari dan apa adanya, 'sumeleh', namun bukan sekadar menyerah dan tidak menampakkan perlawanan

Karena perjuangan untuk menjadi seseorang yang prasojo tidak mudah, kebanyakan orang kalah di tengah jalan. Imam Besar "porn fugitive" itu salah satu yang kalah dalam meneruskan perjuangan menjadi prasojo—sehingga seolah hendak menjadikan segala sesuatu yang dicapai adalah kerja tangan sendiri, dengan segala cara.

Sikap prasojo yang begitu sulit dilakukan dan menantang itu ditekankan Kayam, misalnya, melalui cara pandang pembantunya, Mister Rigen ketika majikannya bertanya mengenai masalah saat itu seperti "Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah" atau SDSB, 


"Sakumpama, Gen, kalo SDSB dihapus ning dikembalikan ke Porkas (judi olah raga) seperti dulu itu. Yang pake nebak bal-balan imajiner antara Liverpool lawan Sragen, Juventus lawan Bantul, Ajax Amsterdam lawan Blunyah Cilik. Itu rak dolanan yang lebih gayeng to, Gen?" 

"Wah, Bapak ini lho, conto kaum intelektual yang maunya men-jlomprong-kan wong cilikWong Liperpul kok ngluruk ke Sragen, Jupentus bal-balan di mBantul, Ayak cekeran di Blunyah Cilik. Itu rak bikin bodo wong cilik saja, to, Pak? Lain dengan SDSB. Niku jujur, terus-terang. Mintak biasa dari wong cilik. Keliru? Untungmu, lah! Cocok nomer buntutmu? Syukurlah!"


Baca Juga: Belajar Karakter Orang di Kolom Komentar Media Sosial

Apakah Umar Kayam lantas memosisikan dirinya sebagai "maha guru" mengenai "prasojoisme" seperti ia anjur-anjurkan dalam tulisannya. Nyatanya, sampai pensiunnya sebagai guru besar universitas pelat merah pun, Kayam masih mengeluh, "Ternyata tidak gampang menjadi prasojo!"

Dengan kebesaran hati itu pula, kita dimampukan bagi Kayam berkaca, dan karenanya membuat pagi tersengat melalui pertanyaan, "Kapan saya mau memulai langkah hidup dengan menjadi prasojo, bersikap ugahari dan berserah, apa-adanya, namun bukan berarti mengalah dan tetap meneruskan perlawanan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya?" 

Renungan itu sepertinya akan lebih manjur jika pagi ini disertai sarapan seporsi nasi gudeg yang milosofis menurut Umar Kayam: mlekohanggedabel, legi, dan mak nyuuss! 

***